Oleh: Arya Sandhiyudha
DALAM suasana memperjuangkan kemerdekaan, dahulu meletup slogan “merdeka atau mati”. Hingga akhirnya 71 tahun lalu keinginan itu tercapai, kita merdeka.
Setelah merdeka kita nyatanya tidak benar-benar dapat ‘hidup’ tenang, tidak mudah tumbuh eksis mewujudkan cita negara dan peradaban. Dibutuhkan semangat zaman yang pas untuk berselancar di tengah dunia yang dinamis. Pada tabiat zaman sedemikian, kita “berubah atau mati!”
Mendorong karavan negeri ke arah perubahan jelas tidak semudah berkata-kata, atau sekedar kerja-kerja-kerja, tapi harus ada arah gerak Solid, dari para Elit dan kawula Alit-nya.
Efektivitas Elit: Legitimasi, Aparatus, Ekonomi
Elit, para pemimpin negeri, utamanya ranah politik- memang sewajarnya akan selalu dititipkan harapan terbesar. Ironi negara demokrasi, ketika para elit terpilih mereka tidak efektif menggunakan kewenangannya.
Apabila elit tidak efektif memimpin perlu diperiksa tiga hal: legitimasi, aparatus, dan ekonomi. Tiga ini basis efektivitas kepemimpinan.
Pertama — Legitimasi. Kekuasaan efektif diraih jika memiliki kekuatan legitimasi -baik secara tradisional, karisma, dan/ atau legal.
Max Weber-lah orang yang membagi tiga dasar legitimasi kekuasaan: Pertama, otoritas tradisional; legitimasi didapat dari pengakuan masa lalu atau tradisi yang melekat dalam tatanan masyarakat terhadap konsep-persepsi-simbol tertentu.
Kedua, otoritas karismatik; karakter pribadi baik, kecintaan mayoritas rakyat, serta aksi solutif dan inspiratif juga menentukan legitimasi.
Ketiga, otoritas legal rasional; dimana legitimasi kekuasaan didasarkan pada legalitas aturan normatif perundangan yang dibuat oleh wakil rakyat bertujuan menata optimalnya pelayanan kepada rakyat.
Maka dalam perspektif ini kerja politik tidak bisa hanya diartikan sekedar menjadi pejabat publik, namun lebih dari itu kekuasaan musti digunakan untuk memimpin masyarakat, memberi keteladanan terhadap pelaksanaan aturan. Jangan justru malah menabrak aturan dan membiarkan kesemrawutan opini publik, meski atas nama kerja.
Untuk itu, para elit harus berjuang agar diterima dan dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin. Ia diberi hak memimpin atas dasar kerelaan masyarakat.
Pemimpin yang memiliki 3 legitimasi tersebut (tradisional, karismatik, legal) akan lebih mudah melakukan perubahan.
Di tanah air, saya berani menyebut salah satu contoh sosok yang memiliki tiga legitimasi-nya adalah: seorang Gubernur di daerah Timur yang secara legal Menang Pilkada; secara tradisional, cucu orang hebat merupakan cucu pendiri Nahdatul Wathan -sehingga dianggap hebat juga karena dianggap mewarisi ilmu pendahulunya, orangnya pintar-, perawakan kalem, strata akademik doktor dari luar negeri -Al Azhar; secara persona berkarisma. Ia memiliki semua.
Kedua — aparatus Negara. Birokrasi termasuk tentara dan polisi. Aparatus negara yang loyal kepada konstitusi, merupakan syarat netralitas dan profesionalitas -yang juga akan mengefektifkan kepemimpinan.
Bukan membiarkannya terkooptasi oleh Elit . Hanya dengan cara ini aparatus negara bisa menjadi profesional yang berfungsi sebagai intermediary/ penengah antara rakyat dan penguasa, serta memberikan pelayanan publik terbaik.
Ini juga menjadi tren, selepas Perang Dunia kedua secara khusus sejak 1960an, negara-negara maju mengupayakan reformasi administrasi menuju aparatus yang netral dan profesional, misalnya di USA dipacu melalui the Federal Administrative Procedure Act, atau di Jerman melalui UU serupa: Verwaltungsverfahrensgesetz. Turki juga memacu inisiasi serupa seiring dgn upayanya mencapai standar tata kelola pemerintahan yg tertuang dalam European Union Accession.
Di tengah dunia yang terus bergerak ini, sayangnya reformasi birokrasi di Indonesia mengalami stagnasi setelah sebelumnya naik-turun trial and error sejak pergantian rezim 1998 hingga pelembagaannya satu dekade kemudian meski masih menyisakan pekerjaan rumah dalam aspek substansi dan implementasi kebijakan.
Ketiga — ekonomi. Kekuatan ekonomi basisnya adalah banyaknya rakyat yang banyak uang alias sejahtera dan bisa berkontribusi efektif melalui pajak. Ekonomi yang kuat dibutuhkan untuk mendorong inovasi di berbagai bidang seperti teknologi, pendidikan, dan kekuatan militer.
Rezim dengan ekonomi yang stabil berkembang tentu lebih sustained. Ini dipraktikkan Turki dengan memenangkan pemerataan dalam pembangunan ekonomi (pengarusutamaan potensi UMKM yang terasosiasi dalam MÜSIAD terhadap kartel kapital kelas kakap TÜSIAD) sehingga strategi turunan dan resource diarahkan ke sana. New Industrial Economies yang dikenal dengan developmental states ( Jepang, Korea, Taiwan, Singapora ) juga kental dengan disiplin kebijakan untuk mengejar tech advancement sejak 1970an. Kerjasama (kolusi) dalam hubungan pemerintah dan swasta eksis, tapi pemerintahnya menekankan konsistensi untuk penguatan ekspor sebagai substitusi impor untuk mencapai taraf pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.
Generasi kedua di Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina sejak 1980an mencoba meniru tapi hubungan pemerintah-swasta absen dari ‘policy discipline imposed to private sectors’ tersebut, sehingga ekonomi sempoyongan akibat KKN.
Politik Kawula Alit: Kesadaran dan Jaringan
Jangan pula hanya bertumpu pada politik elit di level hilir: mereka yang berprofesi sebagai politisi, kader partai politik, dan pejabat publik.
Kita harus percaya kerja politik di level hulu yakni kerja membangun kesadaran dan jaringan untuk mengubah negara. Dari mulai pegiat sosial, pebisnis, pendidik, dan sebagainya.
Perubahan dari “akar rumput” dalam jangka panjang juga akan memapankan perubahan negara tanpa harus menanti perubahan politik di level hilir.
Kita bisa melihat bagaimana efektivitas “politik” di level hulu, yakni kesadaran yang merata dan berjejaring di akar rumput itu ada pada kasus Spanyol.
Masih lemahnya anggaran negara juga membuat-nya eksis dikunjungi hampir 70 juta wisatawan setiap tahun.
Sudah sekitar 2 tahun pemerintahnya belum terbentuk (sejak 2015), hiruk pikuk politik di level hilir terus berlanjut, artinya belum ada Presiden dan Perdana Menteri resmi hasil Pemilu, serta nyaris semua Kementrian dipimpin Pejabat sementara.
Anggarannya masih sangat lemah setelah terdampak krisis 2007-2008, sehingga bahkan tak mampu untuk sekedar kunjungan balasan ke negara sahabat. Akan tetapi, kesadaran warga negara yang telah mendarah-dagung untuk mempertahankan nilai wisata negerinya membuat “industri” pariwisata dalam terus bergeliat mempertahankannya sebagai daya pikat dunia.
Pemimpin dan Rakyat yang Hebat
Momen hari kemerdekaan kali ini perlu kita manfaatkan untuk menggugah elit juga kawula alit sekaligus dari segala kekhilafan mentalitas dan paradigma.
Pertama dari dugaan bahwa politik hanya berlangsung di level hilir dan cita-cita hanya sesempit politisi dan pejabat publik menjadi termasuk politik hulu membangun kesadaran dan berjejaring demi agenda perubahan negeri.
Kedua, elit harus kita dorong efektivitasnya agar tidak hanya bekerja mempertahankan kekuasaannya, namun juga optimal melayani sehingga meningkat kepercayaan publik atasnya, terwujud netralitas-profesionalitas aparatus, reformasi birokrasi yang substantif, harmoni antar aparatus, dan perbaikan pemerataan pembangunan ekonomi.
Ketiga, kita sebagai kawulo alit terus mematangkan proses kesadaran dan berjejaring, agar agenda mengubah negeri tak diserahkan kepada elit semata.
Semua itu harus diupayakan, sebab kini pilihannya hanya dua: berubah atau mati!
Penulis pakar politik internasional, Direktur Eksekutif, Madani Center for Development and International Studies (MACDIS)