Oleh: Ilham Kadir
PERINGATAN Hari Kartini kali ini terlihat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika selama ini, setiap menjelang tanggal 21 April para media berlomba mengupas dan mengulas napak tilas dan ideologi perjuangan R.A.Kartini, maka tahun ini itu semua seakan sudah sirna. Penyebabnya adalah, munculnya fenomena “Deudeuh” atau “Tataa Chubby” seorang pelacur yang ditemukan mati secara tidak wajar setelah melakukan hubungan layiknya suami-istri dengan pelanggannya bernama M Prio Santoso.
Deudeuh dihabisi nyawanya dengan cara dicekik lehernya, lalu diikat menggunakan kabel pengering rambut sampai tewas. Pelacur naas itu dibunuh hanya dengan alasan sepele, ia menutup hidungnya ketika sedang ‘senggama’ sebab Prio memiliki bau badan yang tak sedap, ketersinggungan itulah membawa malapetaka. Kartini modern pun terkapar meregang nyawa. Pelacuran, dengan cara apa pun, tetap menjadikan wanita sebagai korban dan komoditi tak berharga karena telah kehilangan harga diri sepantasnya sebagai manusia yang merupakan makhluk paling mulia.
Demikian pula di Makassar yang dihebohkan dengan pengakuan dua orang siswi SMPN 29 Makassar, Merpati dan Mawar (nama samaran) yang masing-masing berumur 14 tahun, keduanya membongkar praktik seks transaksional. Bahasa lugasnya, pelacuran anak SMP. Itulah yang menjadi headlines news TRIBUN TIMUR edisi Jumat (10/4/2015) dengan tema “Siswi Jual Diri Demi Parfum”.
Berbagai pakar kembali berkomentar tentang masalah ‘jual diri’ anak SMP ini, namun yang jelas, dari tropong Islamic worlview, semua ini bermuara dari satu penyebab, masalah eksternal umat. Secara filosofis, ini adalah imbas dari filsafat materialisme, bahwa segala sesuatu diukur dengan fisisik. Bahkan kebahagiaan yang sejatinya berasal dari alam metafisika juga ukurannya dengan materi yang penuh perhitungan berbasis ilmu eksakta.
Setidaknya, ada tiga bom yang sedang meledak dan memorak-mirandakan umat Islam saat ini, yaitu, food, fun, and fashion. Kuliner, hura-hura, dan busana. Saya dapat pastikan jika para siswi yang melacur itu tidak terlepas dari tiga jenis gaya hidup yang merupakan komuditas impor Barat nomor satu.
Banyaknya restoran dengan performance gaya dan rasa Barat, ditambah budaya hedonisme ingin slalu hura-hura, dengan memiliki berbagai macama fasilitas termasuk gadget canggih, atau pakaian-pakaian bermerek dan farfum yang harum lagi mahal, menuntut seseorang untuk memiliki uang yang tidak sedikit, sehingga mereka yang tidak tahan godaan akan menempuh ‘jalan tol’ dengan menjual barang paling berharganya ‘antara dua paha’ yang sebetulnya berasal dari sebuah riwayat antaranya perkataan Bisyr Al Haafi dan Ibrahim bin Adham rahimahumallah yang menyatakan,”dha’ul ‘ilm baina afkhazin nisa’.” Bahwa hilangnya ilmu disebebkan antara dua paha wanita.
Walaupun konteks riwayat ini ditujukan bagi yang sudah menikah. Tapi, jika sudah menikah saja ilmu bisa terputus bagaimana dengan anak SMP masih belia dan namun sudah menjual diri?
***
Pelacuran merupakan bisnis tertua yang dikenal manusia sejak zaman dulu. Bahkan hingga kini, bisnis haram ini kian mengalami kemajuan seiring dengan berkembangnya teknologi, terutama di abad informasi ini. Salah satunya dengan media internet yang saat ini makin digandrungi berbagai kalangan, membuat pelacuran menjadi makin mudah didapatkan.
Sejatinya, pelacuran adalah salah satu profesi tertua yang selalu ada di setiap zaman, dan selalu saja ada oknum-oknum yang rela menghambakan diri pada hawa nafsu. Penyebabnya tentu beragam, motif ekonomi hanyalah salah satunya, namun bukan satu-satunya sebagaimana yang kerap menjadi alasan para pelacur di Indlnesia.
Sebab jika itu benar, tentu saja di negara-negara maju yang memiliki banyak lapangan kerja, sudah tidak memiliki pelacur, nyatanya justru di negara maju, termasuk Eropa, atau yang terdekat, seperti Singapura, pelacuran kian marak dan semakin menggila.
Pun di negara-negara yang memiliki peraturan yang ketat seperti Arab Saudi atau Malaysia, tetap saja ada pelacur dengan main kucing-kucingan aparat keamanan.
Bahkan, di Iran yang konon memiliki peraturan ketat sebetulnya hanya isapan jempol belaka, sebab pelacuran di negara penyesat itu termasuk terbesar di dunia. Bahkan, menurut La Tinro La Tunrung, mantan Bupati Enrekang pernah menuturkan, ketika ia baru mendarat di Bandara Internasional Teheran-Iran, langsung didekati oleh para pelacur yang menjajakan dirinya.
Di Indonesia yang kita anggap parah pun tidak sampai seperti itu, bisa jadi ini adalah imbas dari kawin mut’ah yang dilegalkan di Iran dan seluruh penganut aliran sesat Syiah.* (bersambung).. 6% tentara AS idap penyakit kelamin…
Penulis adalah peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU), Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor