Oleh: Agung Pribadi
SEJAK jatuhnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto, banyak yang menggugat peristiwa G30S PKI yang selama Orde Baru digembargemborkan sebagai aksi anarkis Gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai rekayasa pemerintahan di bawah Soeharto itu.
Bahkan tanggal 11 november 2015 ini digelar International People Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) di Den Haag untuk mengadili negara Indonesia yang dianggap melakukan pembantaian terhadap PKI di tahun 1965.
Banyak versi baru tentang apa yang terjadi saat itu.Ada yang mengatakan bahwa itu adalah aksi melawan kudeta Angkatan Darat, ada yang bilang bahwa peristiwa itu merupakan pembiaran Mayjen Soeharto yang berakhir dengan jabatannya di tampuk pemerintahan.
Dan ada juga yang menuliskan kalau peristiwa G30S PKI adalah bagian rekayasa dari CIA (Central Intelligence Agency) untuk menjatuhkan Presiden Soekarno yang agak “kekiri-kirian”. Dan masih banyak versi lainnya.
Tidak sampai di situ saja, setelah Soeharto jatuh, mulai muncul opini bahwa anggota PKI adalah korban pelanggaran HAM yang tidak diperlakukan adil karena dihukum tanpa melewati proses pengadilan.
Mereka juga menuntut karena menjadi korban pembantaian, yang pelakunya adalah para kiai dan santri.
Bagi penulis, ini yang perlu diluruskan. Sebagai orang yang mendalami sejarah, penulis bisa membuka diri atas apa yang terjadi pada 30 September 1965.
Bisa jadi versi Orde Baru ada yang salah, ada juga unsur benarnya. Atau bisa jadi semua versi yang ada mengandung unsur kebenaran yang terpecah-pecah.
Tapi kalau dikatakan bahwa anggota PKI menjadi korban serangan ulama dan santri, rasanya tidak tepat.
Sepanjang pengetahuan penulis, dari referensi bacaan dan dari saksi hidup yang bercerita, saya meyakini bahwa istilah yang lebih tepat untuk komunisme di Indonesia adalah ‘mereka berhasil dikalahkan’.
Ya, korban memang banyak berjatuhan di kedua belah pihak. Tapi penyerangan selalu dimulai oleh kaum komunis yang mengira posisi mereka sudah kuat.
Di masa jayanya, ketika merasa siap untuk memulai revolusi, partai komunis mempunyai daftar orang-orang yang harus dihabisi karena dianggap akan menjadi penghambat gerakan komunis.
Masih cukup banyak tokoh-tokoh yang hidup dari berbagai kalangan yang bisa mengonfirmasi hal tersebut. Akan tetapi jika kita bertanya pada mantan anggota PKI yang masih hidup, tentu saja mereka akan membantahnya.
Meminjam istilah Nusron Wahid, Ketua GP Anshor, NU, yang mengatakan bahwa yang terjadi adalah “semangat zaman” saat itu. Penulis setuju, komunis menyerang Islam dan umat Islam, ulama bersama santri mempertahankan diri dan menyerang balik, dan komunis kalah. Jadi, sama sekali tidak tepat jika dikatakan komunis adalah korban.
Dalam Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan PKI beserta Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan organ kiri lainnya menelan ribuan korban, baik dari kalangan santri, para ulama, maupun pemimpin tarekat, yang dibantai secara keji (NU online lihat juga buku Himawan Sutanto, Perintah Presiden Soekarno: Rebut Kembali Madiun, Jakarta, Sinar Harapan, 1994. Atau lihat juga Album Perang Kemerdekaan 1945-1950, Jakarta: IPPHOS).
Menurut K.H. Roqib, salah seorang survivor, dalam pembantaian yang dilakukan oleh PKI pada 1948, ada beberapa kiai yang dibunuh, di antaranya adalah K.H Soelaiman Zuhdi Affandi (pemimpin Pesantren Ath-Thohirin, Mojopurno), K.H. Imam Mursjid (pemimpin Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran), K.H. Imam Shof-wan (pemimpin Pesantren Thoriqussu’ada, Rejosari Madiun), serta beberapa kiai lainnya. K.H. Roqib sendiri dikurung bersama 17 orang lainnya di sebuah ruangan, lalu ditembaki dari luar, hanya ia yang selamat dalam peristiwa penembakan itu (Duta Masyarakat online).
Ahmad Mansyur Suryanegara menulis, “Di kaki Gunung Wilis, di daerah Dungus Kresek Madiun, terdapat pemakaman massal para ulama yang ditangkap di berbagai pesantren. Di daerah Takeran Maospati, Magetan terdapat sumur yang dijadikan tempat penyiksaan ulama dan santri yang ditangkap dari berbagai pesantren, antara lain: Pesantren Sewulan, Mojopurno, dan Ponorogo. Mereka dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hidup. Misalnya, Kiai Pesantren Selopura bersama kedua putranya, Gus Bawani dan Gus Zoebair, dilemparkan ke dalam sumur, kemudian ditimbuni dengan batu.” (Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah jilid 2, hal. 246).
Pada 13 Januari 1965, 100 orang anggota PII (Pelajar Islam Indonesia) yang sedang rapat seusai sholat subuh di Masjid Attaqwa, Desa Kanigoro Kab. Kediri, mereka diserbu sekitar 10.000 orang anggota PKI dan underbouw-nya. Menurut saksi mata, Akhyar, ia beruntung selamat karena yang memimpin penyerbuan tersebut adalah tetangganya, Suryadi.
Tapi temanteman Akhyar disiksa hebat, bahkan ada juga yang sampai meninggal (sumber Antaranews). Anis Abiyoso dalam bukunya, Peristiwa Kanigoro terbitan Bentang Budaya juga pernah menceritakan tentang kejadian ini.* (BERSAMBUNG)
Penulis buku “Gara-Gara Indonesia”, alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia