Bagaimanapun, kemajuan Qatar saat ini, tak lepas dari kontribusi mutiara bernama Syeikh Yusuf al-Qaradhawi, inilah yang disebut ‘chemistry’
Hidayatullah.com | ULAMA dan cendekiawan Muslim Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi telah meninggal dunia dan dishalatkan di Masjid Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Doha, Qatar, hari Selasa (27/9/2022). Syeikh Al-Qaradhawi, yang meninggal dalam usia 96 tahun, banyak menginspirasi Muslim dunia, baik dalam pemikiran dan politik.
Wafatnya al-Qaradhawi menandai berakhirnya sebuah era dalam Islam kontemporer. Syeikh Al-Qaradhawi adalah salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di dunia, boleh dikatakan advokat paling vokal untuk pembebasan Palestina serta untuk revolusi Arab tahun 2011.
Dalam perjalanan hidupnya, Syeikh al-Qaradhawi pernah mengenyam “pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena dianggap terlibat dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, yang paling ditakuti rezim Arab.
Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Al-Qaradhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.
Ketika Mesir tidak menjadi lahan yang subur untuk dakwah Syeikh al-Qaradhawi, Qatar hadir menjadi tuan rumah yang ramah untuk beliau. Tahun 1961, di era Gamal Abdul Nasser, Syeikh al-Qaradhawi hijrah ke Qatar – sekaligus pengalaman pertama beliau naik pesawat – berbeda dari kebanyakan koleganya yang hijrah ke Arab Saudi yang kala itu di bawah kepemimpinan Raja Faisal.
Qatar kala itu tentunya belum maju, tak sama dengan Qatar kini yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 November nanti. Pun masih berstatus protektorat (di bawah kendali) Inggris. Tak lama selepas merdekanya, tahun 1971, Qatar menemukan salah satu cadangan gas alam cair (LNG) terbesar di dunia.
Penemuan ini yang kemudian menjadi factor pertumbuhan ekonomi Qatar sehingga menempatkannya di jajaran negara terkaya dunia. Saat Syeikh al-Qaradhawi menginjakkan kakinya di Qatar, lembaga keagamaan setempat belum berkembang.
Dalam disertasi doktornya, Hamed A. Hamed mendeskripsikan begaimana para muballigh Qatar saat itu mengandalkan buku berisi 52 khutbah (sesuai jumlah pekan dalam setahun). Mereka dinilai tidak cakap merespon permasalahan real yang dihadapi masyarakat Qatar.
Pada konteks ini, bisa dipahami mengapa kehadiran seorang Yusuf Syeikh al-Qaradhawi, sebagai ulama mumpuni, menjadi sangat vital bagi Qatar. Berbeda dengan koleganya yang hijrah ke negara lain, Syeikh al-Qaradhawi leluasa berkiprah di Qatar.
Termasuk mendesain kurikulum pendidikan. Dalam merancang kurikulum, – di samping ilmu syariah tentunya – Syeikh al-Qaradhawi mencoba menekankan pentingnya bahasa asing, sains, dan matematika.
Langkah ini mendapat resistensi dari murid-muridnya sendiri namun Syeikh al-Qaradhawi tegas dengan pendiriannya bahwa reformasi pendidikan ini diperlukan untuk menghadapi tantangan di era modern.
Upaya Syeikh al-Qaradhawi mereformasi arah pendidikan Qatar mendapatkan atensi dari Emir Qatar, Ahmad bin Ali Al Thani. Hubungan keduanya begitu karib hingga Syeikh al-Qaradhawi menjadi pembimbing Sang Emir selama bulan Ramadhan.
Walhasil, tahun 1969, Syeikh al-Qaradhawi mendapatkan kewarganegaraan Qatar. Keluarga Kerajaan menjadi pendukung utama Syeikh al-Qaradhawi termasuk membiayai safari dakwahnya ke berbagai negara.
Tahun 1977, Syeikh al-Qaradhawi mendirikan Fakultas Syariah, Universitas Qatar sekaligus menjadi Dekan. Kelak dari sinilah, lahir para cendekiawan yang berpengaruh di Qatar dewasa ini.
Bersama Maryam al-Hajari, salah seorang muridnya, Syeikh al-Qaradhawi membantu merintis website populer: IslamOnline.net. Tahun 1996, stasiun TV Al Jazeera lahir.
Syeikh al-Qaradhawi mendapatkan panggung kehormatan lewat program talkshow bertajuk “Ash-Shariah wal-Hayat” (Syariah dan Kehidupan). Khutbah Jumat Syeikh al-Qaradhawi ditayangkan dari Masjid Umar bin Khattab, Doha.
Siaran Syeikh al-Qaradhawi di Al Jazeera bahkan mencapai 35 -60 juta viewers per pekan. Acara mingguan “Syariah dan Kehidupan” ini bahkan berada pada puncaknya sebagai salah satu acara paling populer di saluran pan-Arab.
Tahun 2004, Emir Qatar mendukung pendirian Persatuan Ulama Muslim Internasional (The International Union of Muslim Scholars/IUMS) dimana Syeikh Al-Syeikh al-Qaradhawi duduk sebagai presidennya.
Tahun 2011, terjadi Arab Spring. Lewat Al Jazeera dan IUMS, Syeikh al-Qaradhawi memberikan perspektif dunia Islam baru, sekaligus dukungan pada pergolakan melawan rezim dikator dunia Arab (dengan pengecualian pada Bahrain, di mana beliau mendukung rezim yang berkuasa).
Pada September 2013, acaranya di Al Jazeera berakhir setelah hampir 17 tahun. Dia akhirnya harus pensiun dari kehidupan publik pada tahun 2018, dan memilih mendedikasikan tahun-tahun yang tersisa untuk menulis karya-karya ilmiah yang dikumpulkan menjadi satu ensiklopedia 50 volume.
Mengingat karirnya yang panjang di mata publik, dia mungkin salah satu ulama paling dikenang karena perjuangannya membebaskan Palestina. Syeikh al-Qaradhawi dan Qatar semacam sebuah chemistry yang kuat.
Bagaimanapun, kemajuan Qatar saat ini, tak lepas dari kontribusi mutiara bernama Syeikh Yusuf al-Qaradhawi. Qatar, sebelum era gas, adalah penghasil mutiara, namun setelah Kehadiran al-Qaradhawi tidak hanya penghasil batu mutiara, tetapi mutiara ilmu. Selamat jalan Syeikh al-Qaradhawi.*/tulisan Azwar Tahir