Oleh: Reza Ageung S.
NAMPAKNYA isu Iran akan tetap hot hingga beberapa waktu mendatang. Pasalnya, Iran telah mengacungkan gertakannya untuk menutup selat hormuz di tengah ancaman sanksi dari Amerika Serikat dan sekutunya atas persoalan nuklir. Menurut pakar kajian Timur Tengah dan politik luar negeri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Siti Mut’iah Setiawati, aksi tutup selat ini akan mengakibatkan terganggunya perekonomian dunia karena sepertiga pasokan minyak dunia mengambil rutenya melalui selat tersebut.
Wajar saja jika Obama berang. Ahad (15/01/2012) lalu, presiden negara adidaya itu mengunjungi Korea Selatan untuk membicarakan sanksi terhadap Iran. Situs Aljazeera pun menampilkan hitung-hitungan armada AS di teluk Persia : ada lebih 5000 pasukan yang tersebar di pangkalan AS di Bahrain, Qatar, Saudi Arabia, UEA dan Oman. Oleh karenanya sebagian kalangan mewanti-wanti semakin meningginya suhu persiapan perang antara AS dan Iran.
Apalagi, di tengah suasana genting itu, Ahmadinejad malah berani-beraninya mengunjungi Hugo Chavez, presiden Venzuela, pada Senin (9/1) lalu. Oleh media, kunjungan Ahmadinejad itu dianggap sebagai “pertemuan sesama anti-imperialis”.
Ya, Chavez adalah satu di antara pemimpin dunia yang berani menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di negerinya begitu ia berkuasa. Hawa perlawanan ini nampaknya nyambung dengan retorika Ahmadinejad selama ini. “Kami akan selalu bersama,” ujar Ahmadinejad yang tersenyum sambil memegang erat tangan Chavez, “Kami pemenang dalam pertarungan melawan imperialisme.”
Tentu saja, sikap kepala-batu Iran bagi Barat menjengkelkan. Namun di alam bawah sadar rakyat dunia ketiga dan dunia Islam yang telah menabung dendam pada hegemoni kapitalisme ala Amerika yang selama lebih dari setengah abad menindas, menjajah dan menyokong rezim-rezim diktator, Iran menjadi semacam juru selamat. Sebuah negara langka yang berdiri menghadap Barat dengan kepala tegak di tengah kebanyak negara lain yang membungkukkan badan. Ahmadinejad dianggap sesosok anti-Barat semacam Soekarno di Tanah Air pada masa lalu.
Terlebih, Saat ini saat ini Iran berada di hadapan bangsa Arab yang baru saja mengalami gejolak-gejolak besar. Rakyat Arab tengah celingukan mencari pemimpin dan sistem alternatif. Bisa saja Iran, yang juga lahir dari rahim revolusi yang sangat anti-Barat, mencoba meraih hati bangsa Arab untuk menjadikannya semacam pemimpin alternatif.
Nampaknya Erdogan sudah mendahului dalam hal ini meskipun hasilnya miskin dukungan. Namun, adakah harapan pada Iran?
Paradoks-paradoks Iran
Pertanyaan “Adakah harapan pada Iran?” di atas harus diajukan dengan tanda tanya yang besar. Di saat Iran sekilas memberi hawa baru dalam konteks perlawanan umat Islam terhadap imperalisme, paradoks-paradoks masih bermunculan :
Pertama, corak Islami pada Iran sudah dibiaskan dengan corak nasionalisme. Hal ini terlihat di antaranya pada dijadikannya bahasa Persia, dan bukan Arab, sebagai bahasa resmi. Label Syariat Islam pun hanya menjadi kosmetik belaka. Dampaknya, politik luar negeri Iran, alih-alih didedikasikan untuk kepentingan dunia Islam, seperti pembebasan Palestina, malah diarahkan untuk kepentingan hegemoni dirinya sendiri. Hal ini terlihat pada persoalan teluk.
Kedua, sentimen sektarian membuat politik luar negerinya “pilih kasih”. Untuk kasus Iraq dan Afghanistan, misalnya, Iran tidak berusaha mencegah invasi AS, dan hanya memperhatikan jamaah-jamaah Syiah yang memiliki kedekatan loyalitas dengan Iran.
Bahkan, Muhammad Ali Abthahi, Wakil Presiden Iran untuk urusan parlemen dan perundang-undangan pada tahun 2004 pernah berkata, “Seandainya tidak karena kerjasama Iran niscaya Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh dengan begitu mudah.”
Apakah Iran memang berdiri untuk membela dunia Islam? Sementara pada saat yang sama ia diam terhadap invasi AS di Afghanistan dan bahkan duduk bersama AS untuk membicarakan rekonstruksi Iraq pasca invasi?
Lebih parah, Iran masih tidak mencabut dukungan terhadap rezim Al-Assad di Suriah yang telah membunuh ratusan warganya.
Dalam kasus Palestina pun, Iran berhenti pada slogan dan konferensi-konferensi, padahal ia punya kemampuan untuk mengerahkan armadanya guna menghadapi Israel dan AS. Bahkan Menurut pengamat militer AS Dr. Adam B. Lowther, Iran mampu menenggelamkan Kapal Perang AS yang masuk ke perairan.
Oleh karena itu, untuk menjadikan Iran sebagai harapan baru, rakyat dunia Islam masih menunggu klarifikasi atas persoalan-persoalan di atas.
Bagi kita sejauh ini, semangat anti-imperialisme Ahmadinejad masih sebatas slogan, masih setengah hati. Iran belum teruji, terbukti dan terasa.
Di sisi lain, kita melihat kekuatan rakyat Muslim lainnya seperti pejuang Taliban yang miskin slogan dan retorika, namun secara konsisten membuktikan dirinya berada di garis depan perlawanan, berhadapan langsung dengan invasi AS. Termasuk aksi-aksi pejuang Hamas dan milisi Palestina yang lain tanpa pesawat tempur, tanpa rudal, apatah lagi instalasi nuklir.
Taliban misalnya, sudah mengembalikan secara de facto 90% wilayah Afghanistan ke pangkuannya dan membuat kerepotan pasukan AS.
Sementara membandingkan dengan kiprah nyata Hamas yang mempertahankan Jalur Gaza dari blockade jahat Zionis-Israel (dukungan Barat), sayap pejuang kemedekaan Palestina ini jauh lebih riil disbanding Iran yang hanya retorika di atas kertas.
Sebab, jika ada niat, jarak antara Iran menuju Israel hanya sejengkal saja, jika memang Iran suka gembar-gembor memproduksi berbagai senjata canggih. Dari sini, Nampak lebih nyata anak-anak dan pemuda Palestina yang lebih terbukti siap melemparkan benda-benda ala kadarnya dibanding cerita dongeng senjata-senjata milisi Syi’ah Iran itu. Wajar jika banyak pertanyaan. “Jika benar Iran memusuhi Israel, sejak kapan ada satu peluru saja jatuh di Tel Aviv?”
Walhasil, nampaknya, mau tidak mau, sebelum menyatakan dirinya layak untuk mewakili gerakan perlawanan terhadap imperialisme, Iran harus berkaca pada fakta ini terlebih dahulu.*
Penulis adalah pemerhati masalah keagamaan dan dunia Islam, tinggal di Balikpapan
Keterangan foto: Iran yang katanya rajin produksi senjata canggih, tapi belum pernah menyentuh Israel