Oleh: Che Asmah Ibrahim*
Hidayatullah.com | KEPEMIMPINAN yang kompeten mengacu pada kepemimpinan negara pada khususnya, yang memiliki amanah atau amanat rakyat, kinerja tinggi. Ia menuntut kemampuan dengan atribut kepercayaan, integritas, tanggung jawab, mampu mengatur negara secara efisien dan efektif berdasarkan konstitusi.
Allah Subhanahu Wata’ala telah mencatat kisah putri Nabi Syuaib;
قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ
“Salah satu dari dua wanita itu berkata: “Wahai ayah, ambillah dia sebagai tentara bayaran (gembala kambing kami), memang orang terbaik yang dipekerjakan ayah adalah orang yang kuat, dapat dipercaya.” (QS: Surat al-Qasas: 26).
Ayat ini menjelaskan dua ciri penting yaitu ‘quwwah wal amanah’ yang dalam konteks saat ini kami terjemahkan sebagai kompetensi dan integritas untuk menentukan kepemimpinan yang berwibawa.
Krisis Malaysia
Selain Covid-19, warga Malaysia kini menghadapi krisis kepemimpinan yang menurut saya sudah sangat parah sejak kemerdekaan. Karakteristik otoritas telah hilang di antara para pemimpin negara.
Praktik korupsi, kebocoran dan penyalahgunaan kekuasaan telah mencapai taraf tragedi di tingkat nasional. Uang suap tidak lagi diberikan ‘di bawah meja’ tetapi secara terbuka tanpa rasa malu dan malu. ‘Uang adalah raja’ katanya.
Ironisnya, orang yang korup ditunjuk sebagai penasehat pemberantasan korupsi. Mungkinkah karena kita membutuhkan pencuri untuk menangkap pencuri?
Virus korupsi ini sulit dikendalikan selama kita memiliki pemimpin yang tergila-gila pada kekuasaan dan kekayaan. Ada harga yang bisa dibeli dan bisa ditawar.
Tidak ada vaksin kecuali jika rakyat mencoba mengoreksi pedoman moral dari kepemimpinan negara. Kembali ke jalan Tuhan dalam kebenaran.
Apakah martabat orang Malaysia sudah terkikis sepenuhnya? Tidak bisa membedakan yang baik dari yang buruk? Apakah budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sudah menjadi bagian dari norma baru dalam kehidupan masyarakat Malaysia?
Berbicara tentang korupsi, kita sering mendengar ungkapan masyarakat; “Yang teri s tertangkap. Yang hiu selalu bebas.”
Faktanya ia dimulai dari yang kecil. Bukan ‘ikan teri atau hiu’ yang menjadi tolok ukurnya, melainkan korupsi yang perlu diberantas sepenuhnya dari akarnya.
Menurut Direktur Jenderal Pusat Tata Kelola, Integritas dan Anti Korupsi Nasional (GIACC) Tan Sri Abu Kassim Mohamed dalam program Bina Bina Negara yang diselenggarakan oleh Departemen Riset dan Advokasi Organisasi IKRAM Malaysia yang dilaksanakan pada tanggal 30 September baru-baru ini, teri atau hiu, kecil maupun besar ini, sebenarnya tergantung dari dampaknya.
“Mungkin tindakannya kecil, misalnya di perbatasan, ada penegak hukum yang mengizinkan orang dari luar negeri masuk, dalam situasi Covid-19 saat ini. Misalkan dia (penegak hukum) mendapat uang ketika orang itu diizinkan masuk. Namun, orang tersebut memiliki penyakit Covid-19 dan masuk secara ilegal.”
Tentu efeknya cukup besar, jika hal ini tidak ditanggapi. Penerimaan orang tersebut dengan cara yang tidak terdaftar, dan tentu saja bahkan jika orang tersebut ingin pergi ke rumah sakit tidak dapat diterima.
Hari ini kita juga melihat praktik penegakan dua derajat. Amalannya jauh berbeda dengan apa yang Rasul ﷺ ajarkan. Apakah para pemimpin merasa memiliki hak untuk dibebaskan dari mematuhi hukum? Hanya karena mereka adalah menteri? Di mana kompas moral mereka?
Bahkan orang Malaysia menderita sebagai akibat dari ketidakpatuhan tersebut. Sama seperti tindakan penegakan hukum yang memungkinkan orang dari luar negeri untuk masuk, dalam kasus Covid-19 karena berkompromi dengan ‘umpan kecil’ yang disediakan.
Selain integritas, kompetensi dalam mengatur negara secara efisien dan efektif serta kemampuan mengambil keputusan yang tepat, tertib, dan benar juga sering menjadi kendala. Rakyat kini harus menghadapi berbagai krisis karena keputusan yang diambil oleh pemimpin yang tidak kompeten dan bukan ahli di bidangnya dalam menjalankan tanggung jawab tersebut.
Selain itu, perusahaan pemerintah juga sekarang dipimpin oleh mereka yang tidak ahli di bidang yang dibutuhkan. Padahal, bukankah itu ‘fit and proper’ yang sangat dibutuhkan?
Menempatkan pemimpin yang tidak kompeten mengundang kehancuran dan kemusnahan, peradaban suatu negara. Jika suatu perusahaan bisa bangkrut karena pemimpin yang tidak kompeten, bukan tidak mungkin, suatu negara juga menghadapi risiko yang sama. Bahkan, lebih tinggi lagi jika melibatkan masyarakat secara keseluruhan.
Kegagalan pemerintah atau pemimpin negara dalam meredam gejala korupsi pada akhirnya dapat menyebabkan suatu negara digadaikan. Ini akan membuat negara dapat dijajah kembali oleh kekuasaan tertentu karena harkat negara sudah dapat dibeli.
Allah Subhanahu Wata’ala secara jelas mengatur baik sifat qawiy (kompetensi) maupun amanah (integritas) secara bersama-sama, dalam menggerakkan kepemimpinan sekarang dan di masa yang akan datang.
Hal seperti ini perlu ditanggapi dengan serius, apa konsekuensinya setelah itu.*
*Naib Presiden Pertubuhan IKRAM Malaysia