Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | SIMBOI-simbol akan terus muncul di seputar kita, bahkan dimunculkan sebagai bahasa isyarat. Dalam budaya Jawa simbol menjadi tradisi ungkapan atau isyarat, tidak dalam kalimat vulgar atau terang-terangan. Tapi pihak yang disasar setidaknya memahami, bahwa simbol itu dikirim untuknya.
Semua bisa disimbol-simbolkan, apalagi dalam politik. Maka simbol-simbol akan dikirim, bahkan tak mustahil saling berbalasan seperti pantun tanpa kata. Bisu dalam bersuara, tapi tidak diam bersikap-bertindak dalam mengirim isyarat apa yang dimaksudkan dan dikehendaki. Simbol itu punya makna, meski tidak semua ngeh memahaminya.
Presiden Joko Widodo juga mengirim simbol saat Megawati menerima gelar Profesor Kehormatan. Ia tidak hadir dalam acara penganugerahan di Universitas Pertahanan RI (Unhan) itu. Hanya mengirim ucapan selamat lewat video, dan diputar atau dimunculkan di akhir acara seremonial, saat acara sudah selesai.
Lalu apa hubungannya dengan simbol yang dikirim Presiden Jokowi itu, pada hal apa itu bisa dikatakan simbol. Maka ketidakhadirannya di acara itu, dan lebih memilih kunjungan ke Jawa Tengah menemui Ganjar Pranowo, dari situlah kita bisa memahami, bahwa simbol telah dikirimnya.
Maka, makna simbol yang dikirim itu bisa ditafsir, bahwa “perjodohan” di sana, Prabowo yang duduk bersebelahan dengan Puan Maharani pada acara di Unhan itu, menurut simbol yang dikirimnya, itu tidak tepat. Maka memilih menemui Ganjar Pranowo itulah pilihan yang ingin ditampakkannya. Sebuah pilihan keberpihakan.
Tentu menafsir simbol di tahun politik lebih mudah dibaca arah dan sasarannya hendak ke mana. Tapi menafsir simbol itu tentu belum pasti kebenarannya, meski benang merahnya sudah tampak benderang. Sekali lagi, itu belum pasti benar.
Tapi jika lalu pihak lain menghubung-hubungkan sebuah peristiwa itu dengan simbol, maka tidak patutlah itu disalahkan. Itu semacam analisa pada suatu peristiwa, bisa benar atau bisa sebaliknya. Simbol itu bahasa isyarat, justru bisa jadi si pengirim simbol berharap ada pihak yang mau menfasir, agar pesannya sampai.
Simbol dengan Pesan Tajam Menyengat
Simbol yang dikirim atau dilakukan, itu lebih sebagai bentuk protes dengan isyarat. Tidak ingin terang-terangan. Maka simbol dikirimnya agar para pihak yang disasar memahaminya. Memahami akan sikapnya, sikap protesnya. Maka simbol yang dikirimnya, itu bisa juga ditafsir pihak lain. Sekali lagi, bisa jadi itulah yang memang diharapkannya.
Maka simbol yang dikirim menjadi konsumsi publik. Maka para penafsir simbol bersahutan menerjemahkannya agar lebih jelas maknanya. Lebih mudah difahami, agar tahu sikap dan posisi pengirim simbol itu berada di mana.
Mengapa memilih ke Jawa Tengah ketimbang menghadiri peristiwa “sakral” yang diterima Ibu Megawati Soekarnoputri, yang itu bisa jadi sekali-kalinya dalam hidup, yang bisa diibaratkan dengan kematian, yang juga cuma sekali diterima anak manusia.
Bukankah ke Jawa Tengah bisa diatur pada waktu lainnya, bisa di- reschedule ulang pada waktu yang tepat. Tapi jika itu yang dilakukan, tentu tidak muncul simbol. Padahal simbol itu ada setelah pemihakan pilihan itu dimunculkan. Simbol itu yang sedang dikirimkannya. Dan khalayak dengan sendiri nya melihat kemunculan simbol-simbol itu.
Simbol yang dikirim menjadi menarik dan berkelas, jika simbol yang dikirim itu punya bobot pesan yang tajam dan menyasar pihak yang juga punya posisi sedang di atas. Sedang ada dalam pusaran menentukan arah strategi perjalanan yang akan ditentukan. Jika itu ditingkat negara, maka perjalanan menuju 2024, bisa disebut makna sebenarnya dari simbol itu dikirim.
Maka tidak salah jika petugas partai pun pada suatu waktu juga akan menunjukkan sikapnya, jika itu menyangkut kekuasaan. Tampak melawan meski hanya dengan simbol. Tapi simbol yang dikirimnya, itu tajam menyengat bagai kalajengking Afrika, meski ia asli etnis Jawa. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar