Berawal dari serangan “Black September” yang kerap disebut 9/11, yang meruntuhkan menara kembar di Wall Street Centre, kampanye dan “proyek terorisme” terus berkembang menuju negara-negara Muslim.
Setelah peristiwa menyeramkan itu, mendadak-sontak, Amerika menuding organisasi al-Qaidah sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap serangkaian peristiwa terorisme di banyak negara.
Opini mulai bergulir, tak lama berselang Amerika melancarkan invasinya terhadap Afghanistan dengan alasan pejuang Taliban yang memimpin pemerintahan negara tersebut telah memberikan ruang hidup bagi terbentuknya perkecambahan spora al-Qaidah.
Organisasi ini, konon, dituding oleh pemerintahan Bush sebagai ekstrimis, Islam radikal yang harus dimusnahkan. Tak berselang lama, Amerika menyerang ‘Negeri 1001 Malam’ dengan alasan klise, telah menyimpan senjata berbahaya yang hingga kini tak pernah ditemukan. Meski demikian, Amerika tetap dengan congkak menyebut Iraq berkembangnya sarang “teroris”. Yang jelas, tak ada hari tanpa menyebut al-Qaidah.
Sembilan tahun berselang, upaya yang katanya disebut heroik oleh Amerika beserta sekutunya telah mencapai kepada upaya internalisasi pemberantasan sel-sel al-Qaidah di negeri-negeri Muslim, yang pada akhirnya menunjuk hidung banyak aktivis dakwah sebagai gembong radikalisme.
Hasil dari “proyek terorisme” Amerika ini, sampai juga ke Indonesia. Dampaknya bukanlah sedikit. Drama penangkapan di mana-mana, dan pembunuhan orang-orang yang belum tentu bersalah.
Sampai sejauh ini, hal-hal yang telah disangkakan sebagai tindakan terorisme tidak banyak terbukti. Meski demikian, penangkapan dan pembunuhan terhadap anak bangsa yang tak bersalah terus terjadi. Densus dengan gagah menembak mati di mana-mana. Herannya, media seolah membenarkan saja pembunuhan secara sistematis ini. Seolah nyawa di Indonesia tak ada harganya.
Bahkan tak sedikit pula kasus salah tangkap orang-orang yang diduga pelaku tindak pidana terorisme. Namun tidak pernah pula mereka mendapatkan haknya agar namanya direhabilitasi.
Wajah baru, gaya tetap lama!
Menyaksikan kejadian ini, mengingkatkan kembali gaya-gaya lama kolonialisme ketika menjajah Indonesia.
Pada waktu itu penjajah Belanda memposisikan sebuah pulau di Utara Batavia yang bernama Pulau Onrust sebagai tempat pelabelan bagi orang-orang yang dianggap membahayakan kelangsungan imperialisme Belanda di Indonesia.
Ketika itu umat Islam yang akan melaksanakan ibadah Haji diidentifikasi di tempat tersebut dan setelah mereka pulang akan diberi gelar “Haji”. Ya, gelar Haji yang sekarang banyak dibanggakan orang adalah sebuah upaya pelabelan yang negatif bagi umat Islam. Dengan memberikan gelar Haji, pemerintah kolonial mengira akan dengan mudah mencomot para ulama, ustadz, tokoh-tokoh Islam, dan menunjuk hidung mereka sebagai tersangka jika di suatu tempat terjadi upaya yang disebut pemberontakan terhadap para menir Belanda.
Bukan itu saja, sejarah juga mencatat bagaimana pemerintah kolonial menyusupkan dalam komunitas Muslim seorang bernama Dr. Snock Hurgronje. Dia berhasil memperdaya umat Islam dan mencitrakan diri sebagai sosok ulama imitasi bernama Abdul Ghofar dengan kesan seorang Islam moderat. Insting culas kolonialnya telah berhasil mengemas metode “Devide Et Impera” dengan gaya baru untuk merusak pemahaman Al-Wala Wal bara’ masyarakat muslim dan melumpuhkan dakwah Islam.
Kini, seperti kata pepatah bahwa sejarah akan terulang di masa akan datang telah menjadi kenyataan. Neo–Kolonialisme dengan dalang dan skenario yang dimodifikasi telah mencengkram rakyat Indonesia.
Jika dahulu Imperialisme Belanda mencengkram melalui Vereenigde oost indische Compagnie (VOC), saat ini imperialisme negara-negara adidaya dengan kontraktor pengeruk sumber daya alam Indonesia telah menerapkan skenario yang sama dan dengan sedikit revisi. Juga ada tambahan (suplemen) bernama “kampanye terorisme dan radikalisme”.
Gerakan Islam yang anti-penjajahan dinilai akan senantiasa menjadi batu sandungan bagi Neo-kolonialisme. Oleh sebab itu, penerapan gaya lama zaman Belanda dengan metode baru berjudul “terorisme” beserta tagline “radikalisme, ekstrimisme, Islam fundamentalis atau Wahabisme” menjadi skema yang rasional sebagai upaya polarisasi ummat Islam ke dalam kamar-kamar partisi.
Upaya pembentukan opini pun tak henti-hentinya menyajikan judul terorisme sebagai headline media massa. Wajar kiranya hal ini menjadi solusi propaganda, karena media senantiasa berpegang pada “Bad News is Good News”.
Bagi yang dianggap menjunjung demokrasi berstandar ganda yang sesuai dengan definisi Amerika dan sekutunya, maka mereka akan mendapatkan label “Moderat”, “Humanis” atau “Progresif”. Namun bagi mereka yang menolak kerjasama dengan Amerika dan sekutunya, mereka harus rela mendapatkan stempel “radikal”, “fundamentalis”, atau “tekstualis”
Stempel-stempel seperti ini nampaknya akan terus disajikan kepada masyarakat Muslim.
Hasil gerakan penjungkirbalikan opini ini, berbuah sukses dengan ‘sifat alergi antarumat Islam’ terhadap sesama saudaranya yang seiman. Satu ormas dengan ormas lain saling curiga dan saling tuding. Mereka berebut istilah “moderat”, seolah istilah itu bisa menenangkan batinnya dan terbebas dari tuduhan.
Sebagai penutup, kepada kaum Muslim, segeralah sadar akan tipu daya ini. Gerakan tipu daya yang “meneror” umat Islam ini, kadang dirasakan manis sementara. Padahal, ia adalah gerakan “teror” atas skenario global. Dan merekalah sesungguhnnya “the real terrorism”. Wallahu ‘Alam
*)Penulis adalah mahasiswa FMIPA, Jur. Farmasi UHAMKA. Email: [email protected]