oleh: Samir al Hejawi
PRESIDEN Mesir saat ini, Abdul Fattah al-Sisi, jenderal yang berbalik melawan Presiden yang terpilih secara sah, Dr. Mohamed Morsi, menyerukan revolusi agama dan wacana baru terkait keagamaan. Revolusi yang dituntut al-Sisi ini adalah revolusi untuk menyerang Islam.
Dia sedang bekerja untuk membuang identitas Islam Arab dari Mesir, jadi tidak heran jika yang diberi sebutan sebagai “menteri keadilan”, Ahmed al-Zend, menyatakan bahwa ia akan menyeret semua wartawan dengan tuduhan menyebarkan berita bohong tentang dia dan keluarganya dan memasukkannya ke dalam penjara, “bahkan jika orang tersebut adalah Nabi (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Al Zend, yang sering disebut “sang atheis” oleh beberapa pengguna Facebook dan Twitter yang menyiarkan hashtag #theatheist, mewakili gambaran situasi Mesir di zaman pemimpin kudeta al-Sisi.
Baca juga: Menteri Kehakiman Mesir Dipecat Terkait Komentar Penjarakan Nabi
Presiden ini menuduh Islam dan umat Islam telah mengancam seluruh ummat manusia dalam pidato sambutannya pada perayaan Maulid Nabi: “Kita butuh sebuah revolusi agama,” katanya. Hal ini diamini sekelompok pendukungnya yang diketuai jurnalis Ibrahim Eissa, aktris Ilham Chahine, penyair Fatima Naoot, dan aktris Boosi, yang mengatakan, “Mereka yang bilang bahwa Nabi Muhammad adalah manusia paling mulia keliru salah. Mereka belum bertemu al-Sisi.”
Profesor Saad al-Din Hilali bahkan lebih parah lagi hingga menyifati al-Sisi sebagai “utusan Tuhan”, sebagaimana ia juga “menggelari” hal yang sama terhadap mantan Menteri Dalam Negeri Mohammed Ibrahim. Seorang pembaca berita di saluran TV pro-Sisi bahkan mengklaim Presiden al-Sisi “diutus untuk menyempurnakan akhlaq”, yang selalunya dihubungkan sebagai tugas kenabin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Salah seorang wanita di sebuah konferensi pernah mengatakan kepada al-Sisi, “Anda jujur dan dapat dipercaya” (Al-Amin, sebutan pada diri Nabi Muhammad) yang kemudian dijawab oleh Al-Sisi, “Saya akan berusaha untuk menjadi kuat dan jujur.” Kemudian wanita itu menambahkan, “…pengatur yang luas ilmunya”, gelar untuk Nabi Muhammad, Nabi Musa dan Nabi Yusuf.
Bencana terbesarnya, adalah ketika koran pro-Sisi, Al-Fajr mengatakan bahwa “Al-Sisi menemui Tuhan dua kali sehari” dalam sebuah tantangan nyata dan blak-blakan terhadap Islam dan aqidah Islam.
Menteri Keadilan al-Zend hanyalah salah satu dari banyak penjahat yang mendapat dukungan penuh al-Sisi. “Aku tidak akan istirahat sampai aku bunuh semua 400.000 anggota Ikhwanul Muslimin,” tegasnya. “Kami adalah tuan di negeri ini, dan yang lainnya adalah budak.” Jika ada yang membakar foto seorang hakim dalam unjuk rasa, kata al-Zend, “Kami akan membakar jantungnya, ingatannya, dan bahkan semua foto-fotonya, agar ia tidak akan mengotori Mesir.”
Al-Sisi menghina Islam dan satu setengah miliar Muslim di dunia, dengan menuduh bahwa mereka memusuhi semua umat manusia. Pengikut-pengikutnya, penulis Adel Hammouda dan al-Hilali menghina Tuhan sementara al-Zend menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyerukan pembunuhan massal. Ibrahim Eissa menghina syariat Islam, sementara Fatima Naoot menganggap perintah dari Allah kepada Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya Nabi Ismail sebagai “mimpi buruk”. Kemudian akademisi Youssef Ziedan muncul dengan mengatakan, perjalanan Isra Mi’raj Nabi cerita yang dikarang-karang, dan Masjidil Aqsha tidak ada di Palestina. Para pejabat di kementrian pendidikan senada dengan hal ini dan membakar buku-buku Islami untuk “pembersihan” kurikulum dari “kekerasan Islam, jihad dan permusuhan terhadap Yahudi.”
Apa yang terjadi di Mesir adalah perang melawan Islam yang dipimpin oleh al-Sisi sendiri, dan al-Zend adalah salah satu kaki tangannya. Ini adalah perang terhadap identitas Mesir, perang terhadap sejarah, dan perang terhadap keimanan. Inilah tujuan kudeta yang sebenarnya, yang memecah belah Mesir baik secara budaya maupun agama sebelum akhirnya kelak akan rusak secara geografis.*
*Samir Al Hejawi adalah penulis asal Jordan. Tulisan diambil dari artikelnya berjudul “Al Sisi War on Islam” di laman middleeastmonitor.com. Diterjemahkan Karina Chaffinch