Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
BELUM reda kekagetan masyarakat dengan kejahatan pedofilia di Jakarta International School (JIS), masyarakat kini dikejutkan lagi dengan kejahatan sama yang terjadi di Sukabumi yang dilakukan oleh Emon. Korban Emon mencapai 110 orang dan kemungkinan besar masih bisa bertambah. Di tengah berita itu, Kompas (06/05/2014) melaporkan, seorang pedagang asongan buku dan poster, Sw (40) ditangkap warga di Terminal Bus Pariwisata Sunan Bonang Tuban Jatim pada Ahad (04/05/2014) terkait kasus kekerasan seksual pada sembilan anak.
Perilaku homoseksual itu menjadi ancaman bagi negeri ini. Ia menyebar bak wabah penyakit. Menurut dr. Rita Fitriyaningsih yang sudah sembilan tahun menjadi mitra LSL atau GWL (Gay, Waria, Laki-laki seks dengan laki-laki), perilaku gay dapat menular kepada orang lain. Dengan kata lain, orang yang tadinya tidak gay dapat menjadi gay jika terus berinteraksi atau berada di dalam komunitas gay.
Makin meningkatnya orang homoseksual tentu berkorelasi dengan makin banyaknya kasus sodomi terhadap anak-anak yang terungkap akhir-akhir ini. Perilaku itu makin mengancam, sebab orang yang jadi korban pada saat kecil, ketika tumbuh dewasa bisa berkembang menjadi pelaku. Itulah yang disebut abused abuser cycle seperti terjadi pada Zainal, salah satu tersangka pelaku pedofilia di JIS, dan Emon, predator pedofil dari Sukabumi, yang disodomi saat kecil dan ketika dewasa menjadi predator menyodomi anak kecil. Hal ini sangat berbahaya sebab dampaknya melebar hingga pada tersebarnya HIV AIDS juga.
Solusi Islam bagi Pelaku Homoseksual
Istilah homoseksual dan lesbianisme bukanlah perkara baru. Aktivitas seksual antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan sesama perempuan tersebut dikenal dengan istilah liwath. Pertama kali, penyimpangan seksual ini terjadi pada kaum Nabi Luth. Beliau diutus kepada kaum Sodom yang biasa melakukan liwath.
Nabi Luth diperintahkan untuk mendakwahi dan amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka.
Allah Subhanahu Wata’ala menjelaskan hal ini: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: ’Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.’ Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS. Al-A’raf: 80-83).
Kelainan seksual ini bukanlah faktor genetis, karena sampai saat ini tidak ada pijkan ilmiah yang menunjukkan bahwa hal ini. Dorongan seksual berasal dari gharizah nau’ (naluri melestarikan jenis) yang muncul bila ada rangsangan. Dorongan ini menuntut adanya pemenuhan. Hanya saja ada yang memenuhinya dengan cara yang halal seperti lewat pernikahan; ada juga yang diharamkan seperti homoseksualitas dan lesbianisme. Demikian juga hasrat untuk homoseks atau lesbian akan muncul bila terdapat rangsangan-rangsangan yang mendorong untuk mencoba atau melakukannya. Ada dua rangsangan yang umumnya merangsang manusia, yaitu pikiran dan realitas yang nampak.
Untuk itu, cara untuk mencegah aktivitas seksual menyimpang tersebut adalah dengan cara menghilangkan rangsangan-rangsangan terkait dengannya.
Pertama, terkait pemikiran. Pemikiran yang mendorong orang mencoba melakukan homoseks atau lesbi adalah pemikiran serba bebas, yakni liberalisme materialisme. Dalam liberalisme, orang dipahamkan bahwa hidup itu terserah mau melakukan apa saja.
Tolak ukurnya pun bersifat materialistik. Karenanya, aktivitas liwath didudukkan sebatas cara memuaskan hasrat seksual yang mereka sebut dengan orientasi seksual. Yang penting sama-sama enjoy. Padahal, dalam Islam, seksualitas merupakan potensi yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk melanjutkan keturunan. Tidak mengherankan bila hubungan seksual diibaratkan al-Quran sebagai ladang dan bercocok tanam (lihat al-Quran surat al-Baqarah: 223).
Selain itu, alasan hak asasi manusia (HAM) sering kali ditanamkan sebagai dalih untuk melakukan perbuatan kaum Sodom. Bahkan, ada juga pemikiran gender yang justru menimbulkan kebencian kepada laki-laki hingga dianggapnya saingan dan musuh bagi perempuan. Muaranya ada perempuan yang menjadi lesbi dengan dalih tersebut. Selama pemikiran-pemikiran ini terus dikembangkan di tengah masyarakat maka atas nama kebebasan pribadi dan berekspresi penyimpangan seksual tersebut tetap mendapat tempat. Oleh sebab itu, pemikiran liberalisme tidak boleh (haram) dikembangkan di masyarakat.
Kedua, secara individual menjauhi hal-hal yang dapat mengundang hasrat melakukan liwath. Islam sangat memperhatikan fitrah manusia. Terkait masalah ini, Rasulullah bersabda: ”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki dalam satu selimut, begitu juga janganlah perempuan tidur dengan perempuan dalam satu selimut.” (HR. Muslim).
Laki-laki yang melihat aurat laki-laki ataupun perempuan yang melihat aurat sesama perempuan akan terangsang. Ini adalah bibit penyimpangan seksual. Apalagi kalau tidur dalam satu selimut. Islam sangat ketat memerintahkan hal tersebut. Bahkan, dimulai sejak anak baligh. Bahkan, adik dan kakak yang sudah sama-sama baligh tidak boleh melakukannya.
Ketiga, secara sistemik hilangkan berbagai hal di tengah masyarakat yang dapat merangsang orang untuk mencoba-coba. Misalnya, hentikan pornografi terkait homo dan lesbi. Kini, di dunia maya berkeliaran promosi tentang itu. VCD liwath pun dijual laksana kacang goreng. Bahkan, promosi homo dan lesbi di media termasuk TV terus gencar dilakukan. Penampilan laki-laki meniru perempuan atau perempuan meniru lak-laki semakin menggila, padahal Islam melarangnya. ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam melarang laki-laki yang meniru perempuan, dan perempuan yang meniru laki-laki” (HR. Bukhari). Ujungnya laki-laki merasa sebagai perempuan yang karenanya lebih melampiaskannya dengan sesama laki-laki. Pemerintah dalam aturan Islam harus mengeluarkan kebijakan tentang tegas terkait hal ini.
Keempat, permudah pernikahan. Terkadang ada rasa takut menikah. Orang tua tidak setuju nikah usia muda dengan alasan belum mapan. Biaya pernikahan pun tinggi. Sementara itu, gejolak seksual besar akibat berbagai rangsangan yang ada. Pada sisi lain, ada kekhawatiran hamil di luar nikah. Jalan keluarnya, ada yang mengambil jalan menjadi homo dan lesbi. Untuk itu orang tua dan pemerintah perlu mempermudah pernikahan. Dorong untuk nikah dini. Negara harus memfasilitasi. Bukan malah menghalang-halangi nikah usia muda. Rasulullah SAW memerintahkan menikah pada saat usia masih muda (HR. Muttafaq ’Alaihi).
Kelima, terapkan hukuman. Bila berbagai pencegahan telah dilakukan tetapi tetap juga terjadi aktivitas homo dan lesbi, maka pengadilan dalam pemerintahan Islam menerapkan hukuman sesuai syara terhadap mereka. Perbuatan tersebut terkategori perbuatan kriminal. Bila pengadilan menemukan bukti dan diputuskan di pengadilan, hukuman bagi para pelakunya adalah hukuman mati. Hal ini didasarkan kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda: ”Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (liwath) maka hukum matilah baik yang melakukan maupun yang diperlakukannya.” (HR. Al-Khomsah kecuali an-Nasa’i).
Selain itu, para sahabat telah berijma’ bahwa hukuman bagi mereka adalah hukuman mati. Imam Baihaki meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang terkait seorang laki-laki yang menggauli sesama lelaki sebagaimana menggauli perempuan. Beliau bertanya kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Semuanya sepakat pelakunya dijatuhi hukuman mati (Lihat, Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-’Uqubat, hal. 80-82).
Hukuman inilah yang akan memberikan efek jawabir (penebus) dan zawajir (pencegah). Tidak seperti sistem saat ini yang hanya memberikan sanksi sekian tahun penjara bagi pelaku. Undang-undang yang ada selama ini seperti tertuang dalam Pasal 292 KUHP tentang pencabulan terhadap anak di bawah umur dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan hukuman maksimal adalah 15 tahun. itu pun sangat jarang pengadilan menjatuhkan hukuman maksimal pada pelaku. Jika sistem persanksian negeri sekuler ini tetap dipertahankan, jangan pernah membayangkan kasus kejahatan sebagaimana yang terjadi di JIS dan juga pada kasus Emon ini tidak terulang lagi.
Khatimah
Demikianlah hukuman Islam dalam myelesaikan permasalahan yang multidemensi yang ada pada umat saat ini. Ini karena tak dapat dipungkiri, bahwa manusia adalah hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Maka tak ada aturan yang lebih baik dibandingkan dengan aturan dari Dzat yang telah menciptakan manusia, yakni Allah Subhanahu Wata’ala subhanahu wa ta’ala.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah Subhanahu Wata’ala bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah: 50)
Termasuk pula dalam kasus pedofilia baru-baru ini. Hanya aturan dari Allah Subhanahu Wata’ala lah yang akan menuntaskan kasus tersebut secara tuntas, tanpa harus ada kejadian yang sama berulang-ulang di sepanjang tahun. Wallahu a’lam bish-shawab.*
Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana IAIN Tulungagung