Oleh: Muhammad Iswardani Chaniago*
PADA 10 Januari 2017 Megawati Soekarno Putri memberikan sebuah pidato dalam rangka HUT PDIP di Jakarta Convention Center. Pidato Megawati menuai banyak respon dan komentar.
Salah satu respon populer adalah yang menyorot kutipan Megawati atas Soekarno: “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.” Kutipan ini dipandang bermasalah karena dianggap meremehkan peran Arab dan keturunan Arab dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi, sejatinya masalah dalam pidato Megawati bukan hanya komentarnya terhadap Arab, bila ditelaah mendalam bahkan dapat tercium aroma mitos dari pidato Mega yang cenderung dipaksakan menjadi realitas terkait persoalan kebhinekaan hingga Pancasila.
Pancasila 1 Juni 1945 Ideologi Resmi Bangsa?
Dalam pidatonya Megawati juga mengatakan: “Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Artinya, secara resmi negara telah mengakui, bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.”
Benarkah Pancasila 1 Juni sebagai ideologi resmi negara sebagaimana diklaim Megawati? tentu itu bisa diperdebatkan. Sebab penetapan ideologi negara tidak pernah dilakukan melalui Keppres Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 yang ditandatangani Jokowi. Ideologi resmi negara haruslah tercantum di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebuah negara sebagai norma dasar. Bila mengikuti logika konstitusi sebagai sebuah kontrak sosial yang melibatkan warga negara dan kemudian membangun sebuah negara bersama -sebagaimana dibangun oleh Dennis A. Muller dalam Constitutional Democracy- maka tidak tampak kontrak sosial itu dalam produk K eppres maupun pidato 1 Juni 1945. Keppres adalah produk eksekutif di bawah konstitusi dan UU dan pidato 1 Juni 1945 baru berupa gagasan Soekarno, sehingga sangat jauh mencerminkan gambaran tentang kontrak sosial sebuah konstitusi dan norma dasar negara. Alangkah anehnya jika penetapan ideologi resmi dilakukan seorang presiden tanpa pernah ada permufakatan yang justru menjadi poin penting dalam pidato Soekarno 1 Juni 1945.
Itu merupakan pertanyaan mendasar bagi pendukung Pancasila 1 Juni 1945. Ada beberapa kemungkinan. (1) Pidato Soekarno 1 Juni itu sudah di-nasakh alias dihapus dan yang berlaku adalah Dekrit Soekarno 5 Juli 1959 sebagai pemberi makna Pancasila paling akhir.
Teori nasakh ini mengasumsikan bahwa pidato Soekarno 1 Juni 1945 tidak bisa dijadikan sumber makna Pancasila saat ini, karena sudah digantikan dengan Pancasila yang bersumber dari Dekrit 5 Juli 1959. Karena sama-sama merupakan produk Soekarno, maka bisa diterapkan kaidah lex posterior derogat legi priori (produk hukum terdahulu dikalahkan dengan produk hukum terkini). Kemungkinan pertama ini nyaris mengatakan bahwa pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama sekali tak bisa menjadi pemberi makna.
(2) pidato Soekarno 1 Juni 1945 bisa saja menjadi basis makna bagi Pancasila, dengan catatan ia tak dapat menjadi pemberi makna yang mandiri. Atau dengan kata lain ia tergantung dengan pemberi makna terkini. Konsekuensinya pidato 1 Juni 1945 secara umum harus mengalami seleksi makna jika ingin diterapkan dalam konteks saat ini. Ia harus disesuaikan dengan pemberi makna terkini atau setidaknya paling akhir seperti pada Dekrit 5 Juli 1959. Karena Dekrit Presiden 5 Juli sudah menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan menjadi satu kesatuan dengan UUD 1945 (tempat Pancasila bersemayam), maka Islam dapat menjadi salah satu pemberi makna yang wajib dipertimbangkan.
Dengan posisi ini pidato Soekarno 1 Juni 1945 tidak bisa memberi tafsir dan ditafsirkan sembarang. Terlebih jika tafsir itu bertentangan dengan Islam. Kemungkinan kedua ini tidak menyatakan secara langsung bahwa pidato Soekarno 1 Juni 1945 terhapus sama sekali, tapi dapat dipakai asalkan sesuai dengan Dekrit Soekarno 5 Juli 1959 (plus Piagam Jakarta)
Jika kita mengambil kemungkinan kedua sebagai pendapat paling moderat terkait pertanyaan bisakah pidato Soekarno 1 Juni 1945 dibakukan sebagai tafsir atau salah satu tafsir Pancasila, maka ada bagian dari pidato tersebut yang tak bisa diadopsi.
Misalnya, gagasan Soekarno tentang dasar mufakat dalam rumusan lima sila-nya. Soekarno mengatakan: “Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil.”
Gagasan Sokearno ini memandang bahwa apapun produk dari parlemen bisa dipandang sah meskipun bertentangan dengan keyakinan mayoritas. Apakah gagasan Soekarno di atas bisa menjadi tafsir Pancasila dari sila pertama hingga sila kelima di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam? Kurang tepat rasanya gagasan Soekarno di atas dijadikan tafsir atas Pancasila. Sebab gagasan tersebut bertentangan dengan logika bahwa produk hukum tidak bisa bertentangan dengan keyakinan warga mayoritas. Dalam studi demokrasi konstitusional, kajian soal pembatasan mayoritas agar tidak menzalimi minoritas, terutama dalam aspek privat, memang cukup populer ketimbang pembatasan minoritas. Berbagai karya yang berbicara soal demokrasi dan konstitusionalisme tak bisa menghindar dari nuasa demikian. Namun dengan logika a contrario bisa dinyatakan sebaliknya bahwa minoritas tidak bisa menzalimi mayoritas secara publik dengan melahirkan produk hukum yang menyalahi keyakinan mayoritas. Bila tirani mayoritas dipandang berbahaya, maka tirani minoritas lebih berbahaya lagi.
Indonesia adalah negara yang menjadikan agama menjadi batas dalam penerapan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, tak aneh jika Islam sebagai mayoritas sebagai pembatasnya. Bagaimana mungkin, misalnya, parlemen membuat produk Undang-undang yang memberikan hak bagi penyuka sesama jenis mengembangkan kurikulum pendidikan dan menyebarkannya, padahal gagasan penyuka sesama jenis bertentangan dengan Islam sebagai agama mayoritas. Bagaimana mungkin pula parlemen meloloskan undang-undang yang mencerminkan bagian dari ajaran sekte agama minoritas yang bertentangan dengan keyakinan agama mayoritas. Oleh sebab itu, poin argumen Soekarno saat memaknai sila mufakat tidak bisa dijadikan tafsir sila Pancasila yang resmi saat ini.
BEM Kema Unpad Pertanyakan Pemberian Gelar Doktor pada Megawati
Lalui mengapa ada sejumlah pihak yang masih keras kepala bahwa Pancasila adalah yang lahir 1 Juni 1945 dan harus ditafsirkan sesuai dengan pidato Soekarno 1 Juni 1945 dan bukan dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959? Banyak kemungkinannya.
Alasan pertama, bisa jadi ini adalah pertahanan terakhir kubu sekularis untuk senantiasa berargumen bahwa Pancasila adalah netral agama. Semua agama setara sesuai visi multikulturalisme dan motif lainnya. Mengingat pidato Soekarno 1 Juni 1945 tidak secara tegas memberikan tempat khusus pada Islam. Berbeda dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat berbicara soal mufakat atau demokrasi, Soekarno pada pidato 1 Juni-nya masih bisa dimanfaatkan kelompok sekularis-liberal guna menafsir Pancasila sesuai dengan pandangan sekular.
Alasan kedua, Pancasila versi Dekrit 5 Juli 1959 secara langsung memberi tempat khusus kepada Piagama Jakarta yang sangat ditakuti kelompok sekular. Dengan menyandarkan Pancasila pada pidato Soekarno 1 Juni 1945 dan tidak dengan Dekrit 5 Juli 1959, kubu sekular liberal berupaya mempromosikan bahwa Pancasila 1 Juni adalah yang ototentik secara konten dan tafsir.*/bersambung..’Apakah Megawati menyebut KH Hasyim As’ary penyebar Ideologi Tertutup’?
Mahasiswa S2 konsentrasi Agama dan Politik, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta