oleh: Agus A Roziqin
APA yang pembaca bayangkan saat mendengar orang menyebut Amerika Serikat? Segara terbayang dalam pemikiran kita, tentang sebuah negara adidaya yang menjadi polisi dunia dengan keangkuhan menyentuh langit. Semenjak ambruknya Uni Sovyet dan blok komunis, negara Paman Sam, seolah-olah berjalan sendirian sebagai kekuatan adi daya. Terbayang dalam pikiran bagaimana mereka bisa mengirim pasukan ke sebuah negara berdaulat, menembak seseorang yang dianggap musuh, tanpa izin terlebih dulu.
Belum ada kekuatan yang menjadi penyeimbang, sehingga AS merasa menjadi penguasa tunggal. Jika kekuasaan besar tanpa penyeimbang, maka dengan mudah akan membangkitkan cara pandang terhadap dunia dengan pandangan yang sempit. Tidak adanya penyeimbang yang mampu diperhitungkan sebagai oposisi bagi AS, dunia rasanya akan berjalan dengan kaki satu atau melihat dengan mata sebelah. Tidak ada sebuah keseimbangan. Sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang merindukan dunia yang adil dan damai.
Kebijakan politik AS yang keras, cenderung memicu perlawanan yang keras pula. Semakin keras AS menjalankan kebijakannya akan semakin keras pula perlawanan.
Wajarlah jika kantor kedutaan besar Amerika Serikat menjadi tempat yang paling rawan di belahan dunia dan menjadi tempat ditingkat keamanan yang paling tinggi. Karena mereka menyadari begitu banyak perlawanan, menyebar ke seluruh belahan bumi.
Saat Barack Obama ke Indonesia, begitu banyak pengaman super yang serba merepotkan. Cerminan rasa tidak aman dari kebijakannya sendiri.
Istilahnya, barang siapa yang menabur angin pastilah akan menuai badai.
Kebijakan politik AS sering berhadapan dengan negara-negara yang mayoritas penganut Islam. Kasus Iraq, Palestina, dan Libanon seringkali membenarkan teorinya Clash of Civilizations Samuel Huntington.
Sebuah pertempuran budaya antara AS yang mewakili barat dan Islam yang mewakili peradaban. Kekuatan umat Islam dianggap sebagai ”empire of devil” (kerajaan setan) yang meneruskan kekuatan komunisme.
Peristiwa serangan terhadap WTC menjadi pemicu semakin menguatnya potensi benturan Islam dan barat secara berhadap-hadapan. Al-Qaidah yang diidentikan dengan gerakan Islam militan yang berada di balik serangan tersebut.
Berbagai kasus penyerangan terhadap umat Islam terjadi di Amerika dan Eropa, mereka yang sejak awal phobia terhadap Islam menemukan peluru yang digunakan untuk membidik Islam.
Mereka menganggap Al-Qaidah mewakili seluruh umat Islam. Sehingga Islam menjadi musuh bersama yang menggantikan posisi blok komunis. Jika dulu perang dinginnya dengan blok komunis sekarang dengan blok Islam.
Perkataan Amos Perlmutter mewakili gambar buram Islam di mata Barat.
”Islam merupakan sebuah gerakan yang agresif, sama militan dan kejamnya dengan gerakan revolusi Bolshevik, Fasis, dan Nazi di masa lalu,” demikian ujarnya.
Memang secara formal pemerintah AS tidak pernah menyebut Islam sebagai musuh, yang dimusuhi adalah terorisme yang bisa hadir dalam wujud apa saja dan agama apa saja. Untuk memperkuat sikap AS, setiap Ramadhan presiden Amerika melakukan buka bersama umat Islam. Namun pada saat tertentu, kitapun dengan jelas mendengar perkataan pemimpin-pemimpin AS yang mengesankan Islam sebagai musuh.
Misalnya perkataan George Bush saat akan menyerang Iraq dengan sebutan crusade (Perang Salib). Sedang pasukannya pastilah disebut crusader, yang bermakna orang yang mengikuti Perang Salib. Kita semua tahu, Perang Salib adalah perang panjang yang membenturkan Islam dan Kristen.
Kebijakan AS semakin terlihat belangnya setalah robohnya WTC, kebijakan stick and carrot (tongkat dan wortel) digunakan yang melahirkan sikap agresif terhadap negara lain. Daripada menunggu diserang, AS sering cepat akan menyerang, setiap potensi gangguan terhadap negaranya harus sudah dilumpuhkan saat masih bayi atau baru sekedar ancaman. Khususnya negeri Islam.
Tapi mengapa menjadikan Islam menjadi pilihan musuh?
Fawaz A. Gerges, profesor di Sarah Lawrence College dan pengarang buku “Journey of the Jihadist: Inside Muslim Militancy” mengatakan, Islam tidak bisa didamaikan dengan Barat yang Kristen serta sekular. Dan karenanya, Amerika Serikat harus memastikan gerakan ini (Islam) dilumpuhkan sejak lahir.” [Fawaz A Gerges, 2002:28].
Kita semua tahu perkataan ini tidak mewakili dunia Barat seluruhnya, tetapi pada saat-saat tertentu umat Islam merasakan pemikiran seperti itu mempengaruhi kebijakan AS dan sekutunya.
Sama halnya dengan umat Islam. Pastilah tidak semua umat Islam membenci AS sebagai sebuah bangsa atau membenci warga negaranya, karena Islam secara tegas mengajari untuk menghormati keberagaman. Dikarenakan Allah telah firman dalam al-Quran, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS Al-Hujurat:13].
Sejarah mencatat kehadiran sahabat Bilal bin Rabah dan Salman Al-Farisi, sebagai cikal bakal Islam yang universal dan terbuka.
Kenyataan-kenyataan di lapangan yang memperlihatkan AS kurang berpihak, bahkan bermusuhan dengan umat Islam akan memperburuk citra umatnya sendiri.
Pada banyak kasus, sebagian umat Islam masih berharap AS mempunyai kebijakan yang adil terhadap dunia Islam. Mereka berharap AS bisa membuka kedua matanya untuk melihat konflik Palestina dan Israel. Karena selama ini melihat hanya satu mata, tentu dengan pandangan ke arah anak emasnya Israel. Ini bisa kita lihat ekspresi sebagian umat Islam yang percaya dan berharap presiden Barack Obama akan melakukan perubahan fundamental, sayang sekali harapan itu sekarang belum terwujud. Berakhir dengan kekecewaan mendalam.
Kebijakan Standar Ganda
Salah satu yang paling mudah dirasakan adalah kebijakan standar ganda Amerika Serikat. Di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) AS seakan-akan telah menjadi kekuatan tunggal, Rusia dan China belum menjadi poros penyeimbang, sehingga terlihat sekali banyak kebijakan PBB yang condong ke kepentingan politik AS dan negara sekutunya. Hak Veto yang masih berlaku sampai sekarang, menjadi bukti bahwa AS tidak pernah bersungguh-sungguh menciptakan dunia baru yang adil dan bersahabat. Seluruh anggota PBB bersepakat untuk memutuskan sesuatu, tetapi AS menggunakan hak vetonya maka keputusan itu akan gugur. Adilkah kehidupan politik seperti ini ? Pastilah hati nurani kita akan mengatakan tidak adil.
Jika kita mengikuti perkembangan suatu keputusan di PBB dari media massa, terutama kasus Palestina dan Israel, kita akan melihat tontonan yang aneh, menjemukan dan sangat membosankan. Apa yang bisa kita lihat?
Kita hanya akan melihat show of force dari kepentingan politik AS, semua terlihat terbuka dan tanpa tedeng aling-aling. Suara moyaritas anggota PBB untuk Palestina dengan mudah akan dilibas kebijakan AS yang telah dikuasai oleh lobi-lobi Israel atau dukungan mayoritas suara anggota untuk lebih keras menghukum Israel dengan mudah akan digugurkan oleh sikap politik AS. Lantas apa yang bisa umat Islam dari tatanan seperti ini?
Dominasi AS yang nyaris tanpa penyeimbang akan membuat PBB tersandera oleh kepentingan politik negara adi daya tersebut.
Selama ini sudah sangat terlihat AS sangat berada dibalik kepentingan Israel daripada memilih dunia Arab dan Islam. Tepi Barat dan Jalur Gaza menjadi saksi bahwa ketidakadilan menjadi akar persoalan. Bagaimana sikap tegas AS terhadap Iraq dan Iran saat melanggar hukum PBB, tetapi betapa manisnya sikap AS terhadap kelancangan Israel.
Dulu dunia berharap banyak terhadap langkah Barack Obama bisa melihat dunia secara lebih utuh dan bijak, namun setelah melihat upaya Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya lewat sidang umum PBB dan sikap keras AS, masyarakat dunia dapat melihat belum ada yang berubah dari negeri Paman Sam, kalaupun ada perubahan hanya ada pada retorika semata. Sekedar pemanis pada waktu kunjungan kenegaraan, tanpa ada wujud dan tindakan dalam dunia nyata.
Perjuangan Presiden Palestina Mahmud Abbas dengan mudah akan menarik simpati dunia, kecuali AS. Derita rakyat Palestina [terutama di Gaza dan di Tepi Barat] akan mudah menggerakkan simpati masarakat dunia, kecuali pengambil kebijakan di Pentagon dan White House. Semua itu terjadi karena kebijakan standar ganda hakekatnya adalah melihat dunia hanya dengan satu mata. Saat melihat Palestina yang terlihat bukan sebuah negara yang menderita dan terjajah, tetapi sebuah kekuatan kecil yang akan mengganggu kepentingannya di Timur Tengah. Padahal kepentingan AS harus berada di atas segala-galanya. Termasuk harus mengabaikan derita rakyat Palestina.
Harapan Umat Islam
Melihat kenyataan ini, masihkah umat Islam layak berharap kepada AS?
Mungkinkah AS akan menjadi pemimpin dunia yang adil? Rasaya sulit melihat AS berubah, selama dominasi lobi Yahudi masih berjalan, selama kebijakan standar ganda dihidupkan, rasanya umat Islam siap-siap kecewa dan kecewa. Begitu juga, Jalur Gaza dan Tepi Barat menyediakan ruang yang luas untuk berjihad.
Karenanya, tatanan baru bagi dunia yang baik sudah mendesak untuk dikembangkan. AS yang sekarang memasuki masa senja, ekonomi yang terjepit karena mahalnya ongkos perang, bisa membuat AS kehilangan sebagian kekuatannya. Ditambah lagi krisis kepercayaan terhadap kebijakan politik AS, membuat pengaruh negeri paman sam itu akan semakin berkurang dan berkurang. Yang ada hanya sisa kejayaan dari masa lalu, posisi kuatnya di PBB, jaringan dengan NATO dan negara sekutu lainnya, akan menghadapi ujian yang berat. Bangkitnya beberapa negara Asia, akan semakin menyusutkan perannya sebagai penguasa tunggal.
Saatnya umat Islam berperan dalam tatanan baru bagi dunia. Apa sebenarnya yang menjadikan dasar agar umat Islam berperan dalam tatanan dunia baru selain Amerika?
Jawabannya sederhana, sudah lama umat hidup terpecah-pecah dalam berbagai sekat, mulai negara, aliran, madzhab dan manhaj sehingga tidak bisa menjadi kekuatan yang tunggal.
Boleh dikata, sesungguhnya musuh umat terbesar saat ini justru dirinya sendiri.
Allah berfirman, ” Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” [Ash Shaff 4]
Karena itu, hanya kekuatan ukhuwah Islamiyah antar umat-lah yang mampu menjadi penyeimbang kekuatan AS yang gemar melihat dunia hanya dari satu mata saja.
Penulis alumnus IAIN Sunan Ampel, tinggal di Merakurak Tuban, Jawa Timur