Oleh: Yan S. Prasetiadi
DI TENGAH menguatnya keinginan umat Islam mencari keadilan, agar penista agama segera mendapat hukuman setimpal. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, justru malah sibuk mencari justifikasi pembubaran ormas Islam yang kritis, salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),dengan tudingan anti Pancasila, anti NKRI, dan beragam tuduhan lainnya.
Penulis heran, mengapa begitu mudahnya menuduh tanpa sedikitpun dialog dan klarifikasi.Apakah sebegitu rendah kualitas negarawan dan politisi yang duduk di pemerintahan saat ini, alih-alih merangkul rakyat yang kritis demi bersama mencari solusi bagi problem bangsa yangkompleks ini, yang ada malah mengarah pada tindakan main ancam, seolah ingin mengulang kembali sejarah kelam masa orde baru yang sangat represif, brutal dan otoriter.
Rakyat pun tentu bisa menilai, ketikakasus penistaan agama belum selesai, sedangkanpemerintah malah membuat masalah baru dengan rencana pembubaran ormas Islam, maka akan timbul tanda tanya besar dimata rakyat, hal ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi akhir tragis bagi pemerintah menjelang 2 tahun akhir masa kekuasaan. Ingat, rakyat sekarang sudah sangat cerdas, rakyat masa kini bukanlah rakyat yang sama dengan rakyat pada masa orde lama maupun orde baru.
Ada baiknya pemerintah mendengarkan nasehat para tokoh agar mau membuka dialog dan ruang komunikasi, sehingga bisa menjernihkan masalah. KH Didin Hafidhuddin menyarankan pemerintah mengajak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdialog. Ia pun meminta pemerintah menunjukkan kepemimpinan yang baik di Indonesia. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka mengayomi rakyatnya. “HTI tidak merusak, malah ikut mencerdaskan bangsa. Kalau ada pemikiran yang dinilai belum lurus, luruskan bersama,” kata Kiai Didin di JCC, Rabu (3/5, republika.co.id).
Jadi, pemerintah tidak boleh main-main dan mengedepankan arogansi dalam masalah ini. Sebabkini rakyat sudah begitu mudahnya melakukan gerakan dengan skala besar; Aksi 411, Aksi 212, dan Aksi 55, adalah bukti nyata. Dan sangat memungkinan, ketika pemerintah salah mengambil sikap, rakyat akhirnya mengarahkan targetketidakpuasannya kepada pemerintah. Dan selanjutnya kita semua tahu apa yang terjadi, ketika penguasa menjadi represif, brutal dan otoriter, disaat itulah rakyat akan membalas dan menjadikan penguasa sebagai common enemy, apakah pemerintah mau mengambil resiko ini?
Mudah-mudahan tidak, sebab sejarah negeri ini meniscayakan, setiap keangkuhan dan kediktatoran selalu jatuh dan tumbang, serta menyisakan warisan nama buruk sepanjang sejarah.
Di sisi lain, sikap represif justru membahayakan dan bisa diaggap sebuah kemunduran bagi negara itu sendiri. Sebab, akan menutupi masalah yang substansial dan menguras perhatian seluruh komponen bangsa, dari menyelesaikan berbagai problem yang mendera, kepada masalah lainnya, berupa sikap permusuhan dan konflik antara rakyat dan pemerintah. Padahal, yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah solusi, agar negeri ini terbebas dari beragam masalah yang ada. Kita melihat bagaimana utang luar negeri sangat tinggi, kemiskinan, dekadensi moral, intervensi negara Barat dan Tiongkok terhadap masalah politik dan ekonomi negeri ini, serta segudang masalah akut lainnya. Apakah dengan membungkam sikap kritis masalah bangsa ini akan selesai? Tentu tidak.
Sudah saatnya pemerintah legowo, mau mendengarkan berbagai solusi yang ditawarkan berbagai elemen bangsa ini, termasuk Hizbut Tahrir.
Apalagi, tuduhan yang dialamatkan kepada Hizbut Tahrir, sebetulnya rakyat sudah bisa menilai secara objektif, bahkan aparat sekalipun, kecuali yang pandangannya tertutup recehan rupiah.
Apakah HTI adalah sarang bandar narkoba? Gerombolan koruptor? Penjual BUMN ke pihak Asing? Aktor pencucian uang? Penerima gratifikasi? Mendukung separatisme OPM? Perusak fasilitas umum ketika aksi damai? Mafia prostitusi? Pelindung penista agama? Politisi busuk? Terlibat century gate? BLBI gate? Suka gusur rakyat kecil? Penyebab lepasnya Timor-Timor? Silahkan jawab sendiri!
Baca: Terkait Pembubaran HTI, Muhammadiyah: Langkah Pemerintah Harus Konstitusional
Kalau jawabannya bukan, maka track record ini adalah indikasi, bahwa sikap kritis yang ditunjukan Hizbut Tahrir selama ini adalah sikap yang konstruktif, perlu diapresiasi dan dipelajari lebih lanjut inti doktrinnya secara langsung, sebab bisa jadi ini solusi yang dibutuhkan negeri ini.
Karena solusi yang ditawarkanHTI untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini, selalu menggunakan ajaran Islam, (meski menggunakan wacana Syariah dan Khilafah), sedangkan Islam membawa rahmatan lil ‘alamin, jelaslah ide ini tidak akan berbahaya.
Kalau kita menelaah lebih lanjut ide, wacana, atau gagasan yang direkomendasikan atau yang didakwahkan HTI kepada masyarakat,sebenarnya tidak ada sesuatu yang perlu dirisaukan sama sekali.
Contohnya, gagasan mengenai Khilafah Islam.Sebuah kesalahan dan minim wawasan, jika ini dianggap doktrin original HTI, sebab mengenai gagasan Khilafah Islam, ini kan yang dijalankan oleh para Sahabat Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Bahasan ini memenuhi ruang histori umat Islam, semenjak Khulafa ar-Rasyidin, Khilafah Umayah, Khilafah Abasiyah, dan Utsmaniyah. Betulkan, tidak perlu dirisaukan.
Namun, yang perlu diperjelas adalah apakah HTI dalam menyampaikan doktrin ini menggunakan senjata atau menggangu dan merusak ketertiban umum?
Dan sejarah HTI dari mulai hadir tahun 80-an hingga kini, berdasarkan kitab rujukan asli mereka, kita dapati HT berdakwah menggunakan pemikiran, bersifat politis, dan tanpa kekerasan. Bahkan info terkini yang kita dapat, jika kegiatan seminar atau aksi damai HTI tidak mendapat izin, mereka biasanya dengan tertib membubarkan diri, tidak melakukan anarkis memaksakan kehendak untuk melanjutkan acara.
Jadi sudah saatnya pemerintah terbuka dan mau menerima dialog. Jika dengan gagasan dan teori ideologi negara Barat saja pemerintah mau menerima, mengapa alergi dialog dengan HTI?
Penulis Buku Islam Rahmatan Lil Alamin, Solusi Untuk Indonesia, aktifis HTI