oleh: Fahmi Salim, MA
ISU Palestina kembali membetot perhatian publik dunia. Sejak 1948, saat deklarasi Negara Zionis Israel di atas tanah historis Palestina, hingga 63 tahun kemudian, isu itu sepertinya tak akan pernah padam. Terkini, Rabu kemarin (28/9/2012), proposal pengakuan kemerdekaan negara Palestina diatas jajahan tahun 1967 dan sebagai anggota penuh PBB ke-164 resmi dibahas oleh Dewan Keamanan (DK) PBB. Setelah Liga Arab, Negara-negara Gerakan Non-Blok (GNB) dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga mendukung langkah ini. Tak terkecuali dukungan Indonesia yang dengan tegas disampaikan oleh Menlu Marty Natalegawa pada sesi Sidang Umum PBB, Senin 27 September di New York.
Ada kemungkinan voting akan berpihak kepada Palestina dan DK PBB akan mengeluarkan resolusi kemerdekaan Palestina. Sebab Negara seperti China, Russia, India, Brazil, Afrika Selatan dan Lebanon (yang saat ini menjabat Presiden DK PBB) telah menyatakan dukungannya. Publik dunia dan para pengamat internasional pun khawatir jika proposal tersebut akhirnya tidak lolos akan menimbulkan eskalasi kekerasan di wilayah Timur Tengah, dan efek domino perasaan ketertindasan umat Islam akibat keberpihakan mutlak AS di samping Israel hingga bisa meningkatkan sentiment anti-AS dan terorisme global.
Penolakan Internal
Tidak banyak yang tahu jika langkah Abbas ke PBB ini justru menyulut polemik tajam di internal Palestina sendiri. Dengan kata lain, langkah Mahmud Abbas ini sejatinya bukan hasil kesepakatan rekonsiliasi Palestina. Hamas, Jihad Islami dan sejumlah faksi-faksi lainnya di Palestina menolak langkah ke PBB ini dengan konsep negara yang ditawarkan Abbas. Mereka masih realistis jika masalahnya wilayah negara nantinya adalah jajahan 1967. Mereka bukan menolak langkah diplomasi di dunia internasional untuk memperjuangkan hak-hak legal Palestina yang dirampas oleh Zionis Israel.
Penolakan mereka lebih didasari oleh pengalaman selama ini perjuangan di level internasional tidak membuahkan hasil, kecuali sekadar opini publik dan prosedur teknis formal tanpa ada langkah nyata di lapangan. Di PBB dinyatakan merdeka, namun di lapangan negara Palestina tidak memiliki kedaulatan penuh dan tidak memiliki persenjataan sebagaimana layaknya sebuah negara merdeka di dunia.
Bagi mereka inisiatif politik apapun penting untuk menekan penjajah dan mempersempit geraknya serta memaksa negara dunia agar menghapus duka nestapa dari Palestina dan rakyatnya. Namun langkah politik apapun harus didahului persatuan nasional dan integrasi keputusan politik dalam negeri untuk menjamin langkah politik itu bersifat matang dan kuat yang bisa didukung semua pihak. Prasyarat inilah yang tak dilakukan oleh Abbas sebelum melangkah ke PBB.
Belum lagi konsep Negara yang ditawarkan Abu Mazen, dalam penilaian faksi-faksi pejuang, juga bermasalah. Sebab ia hanya meminta pengakuan atas 22% dari luas total wilayah historis Palestina. Padahal oleh mendiang Presiden Yasser Arafat, setidaknya Negara Palestina harus berdiri dan diakui dunia di atas 44% dari luas total wilayah yang jadi sengketa sesuai Resolusi PBB no. 181 tahun 1947. Apalagi nasib hak kembali pengungsi Palestina tidak disebut eksplisit dalam proposal itu.
Obama dan Jalan Pintas
Presiden AS, Barack Obama, mengatakan kepada Abbas secara terbuka dan pribadi di PBB bahwa tidak akan ada sebuah negara Palestina tanpa kesepakatan dengan Israel yang dicapai melalui perundingan langsung dan tidak ada jalan pintas. Pernyataan ini sungguh aneh dan mencederai komitmennya untuk membangun kepercayaan dengan dunia Islam dalam pidatonya di Universitas Kairo setelah terpilih menjadi presiden AS. Selama isu kemerdekaan Palestina tidak digubris Obama, maka jangan harap hubungan AS-Dunia Islam bisa pulih dan baik.
Ucapan Obama “tidak ada jalan pintas untuk negara Palestina” adalah pelecehan sistematis atas hak-hak Palestina. Ironisnya itu disampaikan di podium terhormat PBB yang dalam deklarasinya jelas-jelas menjamin hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Palestina hidup di bawah penjajahan dan pembuangan lebih dari 60 tahun. Apakah langkah ke PBB ini disebut jalan pintas? Selama setengah abad lebih, Israel menghancurkan kota dan desa-desa di Palestina semenjak entitas zionis itu didirikan. Bukankah ini yang namanya jalan pintas? Amerika juga turut mendanai proyek-proyek pemukiman Israel di atas tanah Palestina lebih dari 35 tahun. Inilah yang namanya jalan pintas. Israel bahkan menggunakan senjata terbaru produksi Amerika, dan legalitas politiknya untuk merepresi Palestina dan mencuri tanah mereka sepanjang dekade. Bukankah ini yang lebih pantas disebut jalan pintas?!
Ditambah lagi jaminan-jaminan Amerika dan dunia internasional. Sehingga Israel tidak pernah gamang menolak konsep negara Palestina selama lebih 3 dekade sejak dimulainya Perundingan Camp David tahun 1977, lalu Perundingan Madrid dan Oslo awal 90-an hingga Camp-David 2000 sampai kini. Sehingga yang tersisa untuk Palestina hanya 22% dari total wilayah historis Palestina dan Israel berubah menjadi kekuatan militer terbesar di regional karena dukungan dana dan teknologi Amerika.
Meski demikian, Obama tetap ngotot pihak Palestina lah yang menolak perundingan dan dituding mencari “jalan pintas”. Tanyalah Obama, apakah AS merdeka hasil dari perundingan atau karena perang kemerdekaan melawan Inggris? Bagaimana dengan Israel? Entitas ini menjajah dan memaksakan berdiri di atas tanah Palestina dan melalui voting di PBB. Israel tidak pernah merdeka dan diakui sebagai hasil perundingan dengan Palestina, namun lebih karena konspirasi dan kekuatan negara-negara adidaya; Inggris dan Amerika.
Tunda Momentum
Melihat situasi geopolitik internasional saat ini, dan mandeknya reformasi DK-PBB serta mendekatnya pemilu presiden AS tahun depan dimana Obama akan mencalonkan kembali dirinya yang tak lepas dari dana-dana lobi Yahudi Amerika, maka kecil harapan Palestina bisa merdeka dan menjadi anggota penuh PBB. Agaknya Otoritas Palestina pimpinan Mahmud Abbas harus lebih cerdik dan sabar sembari menyusun kekuatan nasional Palestina. Toh kedaulatan Palestina telah diakui dan memiliki kedubes di 122 negara.
Pengakuan anggota penuh PBB akan datang sendiri jika Palestina bersatu, didukung oleh perubahan politik kawasan yang cenderung anti-Israel pasca revolusi Arab, berhasil menggalang solidaritas dunia Islam dan tentu saja political will PBB untuk menerapkan semua resolusinya terkait Palestina. Kita tentu saja tidak mau lahirnya resolusi pengakuan keanggotaan penuh di PBB sekadar mengoleksi daftar panjang resolusi yang tak pernah diterapkan dan dipatuhi oleh Israel.
Pengamat Politik dan Pemikiran Timur Tengah, Alumni Universitas Al-Azhar Kairo