~“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (QS. An-Nisa:145)~
HARI itu shalat Magrib berjamaah berjalan syahdu. Hujan rintik, gemuruh guruh, kilatan petir, dengan suhu 28 derajat celcius, menjadikan shalat terasa nikmat, terasa khusyuk, terasa dekat denganNya.
Saya berdiri, tepat di belakang imam. Bacaan surah pendek sang Imam, Ustad Abdul Haris, alumni Pondok Ar Rahman, Bogor, mewarnai syahdu dan khusyuk shalatku Magrib ini.
Al Munafiqun. Ya, Magrib ini, imam membacakan Surah Al Munafiqun. Surah ke 63, berjumlah 11 ayat, surah yang turun di Madinah ini, membuat saya larut, membuat saya tergugah. Ayat yang begitu berkesan sore ini. Mulai dari nama surahnya, awal hingga akhir ayatnya.
Imam membagi bacaannya menjadi dua, rakaat pertama dia membacakan hingga ayat 8.
Pada rakaat kedua, imam membacakan 3 ayat terakhir.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ * وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ * وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ)
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”[Quran Surat Al-Munafiqun 9 – 11]
Entalah. Saya goncang. Bukan hanya 3 ayat terakhir ini yang bisa membuat hati tercabik-cabik. Membuat ada rasa khawatir, ada rasa ragu. Apa jaminannya saya bisa masuk surga. Atau akan di simpan di neraka terendah?
Delapan ayat sebelumnya, sudah cukup untuk membuat diri ini bersalah. Untuk dapat membuat kita terduduk lemas dan bertanya. Apakah kami tidak termasuk bagian dari ciri-ciriorang munafik?
Tanda Munafik
Istilah munafik (sebagian memplesetkan menjadi munu) adalah suatu sifat buruk yang hinggap pada diri seseorang. Dalam terminologi Islam istilah itu digunakan untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran Islam tetapi sebenarnya hatinya tidak mengakuinya.
Secara bahasa, munafik berasal dari kata nafaqa (نَفَقَ), artinya keluar.
Dalam pengertian syara’, nifaq berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Jadi arti munafik menurut syara’ adalah orang yang lahirnya beriman padahal hatinya kufur.
Islam menyebut tiga tanda orang munafik.
آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان
“Tanda-tanda orang munafik ada 3, jika berbicara ia berdusta, bila berjanji ia tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah ia mengkhianatinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Allah Subhanahu mengatakan di dalam Al Quran bahwa salah satu fungsi diciptakannya manusia tidak lain hanyalah untuk mengabdi/beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Artinya, jika ada manusia yang tidak mau beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala maka ia tidak patut untuk hidup.
Ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala itulah perjuangan hidup yang diajarkan Islam.
Jika manusia mengerti hakekat mengapa dirinya harus hadir di dunia, maka pernyataan yang muncul adalah ‘hidup untuk beribadah dan berjuang’, bukan ‘berjuang untuk hidup’. Tentu yang dimaksudkan adalah berjuang di jalan Allah Subhanahu Wata’ala.
Karena itu tidak sedikit orang memilih dan terlibat di jalan dakwah di saat banyak orang lain memilih gemerlapnya dunia.
Apapun pilihannya, kehadiran kita di dunia, adalah amanah yang telah diberikan Allah Subhanahu Wata’ala. Kita perlu menjaga diri, perlu khawatir dan mawas diri. Jangan sampai dalam amanah yang kita emban, kita berkhianat, berdusta dan tidak menepati janji. Hingga pada akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala kelak meminta pertanggungjawaban pada diri kita semua.
Bersyukurlah, bagi yang bisa terlibat dalam dakwah dan kancah perjuangan Islam. Bisa menikmati hidayahNya dalam shalat berjamaah, dan istiqamahdi medan dakwah. Sebuah nikmat yang tiada terkira tentunya.
Hanya saja, setiap amanah yang kita emban, niat ini bisa berubah, kadang ada persinggahan yang bisa membuat kita semua lalai.
Amanah apapun, berpeluang membuat orang menjadi nifaq yang ujungnya menjadi munafik. Banyak orang berubah ketika tergelincir oleh kepentingan harta, kepentingan jabatan, bahkan kepentingan anak dan isteri.
Kita bisa berubah, dari dakwah dan pejuang sejati menjadi pecundang kelas teri.
Saat jadi pejuang, tentu ia akan tidak berkhianat. Tidak berkhianat atas kepentingan Allah dan RasulNya. Dan tidak berkhianat atas amanah yg diberikan padanya. Kita bisa berkhianat karena bebagai kepentingan dunia kita.
Sebaliknya, kita bisa jadi pecundang ketika kita berhianat kepada Allah, kepada RasulNya, kepada kitabNya, dan berkhianat atas amanah yang diberikan kepada kita.
Cukuplah dikatakan berkhianat kepada Allah tatkala kita bermaksiat kepadaNya.
Hasan al Basri berkata, sibukkanlah diri kalian dengan kebaikan, jika tidak, kalian akan disibukkan dengan keburukan.
Menjadi munafik, bukan sekedar besar kecilnya jabatan yang kita emban, bukan sekedar basah atau keringnya tempat kita, bukan sekedar besar kecilnya gaji yg akan kita terima. Karena tidak ada amanahpun, kita berpeluang untuk berkhianat dan menjadi pecundang.
Menolak amanahpun, bukan berarti kita tidak bisa berhianat. Bisa jadi kita menolak amanah, karena sudah merasa aman untuk kepentingan hidup anak dan isteri kita. Kita merasa sudah tenang dengan gelar, harta, warisan dan tunjangan-tunjangan kita. Atau kita sudah enjoy menikmati bisnis, pasar dan toko-toko kita.
Kita baru merasa terusik, tatkala “ancaman” datang. Pergeseran jabatan, pergantian orang, perpindahan tugas dll. Kita mulai merasa tidak nyaman dan merasa tidak aman. Sebab kita tidak siap berjuang.
Karena itu, dalam kontes ibadah kepada Allah, hanya ada dua pilihan. Jika bukan pejuang pasti pecundang. Wallahu a’lam.*/ Sarmadani Abu Fathun, pengurus Yayasan Al Bayan Makassar