Sebagai orang kawasan Timur, pada awalnya JK bisa berperan lebih Jawa daripada orang Jawa. Dia senyum-senyum, inggah-inggih, dan penurut. JK seolah-olah membiarkan SBY sibuk dengan mainan barunya, fit and propers test para calon menteri. Lagi pula, bukankah konstitusi memberi Presiden hak prerogatif menyusun kabinet?
Tapi, JK mulai melancarkan jusur-jurus mautnya beberapa saat menjelang susunan kabinet diumumkan. Saat itulah dia menyodorkan sejumlah nama yang diinginkannya. Tentu saja, apa yang dilakukannya itu bagai mengacak-acak rambut yang sudah disisir rapi. Tapi, di sinilah kehebatan JK. Dengan berbagai dalih, dia mampu meyakinkan SBY (baca: fait acompli) untuk menerima nama-nama yang disorongkannya.
Saat itu SBY memang seperti dihadapkan pada situasi apa boleh buat. Ngeyel berdebat apalagi menolak usulan JK, akan memperpanjang waktu penundaan pengumuman. Yang lebih buruk lagi, publik bisa saja menuding pasangan SBY-JK sudah pecah sejak awal. Sebagai safety player dan pemuja citra, tentu saja SBY sangat menhindari kesan seperti ini.
Akhirnya, dengan pertimbangan akan dilakukan reshuffle setelah 6 bulan atau selambatnya setahun kemudian, SBY ‘terpaksa’ menyetujui komposisi dan personel kabinet versi JK. Tentu saja, ada kompromi di sana-sini. Tapi, apa pun, saat itu JK sudah keluar jadi pemenang.
Dengan susunan personel kabinet versi JK itu, bandul pembangunan ekonomi Indonesia semakin bergerak ke kanan. Aroma neolib amat kental dengan duduknya sejumlah nama yang memang sudah sejak lama dikenal sebagai komparador Barat, khususnya IMF dan Bank Dunia.
Indonesia kembali sibuk mengejar pertumbuhan dan abai dengan pemerataan. Selama lima tahun pertama (ditambah lima tahun kedua) pemerintahan SBY, pertumbuhan lebih banyak disebabkan blessing faktor ekseternal. Pertama, harga komoditas primer, termasuk hasil tambang, terus meroket. Kedua, dana asing dari negara-negara maju mengalir deras ke Indonesia. Maklum, di tempat asalnya tengah terjadi kelesuan ekonomi.
Sayangnya kendati dapat berkah dari faktor eksternal, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat di angka 5,5-6%. Padahal dengan tambahan sedikit kretivitas dan kebijakan terobosan, niscaya ekonomi bisa dipacu tumbuh dua dijit.
Koalisi dengan rakyat
Kalau tidak hati-hati, Jokowi bisa mengulangi kesalahan SBY dalam menyusun kabinet. Di tengah lingkaran para penumpang gelap, Jokowi tidak mustahil bakal ‘dipaksa’ setuju dengan praktik ‘dagang sapi’ yang jadi tradisi kekuasaan di sini.
Kalau pun dia berhasil lolos dari ‘tekanan’ Para petinggi Parpol pendukung, ancaman yang tidak kalah serius justru datang dari JK sendiri. Bisa saja tokoh gaek ini mencoba mengulang kembali suksesnya menelikung SBY.
Untuk itu, meminjam istilah ekonom senior Rizal Ramli, cuma ada dua pilihan bagi Jokowi. Pertama, bagi-bagi kekuatan dengan elit. Pilihan ini membawa konsekwensi rakyat kecewa karena tidak akan pernah ada perubahan. Kedua, berkoalisi dengan rakyat dan meninggalkan elit negeri ini.
Seharusnya Jokowi memili berkoalisi dengan rakyat. Dengan begitu dia bisa melawan dominasi serta hegemoni para elit politik dan ekonomi. Caranya, pertama, jangan masukkan penganut dan pejuang mazhab neolib ke dalam kabinet. Kedua, buat kebijakan di bidang ekonomi yang berdasar konstitusi dan berpihak kepada rakyat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Penyebab utama timpangnya kesejahteraan rakyat Indonesia adalah karena suburnya ekonomi rente. Kebijakan kuota impor adalah lahan subur bagi lahirnya berbagai mafia. Ada mafia migas, mafia gula, kedelai, daging, migas, dan lainnya. Kalau kebijakan ini dihapus dan diganti dengan sistem tarif, maka ekonomi berkeadilan akan terwujud.
Jika langkah ini dilakukan, sudah bisa dipastikan Jokowi akan (kembali) mendulang simpati dan dukungan rakyat. Betapa tidak, harga berbagai kebutuhan yang selama ini dikuasai kartel akan turun dengan signifikan. Gula bisa anjlok hingga 70%, daging melorot sampai 80%, dan kedelai turun sekitar 30%.
Dan yang yang tidak kalah kerennya, dengan memberantas mafia migas, pemerintah tidak harus menaikkan harga minyak dengan dalih mengurangi subsidi dan mengamankan APBN. Pembohongan publik atas nama subsidi BBM sudah semestinya dihentikan.*
Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS)