Oleh: Sastrawan Tarigan
TAHUN ini, hari itu kembali lagi. Hari yang dianggap sebagai awal dari sebuah momentum kebangkitan. Adalah kita menyebutnya dengan Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 20 Mei. Kini ia telah menginjak peringatan ke-107 tahun. Tentu bukan perjalanan yang sebentar. Namun, apa yang sudah kita capai?
Barangkali kita perlu mendudukkan makna dari ‘kebangkitan’ itu sendiri, sebelum kita berangkat lebih jauh. Karena selama ini tak pernah jelas apa definisi kebangkitan dalam perspektif bangsa ini. Apakah kebangkitan dalam bentuk kedaulatan penuh terhadap bangsa ini dengan terbebas dari segala rongrongan pihak luar. Baik dari segi ekonomi, politik, dan hukum? Atau kebangkitan dalam bentuk berhasilnya demokrasi yang hasil impor beserta hukum-hukumnya? Atau malah ada definisi lain dari kebangkitan itu? Misalnya, kebangkitan berbagai paham dalam menyebarkan ideologinya di negeri ini? Apa sebenarnya makna kebangkitan dalam perspektif bangsa ini?
Seharusnya ketika menyebut kebangkitan, maka ia sudah mencakup secara keseluruhan bidang yang ada. Bukan malah sesuai bidang yang ditekuni saja. Bahkan bidang yang ditekuni pun, yang dikatakan sudah bangkit itu hanya bagi segelintir orang. Pelaku sektor ekonomi yang mengatakan ekonomi kita sedang bangkit, itu hanya segelintir saja. Tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang tinggi kontradiktif dengan percepatan pengentasan kemiskinan. Sektor-sektor penting dari perekonomian kita masih dikuasai asing. Kita masih belum mampu juga lepas dari genggaman asing. Bahkan, kita kini semakin diliberalkan kondisinya. Seakan kita tak punya kedaulatan untuk ekonomi kita.
Jika kita tinjau lebih jauh, dan bersifat objektif dalam menilainya. Maka harus kita akui selama ini kita tak pernah punya barometer yang jelas untuk menentukan kebangkitan itu sendiri. Maka masing-masing orang menafsirkan makna kebangkitan sesuai kebutuhannya. Pelaku sektor ekonomi akan mengatakan ia telah bangkit ketika geliat ekonomi sedang tinggi. Politikus akan mengatakan negeri ini sudah bangkit, ketika pelaksanaan pemilu sukses dan berjalan kondusif. Namun, apakah separsial itu makna kebangkitan?
Berbagai sektor mengalami pemerosotan tajam. Sektor hukum adalah bukti sahih kemerosotan dengan kasus yang menimpa petinggi KPK. Upaya pelemahan fungsi KPK untuk memberantas korupsi di negeri ini semakin kuat dilakukan pihak-pihak yang tak menyukai pemberantasan korupsi. Selain itu, setelah pra peradilan yang dilakukan Budi Gunawan sukses. Kini banyak yang tersangkut masalah korupsi mengikuti jejaknya. Bahkan efeknya lebih dari itu. Koruptor takkan khawatir lagi terjerat kasus oleh KPK, karena merasa bisa menggugurkan status tersangkanya dan terus menghirup udara bebas.
Lebih lanjut, sumber daya manusia kita yang jauh tertinggal dari negara tetangga. Padahal sebentar lagi kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Bukankah akan terlihat janggal kelak kita akan menyaksikan anak negeri ini menjadi pengemis.
Sedangkan “bule-bule” berkacak pinggang dinegeri ini dengan semua kekayaan yang mereka punya. Bukankah hal itu adalah pemandangan miris? Kesiapan kita untuk menghadapi MEA jauh dari kata siap. Karena memang sumber daya kita jauh tertinggal. Ditambah lagi negeri ini sepertinya memliki “anomali” yang begitu memuja sumber daya manusia yang berasal dari luar negeri.
Lalu apa yang bisa kita sebut dengan kebangkitan? Disaat negeri jiran terus menampakkan tajinya dan terus melaju meninggalkan kita. Apa yang telah kita lakukan untuk bisa berlari mengejar ketertinggalan? Akankah kita akan terus jauh tertinggal dibelakang? Terus saja bergulat dengan masalah yang itu-itu saja? Kapan kita akan mendapat kedaulatan penuh untuk negeri ini?
Ketika semua ketertinggalan itu semakin nyata, pemerintah janganlah melakukan pencitraan ditengah carut-marutnya kita. Menutupi hancur-leburnya seluruh sektor yang ada dengan tindakan “pahlawan kesiangan”. Seakan-akan itu tindakan ‘heroik’ yang patut diacungi jempol. Penenggelaman kapal-kapal asing untuk menunjukkan kedaulatan. Melakukan eksekusi mati terhadap gembong narkoba untuk memberi tahu dunia bahwa kita berdaulat. Itu semua baik, bahkan sangat baik untuk efek jera. Namun, cukupkah hanya dengan itu? Apakah hanya sekadar ini saja yang dinamakan kedaulatan? Apakah semua masalah akan selesai? Nyatanya kan tidak.
Kita butuh aksi yang tidak hanya sekadar cari nama saja. Kita butuh aksi nyata. Seperti slogan pemerintah sekarang ‘kerja nyata’. Yang berarti semuanya adalah kerja nyata dengan hasil yang bisa dipertanggung jawabkan. Bukan hanya slogan semata. Atau bahkan lebih parah, kerja nyata berubah menjadi “kerja citra”? Ya, semua pekerjaan yang dilakukan hanya untuk pencitraan. Hasilnya? Nihil! Negara ini ada bukan karena pencitraan, namun dengan perjuangan dan kerja nyata tanpa mengharapkan banyak sorotan dan pujian.
Kini dibawah kendali pasangan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-M Jusuf Kalla (JK) dengan jargon Nawa Citanya kita menanti apa yang dapat dilakukannya untuk kebangkitan negeri ini. Bukankah Nawa Citanya Jokowi-JK sendiri banyak membahas tentang kebangkitan, kemandirian, dan kedaulatan? Oleh karena itu, sangatlah dinanti hasilnya. Meskipun saya pribadi pesimis melihat kinerja mereka hingga saat ini. Karena tidak ada peningkatan yang signifikan dalam berbagai bidang. Bahkan cenderung menurun.
Terlepas dari itu semua, tentulah kita tak boleh berlarut dengan keadaan ini. Memang negeri ini sudah terlalu lama dalam kemerosotan. Sudah saatnya ia bangkit dan menunjukkan tajinya.
Apalagi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pemberlakuannya sudah semakin dekat. Kita butuh persiapan matang. Agar tidak semakin tergerus.
Sumber Daya Alam (SDA) kita yang tertinggal jauh, harus segera dipacu. Agar kita tidak tenggelam di negeri sendiri. Namun, sebelum berbicara lebih jauh. Patutlah kita merenung, merefleksi diri kita. Sudah dimana posisi kita saat ini?
Penulis seorang da’i