Oleh: Herry Nurdi
PEKAN lalu saya singgah di masjid favorit untuk shalat Jum’at. Pak Bur penjual buku dan majalah bekas langganan saya telah menyiapkan buku-buku yang ia anggap sebagai selera saya. Terus terang, saya kagum atas sensitivitasnya melayani dan mengidentifikasi keperluan dan selera konsumen.
Satu di antara tumpukan buku yang ditawarkan adalah, The Last Don (Godfather Terakhir), karya Mario Puzo. Saya sudah pernah membacanya. Tapi saya belum memilikinya. Dengan harga yang cukup murah, tak ada alasan untuk menolak. Saya tak serius membaca buku ini, hanya dalam kesempatan tertentu ketika perjalanan jauh. Tapi semakin lama saya baca, semakin terasa kontekstual dengan kondisi Indonesia. Negeri malang yang saya cintai.
“Good books, will lead to another,” begitu yang saya pelajari. Satu buku bagus akan menuntun pembaca pada buku bagus lainnya, begitu katanya. Setidaknya dalam kasus ini, membaca The Last Don mengingatkan saya pada buku lain dengan tema yang sama, mafia. Buku itu adalah The Mafia Manager. Sebuah buku yang ditulis seseorang yang menyembunyikan identitasnya. Namanya hanya ditulis V saja.
Hari ini, membaca dua buku di atas seolah-olah melihat replika Indonesia. Negeri indah yang dikuasai durjana. Sebuah negeri yang diurus dan diisi dengan penuh manipulasi, konspirasi, kekerasan dan korupsi.
Suap dan besaran uang menentukan berat atau ringannya sebuah hukuman. Lihat saja, Korps Adhyaksa yang seharusnya menjaga lembaga tinggi hukum negara seperti Kejaksaan. Semua punggawanya lantak karena kasus suap. Perut mereka besar-besar, rumah mereka megah dan mewah. Hari ini baru kita tahu, darimana semua itu mereka dapatkan.
Pangkat dan kepentingan, juga menentukan sejauh mana konspirasi berhasil dilakukan. Sampai hari ini, pembunuh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir, belum terungkap tuntas. Satu nama menyebut nama lainnya. Dan akan terus begitu, karena pangkat tinggi dan pejabat besar bisa jadi berada di belakang.
Belum lagi ditambah dengan politik kepentingan. Kasus diungkap untuk membidik sasaran tembak. Sebab, politik dan kekuasaan punya harga yang harus dibayar.
Nyawa dan moral, bukan lagi pertimbangan yang harus dipikirkan sampai kerut di kening bermunculan. Nyawa bila perlu akan dihilangkan, agar rencana berjalan sesuai rancangan. Moral, dilipat dulu agar tak merepotkan pengambilan keputusan.
Benar-benar seperti hidup di negeri mafia yang sangat besar. Semuanya ditentukan oleh banyaknya uang dan kuatnya kekerasan. Dan bila perlu hiburan, zina dan perempuan bisa jadi sesuatu yang memuaskan. Maka tak perlu bertanya jika ada anggota DPR yang terungkap foto telanjangnya punya sejuta alasan. Kekuasaan tak pernah kehabisan alasan untuk mempertahankan kedudukan.
Jangan juga heran jika ratusan pamong praja terungkap memiliki virus mematikan hasil zina dan hubungan seks haram dalam tubuhnya. Mereka mengidap HIV/AIDS, dan itu adalah hal yang wajar. Sebab, di negeri mafia hiburan yang paling menggiurkan adalah berperilaku seksual yang lebih liar daripada binatang. Juga mempermainkan nyawa orang. Tak ketinggalan menghitung uang hasil jarahan, sungguh mengasyikkan.
Seorang penulis Jeremy Bentham merumuskan kalimat sederhana yang betul-betul mengena. “Right, is the child of law: from real laws come real rights. But from imaginary laws, from laws of nature, fancied and invented by poets, rethorician and dealers in moral and intellectual poisons, come imaginary rights. A bastard brood of monsters.”
Hari ini kita seolah hidup di negeri mafia, yang hukum dan peraturannya dilahirkan oleh para pemikir gila. Mereka jago retorika dan berjuta kali menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tapi bermilyar kali melanggar apa yang mereka katakan sendiri.
Hari ini kita seolah hidup di negeri mafia, di mana penegakan hukum dan proses keadilan ditentukan oleh proses tawar-menawar yang melibatkan; ancaman dan godaan, peluru dan desah perempuan.
Hari ini kita hidup seolah di negeri mafia, di mana semua hak dan kewajiban hanya kumpulan imajinasi. Tak ada yang nyata, semuanya fatamorgana. Yang ada hanya mereka; para Don, monster dan konspirator. Dan cerita di negeri mafia ini masih akan sangat panjang, sebab mereka bukanlah The Last Don.
Dan parahnya, ketika isu-isu politik dan mafia hukum sudah tak terkontrol lagi, kasus-kasus korupsi dan salah guna kuasa mengancam eksistensi sang Don, tiba-tiba muncul isu baru untuk menutupi. Seringkali, isu baru ini bernama terorisme. Dan setiap kali muncul, selalu lebih canggih dan lebih heboh dari sebelumnya. Sebab, kasus yang akan dialihkan dan ditutupi juga sangat besar dan canggih.
Tapi percayalah, para Don yang durjana, rakyat ini bukan orang-orang bodoh. Umat bukan kumpulan orang lugu menjelang dungu yang membiarkan semua segera berlalu. Mereka mencatat dan mencerna semua, mereka bersikap dan bersiap pada saatnya. Kezaliman kalian ada batasnya, pasti! Sementara kekuatan umat ini tak terbatas dan memiliki ketahanan tersendiri.*
Penulis buku, mantan Pimred Sabili