Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi*
Hidayatullah.com–Suatu
ketika Zia ul Haq (alm), Presiden Pakistan tahun 1977-1989, mengumpulkan para
wartawan untuk berdialog dan makan siang. Di sela dialog itu Zia ul Haq
bertanya kepada Nizami, Pemimpin Redaksi koran The Nation. “Nizami menurut Anda siapa yang mendirikan dan
membangun negara?” tanya Zia.
Nizami
agak lama berfikir memahami logika Zia, dan lalu menjawab, “Politisi.” Zia
tersenyum mendengar jawaban itu lalu berkata, ”Ternyata wartawan sekelas Anda
masih berfikir sependek itu.” Orang mengira dia akan membanggakan dirinya. Tapi
akhirnya ia membuka persepsinya. “Sebenarnya, yang mendirikan dan membangun
negara itu adalah para intelektual.” Demikian seterusnya dan Zia pun terus
berwacana di seputar isu itu.
Zia
ul Haq berfikir induktif. Di negerinya inspirator kemerdekaan bukan politisi.
Pakistan merdeka dari India berkat –terutama– inspirasi Mohammad Iqbal. Selain
itu terdapat nama-nama seperti Abul Ala al-Maududi, Amir Ali, Sir Syed Ahmad
Khan, dan sebagainya. Semua itu adalah intelektual. India merdeka dari jajahan
Inggris karena kekuatan inspiratif Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore,
Jawaherul Nehru, dan lain-lain. Tampaknya, dari kasus di kedua negeri itulah
kesimpulan Zia tercetus.
Tapi
kesimpulan Zia boleh jadi universal. Kita pasti setuju bahwa Indonesia dibangun
di antaranya oleh HOS Cokroaminoto, yang adalah guru inspiratif Soekarno dan
pemimpin gerakan kebangsaan berdasarkan Islam; Dr. Wahidin Sudiro Husodo, pencetus
Gerakan Budi Utomo berwatak Jawa; Agus Salim, aktor intelektual dari gerakan
kemerdekaan Indonesia yang digelari Soekarno ulama-intelek; KH. Ahmad Dahlan,
KH.Hasyim Asy’ari, Ki Hajar Dewantoro, M. Natsir, serta sejumlah ulama dan
intelektual lainnya. Mereka itu adalah intelektual yang politisi dan politisi
yang intelek. Soekarno dan Hatta sendiri sebenarnya adalah intelektual. Mereka
itu the founding fathers negeri
ini. Jika ini disepakati, maka Zia ul Haq adalah benar. Negeri kita juga tidak
didirikan oleh para politisi, tapi para intelektual yang bervisi politik.
Gordon
S Wood dalam buku The Public Intellectual menganggap the founding fathers sebagai men
of ideas and thought, leading intellelctual sekaligus political leaders. Tapi sejatinya mereka itu secara revolusioner
bukan politisi an sich atau
intelektual murni seperti dalam pengertian modern yang parsial. Mereka itu
adalah intelektual yang tidak teraleniasi dan pemimpin politik yang tidak
terobsesi oleh pemilu. Mereka hidup dalam dunia ide dan realitas dunia
politik, tapi tidak utopis dan juga tidak pragmatis.
Bagi
Leonard Peikoff, dalam The Ominous
Parallels, The Founding Fathers
tidak hanya memiliki ide-ide revolusioner, tapi juga mampu menterjemahkannya ke
dalam realitas sosio-politik. Ayn Rand dalam bukunya For the New Intellectual menjuluki mereka sebagai thinkers who were also men of action.
Menurut John Lock, merekalah yang mendirikan negara sebagai institusi yang
khas. Inilah yang dimaksud Zia ul Haq.
Begitu
idealkah mereka? Benar, karena al-fadhlu lil mubtadi walau ahsana al-muqtadi.
Pujian diberikan kepada pembuka jalan, meski sang penerus bisa lebih baik.
Buktinya generasi sekarang melihat mereka bagaikan mitos, tapi historis. Mereka
memuji tapi tidak bisa mengikuti. Petuah mereka digugu, tapi integritas mereka
tidak dapat ditiru. Gordon juga mengkiritik, kita terlalu banyak memuji, tapi
tidak banyak memahami. Memahami mengapa generasi zaman revolusi bisa begitu,
sedang generasi sekarang tidak. Mengapa idealisme dan politik tidak bisa
bersatu. Mengapa politik hanya dianggap amal yang lepas dari ilmu, retorika
yang tanpa logika. Mengapa politik berarti membangun kekuasaan, bukan peradaban?
Padahal kekuasaan hanyalah tahta yang tak berarti tanpa ilmu, moralitas, dan
tujuan.
Samuel
Eliot Morrison and Harold Laski, keduanya sejarawan Amerika, percaya bahwa
dalam sejarah modern, tidak ada periode yang kaya dengan ide-ide politik yang
memberi banyak kontribusi kepada teori politik Barat. Ini menurut Gordon S Wood
disebabkan oleh kualitas intelektual dalam kehidupan politik masa kini yang
turun drastis. Ide telah dipisahkan dari keuasaan. Dan itu semua adalah harga
yang harus dibayar oleh sistim demokrasi, tulisnya.
Kalau
Gordon beragama, mungkin ia akan berkata itulah harga yang harus dibayar oleh
sekularisme. Agama “tidak mesti bisa” menjadi bekal berpolitik. Prinsip “Jangan
bawa agama ke ranah politik” seperti sudah menjadi konvensi. “Berpolitik tidak
bisa hitam putih”, berarti berpolitik tidak harus ilmiah. Benar salah dalam
dunia akademik tidak menjadi ukuran. Rumusannya bisa begini: “Politisi boleh
bohong, tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah”.
Inilah sebabnya mengapa seorang profesor dan ulama tidak “mudah” mengikuti
logika politik.
Singkatnya,
tidak berarti penerus tidak bisa berfikir revolusioner. Dalam sejarah Islam
para khalifah umumnya memiliki ghirah ilmiyyah. Umar ibn Abdul Aziz adalah
khalifah penerus yang sangat revolusioner. Adh-Dhahabi menyebutnya ulama yang
amilin, artinya juga alim yang amir. Ia mampu mengembangkan ekonomi dan ilmu pengetahuan
sekaligus. Ia membangun politik dan juga peradaban. Rakyatnya tidak layak
menerima zakat karena sejahtera lahir dan batin. Intelektualitasnya adalah
dasar dari keadilannya. Ilmunya menjadi bekal amalnya. Itulah umara-ulama yang
dapat menjadi cahaya (misykat) nagi umat manusia. Wallahu a’lam.
Penulis
Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization
(INSISTS). Tulisan ini dimuat di hidayatullah.com