Hidayatullah.com– Ketua Pansus Revisi Undang-Undang (RUU) Terorisme Romo Muhammad Syafii mengatakan, alotnya pembahasan RUU No 15 Tahun 2003 itu karena adanya tarik-menarik keinginan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut.
Syafi’i menuding, apa yang diinginkan pemerintah dalam RUU yang mereka ajukan adalah “kebebasan membantai”.
“Tentu kita sepakat terorisme kejahatan yang harus dilawan. Pemerintah ingin penambahan kewenangan dalam penangkapan, penahanan, dan seterusnya. Tapi jangan penanganannya lebih mengerikan dari terorisme itu sendiri. Maka harus ada aturan-aturan,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Terorisme; Politik dan Upaya Sekuritisasi Kebijakan’ yang diselenggarakan Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (Pushami) di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta, Selasa (22/05/2018).
Salah satu aturan itu, terang Syafi’i, adalah tentang definisi yang saat ini merupakan pembahasan terakhir yang belum rampung.
Ia menjelaskan, awalnya kubu pemerintah, baik pemerintah sendiri maupun fraksi pendukung pemerintah, menilai tidak perlu adanya definisi tersebut.
Namun, lanjut Syafi’i, kubu pemerintah kemudian setuju dengan adanya definisi.
Hanya saja, menurutnya, definisi yang diinginkan kubu pemerintah tidak ada bedanya dengan kriminal biasa. Dimana pemerintah menyodorkan definisi yang mengacu pada pasal pidana materil pasal 6 dan 7 dari RUU yang dianggap merupakan kejahatan pokok dari tindak terorisme.
Yakni terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan teror dan rasa takut, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional.
“Bukan cuma mereka akan bertahan dengan definisi itu, bahkan mereka ditugasi melobi saya. Tentu dengan tanda petik segala macam bentuk lobi,” ungkapnya.
Syafi’i menilai, adanya definisi merupakan hal yang sangat penting agar aparat tidak lagi bebas dan sewenang-wenang menetapkan teroris atau bukan menurut mereka saja, tetapi berdasarkan definisi yang diatur.
Menurutnya, dikatakan teror apabila terdapat unsur ancaman terhadap keamanan negara, motif ideologi, dan juga tujuan politik.*
Baca: Soal Terorisme, An-Nashr Institute: Indonesia Hanya Menerima Proyek