Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Baru-baru ini perasaan ummat Islam “disayat” kembali dengan adanya terompet tahun baru 2016 yang terbuat dari sampul Al-Quran. Ini jelas pelecehan dan penistaan yang di luar batas. Dan sudah pasti menyakiti perasaan ummat Islam. Dan ternyata upaya penistaan dan pelecehan terhadap ummat Islam tidak hanya itu, ada yang lebih dahsyat di acara peringatan Natal Nasional, yang diadakah di Kupang, NTT (28/12/15), tepatnya di rumah Gubernur NTT.
Dikabarkan bahwa pada acara itu hadir sekitar 10.000 orang. Bahkan Presiden Jokowi dan beberapa menteri ikut hadir. Di saat itulah dikumangkan adzan yang mengiringi lagu rohani ‘Ave Maria’. Anehnya lagi, adzan itu dikumandangkan oleh seorang ustadz yang bernama Umarba, seorang imam di Masjid Oepura. Kumandang azan itu mengiringi lagu karya Schubert, yang dinyanyikan oleh Reny Gadja dari gereja Musafir Indonesia. (Lihat: Nyanyi Ave Maria Diiringi Adzan dalam Perayaan Natal Dinilai Kebablasan).
Anehnya lagi, Ustadz Umarba malah mengaku senang bisa turut berkontribusi bagi umat Kristiani pada perayaan Natal Nasional 2015. Menurutnya, melodi baru yang tercipta dari azan dan lagi Ave Maria itu menunjukkan bahwa perbedaan pun bisa disatukan. Dia bahkan menyatakan, “Kita satu keluarga. Alangkah baiknya hidup rukun dan damai.” (Lihat, www.tribunnews.com, “Tak Hanya Kumandang Azan, Qasidah pun Berkumandang di Perayaan Natal Nasional”, 28/12/2015).
Dari peristiwa perayaan Natal Nasional itu setidaknya dapat ditarik beberapa hal penting berikut ini:
Pertama, salah paham tentang toleransi
Jika toleransi dipahami dengan bolehnya mencampur-adukkan ritual yang berbeda: antara azan dan lagu rohani Kristen, ini jelas tidak benar. Karena manfaat dan fungsi azan dalam Islam bukan untuk disalah-gunakan. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa fungsi azan itu adalah empat: (1) menampakkan syiar Islam, (2) kalimat Tawhid, (3) petanda masuknya shalat, dan (4) seruan untuk melakukan shalat jamaah). (Lihat, Imam al-Nawawi, Syarh Muslim (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, Cet. I, 1347 H/1929 M): 4/77).
Selain itu, tentu ada yang dilanggar dan sunnah azan itu sendir. Di mana setiap orang yang mendengar kumandang azan ia harus mengikutinya, seperti ucapan sang muazin itu. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi, “Jika kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka katakanlah seperti apa yang dikumandangkan muazin itu. Kemudian shalawatlah kalian kepadaku. Karena jika salah seorang dari kalian bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan membalasnya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah wasilah kepada Allah untukku, karena wasilah itu adalah satu kedudukan di surga yang diberikan hanya kepada seorang hamba Allah. Dan aku berharap hamba itu adalah aku. Dan siapa yang memohonkan wasilah itu kepada Allah untukku, dia akan mendapatkan syafaatku.” (Lihat, Imam al-Nawawi, Syarh Muslim, 4/85, hadits dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘Ashr).
Apa ia kaum Kristen di Kupang, NTT, itu mengucapkan apa yang dikumandangkan oleh muazzin? Jika ia, berarti mereka telah Muslim semua. Dan ini mustahil. Karena diyakini bahwa kaum Kristen tidak paham makna, fungsi, dan esensi azan sebagai syiar Islam itu. Di sini semestinya seorang pemuka agama Islam, seperti Ustadz Umarba itu harus jeli. Dan di sini tidak ada kaitannya dengan toleransi. Karena toleransi artinya: dapat hidup berdampingan dengan orang yang aqidahnya kita anggap salah dan menyimpang. Dan jika sudah disama-samakan satu keyakinan dalam satu agama dengan keyakinan agama yang jelas berbeda, itu namanya sikretisme, bukan toleransi.
Kedua, lakum dinukum waliyadin
Prinsip bahwa “agamamu adalah bagimu – kalau itu dianggap sebagai din (agama), dan bagiku agamaku” semestinya dapat dipahami dengan baik dan benar. Karena sebab turunnya ayat berkaitan dengan tawaran “kompromi” dan “negosiasi” antara utusan kaum musyrik Makah dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Di mana mereka menawarkan untuk beribadah menyembah tuhan kaum musyrik dan Allah yang disembah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam secara bergantian, selama satu tahun. Jadi, kaum musyrik menyembah Allah selama setahun, sebaliknya nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menyembah tuhan mereka selama satu tahun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam kemudian menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mengkompromikan din Allah dengan yang lainnya.” Lalu Allah turunkan Qs. Al-Kafirun. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pergi ke al-Masjid al-Haram dimana pemuka kaum musyrik berada di dalamnya, kemudian beliau membacakan Qs. Al-Kafirun sampai selesai. Akhirnya, mereka pun putus asa dari upaya kompromi itu. (Lihat, Imam Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi (w. 468 H), Asbab al-Nuzul, tahqiq dan studi: Kamal Basyuni Zaghloul (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H/1991 M), 496. Lihat juga, Imam al-Suyuthi (w. 911 H), Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, Cet. I, 1422 H/2002 M), 310).
Dalam masalah ‘aqidah Rasulullah Saw. mengajarkan kita ketegasan yang luar biasa. Bak kata pepatah, “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.” Kisah hijrahnya para Sahabat Nabi Saw. ke Habasyah (Ethiopia) yang dipimpin oleh Ja’far ibn Abi Thalib semestinya jadi pelajaran penting. Dimana dalam kondisi “mecari suaka” pun ‘aqidah pantang dikorbankan. * (BERSAMBUNG)
Penulis adalah staf pengajar di PP. Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara