Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | AYAT-AYAT Cinta sudah begitu akrab bagi kaum muslimin di Indonesia. Sebuah judul film yang dirilis pada tahun 2008, berasal dari novel yang berjudul sama, karya Habiburrahman El Shirazy. Bahkan, novel ini berhasil menembus pasar pembaca di Asia Tenggara. Beberapa karya novel lainnya juga sukses diangkat ke film layar lebar dan sinetron televisi, seperti Ketika Cinta Bertasbih (novel, 2007) dan Di Atas Sajadah Cinta (novel, 2004).
Selain dikenal sebagai seorang novelis, Habiburrahman EL Shirazy juga dikenal sebagai seorang penyair, dai, bahkan sutradara yang mengawali debutnya sebagai sineas, dalam film berjudul Dalam Mihrab Cinta (2010).
Lulusan Univesitas Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1999 dan kembali ke tanah air pada 2001 ini menghasilkan banyak karya fiksi yang bermuatan dakwah. “Semua karya seni itu harus membawa nilai-nilai iman dan kebaikan serta harus mengajak orang lain untuk mengingat Allah,” jelas Kang Abik -begitu beliau biasa dipanggil, seperti yang diungkapnya dalam program Ngeshare, “Ngaji Dulu, Alim Kemudian“. Selengkapnya simak di link ini:
Sebuah karya seni, termasuk puisi, novel, drama, atau film, menurut Kang Abik, tidak bisa bebas dari nilai. Seorang pencipta seni akan memasukan ideologi yang diyakininya dalam setiap karyanya. Ada orang yang berpendapat bahwanya seni itu harus terbebas dari dominasi nilai tertentu, tapi karya sastra tidak mungkin hadir dari ruang yang kosong. Setidaknya prinsip seni untuk seni itu pun adalah sebuah ideologi. Karena itulah, dalam Islam setiap karya seni harus memiliki sebuah misi dakwah, sebagaimana dahulu beberapa sahabat Nabi yang terkenal sebagai pujangga, seperti Ka’ab bin Malik, Abdullah bin Rawahah dan Hassan bin Tsabit, radhiyallahu ‘anhum menjadikan syair-syair karyanya untuk membela agama Allah.
Hassan bin Tsabit sahabat nabi yang dikenal sebagai Sya’ir Rosulillah, atau penyair Rasulullah ﷺ. Beliau memiliki tugas khusus untuk melumpuhkan propaganda hitam yang dibuat oleh musuh-musuh Islam, dengan syair-syairnya. Suatu kali, dia diminta datang ke Masjid Nabawi untuk menemui nabi. Sesampai di masjid, baginda Rasulullah berkata kepadanya, “Wahai Hassan, engkau tentu mengetahui yang telah dilakukan kaum musyrikin Mekah. Karena itu, padamkanlah semangat mereka dengan syair-syairmu. Sebaliknya, bangkitkanlah semangat kaum Muslimin dengan syair-syairmu.”
Syair Hassan bin Tsabit seperti anak panah yang meluncur menikam dada para penista kebenaran dan para penghina Rasulullah ﷺ. Karena itu, Nabi Muhammad ﷺ begitu memuji syair-syair Hassan bin Tsabit, sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Bukhori, kelak Malaikat Jibril akan membersamainya.
Dalam hadist lain yang diriwayatkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Ruhul Qudus (Jibril) akan tetap mendukung dan melindungimu selama engkau memuji Allah dan Rasul-Nya.” Hassan bin Tsabit juga memiliki peran penting dalam syiar dakwah, bahkan disebutkan mendapatkan kehormatan memiliki mimbar di samping mimbar Rasulullah ﷺ, untuk membacakan pujian-pujian untuk manusia agung ini.
Inilah yang memotivasi Kang Abik terjun total dalam dunia seni untuk melawan propaganda seni yang merusak moral masyarakat, seperti dahulu syair-syair jahiliyyah yang menjadi agen-agen setan untuk menjauhkan masyarakat dari kebenaran. “Islam itu tidak bertentangan dengan fitrah manusia yang mencintai keindahan seni, namun Al-Qur’an harus menjadi panduan dalam berkarya,” jelasnya.
Bagaimana para sastrawan itu berperan, lihatlah dalam surat Asy-Syu’ara ayat 221 sampai 227, bahwa setan itu turun kepada para pendusta yang banyak dosa, merekalah para penyair yang diikuti oleh orang-orang sesat. Kemudian Allah memberikan pengecualian, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “(kecuali) orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kedzaliman. Dan orang-orang yang dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
Dunia seni begitu cepat mengangkat orang menjadi populer, sekaligus menjatuhkannya. Namun, dalam keyakinan kita, tidak satu pun yang bisa membuat kita terkenal, kecuali karena kuasa Allah Ta’ala. Karena itulah, dalam berbagai kesempatan Kang Abik selalu memotivasi orang lain, terutama para pekerja seni untuk melandasi semua karyanya dengan niat karena Allah. “Saat memulai menulis novel Ayat-Ayat Cinta, saya menetapkan niat ikhlas untuk agar semakin banyak orang yang bersyahadat,” ungkapnya. Sebagaimana tokoh Maria dalam novelnya, yang akhirnya bersyahadat.
Selain itu, Kang Abik juga sengaja menampilkan tokoh Fachri yang seolah-olah sempurna, seorang pemuda tampan (good looking), cerdas, baik hati dan hafidz Qur’an sebagai sebuah sikap terhadap realitas nilai-nilai di masyarakat, yang lebih mengidolakan tokoh-tokoh yang buruk. Yang viral selalu yang bernuansa negatif, hedonis, dunia hitam, padahal sosok yang baik, dan nilai-nilai kebenaran yang mestinya diviralkan.
“Setidaknya saya berusaha memberikan solusi,” tegasnya. Karena itu, Kang Abik menampik tokoh Fachri seolah-olah tidak realistis dan hanya tokoh fiktif yang tidak pernah terjadi dalam realitas sosial, padahal sejarah telah membuktikan banyak tokoh hebat yang terlahir dari rahim peradaban Islam, jauh lebih baik dan sempurna daripada tokoh Fachri.
Proses kreatif Habiburrahman El Shirazy dimulai dari sejak sekolah dasar yang saat itu memilki hobi membaca puisi. Kemudian, berlanjut hingga Madrasah Aliyah, ia sering menjuarai berbagai lomba puisi.
“Terus terang saat itu, saya lebih tertarik dengan hadiahnya,” ungkapnya. Kematangan eksistensial didapatkannya setelah melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (lulus tahun 1999), Kemudian, melanjutkan mengambil Strata dua (S2) dari Institute for Islamic Studies, Kairo (lulus tahun 2001). Dan, kini, ia tengah menamatkan studi doktoralnya di Leipzig, Jerman.
Awalnya, Kang Abik lebih banyak berkutat di dunia akademis, sampai suatu saat di akhir-akhir tahun studinya, ia diberi amanah sebagai koordinator seni budaya Islam ICMI Orsat Kairo dalam dua periode (1998-2000 dan 2000-2002). Setelah terlibat dalam kegiatan organisasi inilah, ia pun akhirnya termotivasi untuk membentuk Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Forum Lingkar Pena (FLP) di Kairo. “Inilah rencana Allah agar saya keluar dari kamar dan menunjukan peran saya di dunia seni,” ujarnya. Terbukti dunia seni telah mengharumkan namanya sebagai novelis yang telah meraih banyak penghargaan.
Bagi Kang Abik, menulis karya fiksi rupanya menjadi jalan perjuangannya, sebagaimana dahulu para ulama tidak hanya menulis ilmu-ilmu syariat, juga karya fiksi. Seperti Buya Hamka, seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, juga menulis banyak karya sastra, yang saat ini belum ada tandingannya.
Selain itu, beberapa ulama lainnya asal Timur Tengah telah mengiinspirasi Kang Abik, antara lain Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi dan Syeikh Yusuf Al Qordhowi. Bahkan, ia pernah menggubah karya Dr. Yusuf Qordhowi yang berjudul ‘Alim Wa Thaghiyyah“, menjadi naskah drama yang berjudul Sang Kyai dan Sang Durjana, pada tahun 2000.
Menurut Habiburrahman, bagi seseorang yang dianugerahi kemampuan menulis, maka menulis bisa menjadi kewajiban yang sifatnya fardhu ain, bukan lagi fardhu kifayah, sebagaimana pendapat dari Imam Jalaluddin Al Suyuthi. Beliau adalah ulama besar berjuluk ‘Ibnu Kutub’ karena produktifitas kepenulisannya dalam berbagai bidang ilmu. Selain menulis kitab tafsir yang terkenal Tafsir Jalalain, bersama Jalaluddin Al Mahalli, ia juga menulis banyak buku lainnya.
Sebuah karya tulis, termasuk sastra harus memberi banyak manfaat dan menjadi senjata untuk mendidik masyarakat. Karena itu, dakwah itu harus dijalankan dengan berbagai strategi yang salah satunya menggunakan estetika bahasa yang bisa diterima dan menyentuh relung hati masyarakat.
Karena, tantangan terbesar dakwah di era digital ini, menurut Kang Abik adalah bersaing dengan berbagai konten hiburan yang sudah menembus bilik-bilik kamar setiap orang, hanya lewat gadget. Tuntutan industri seni begitu tinggi, setiap karya harus laku dan menghasilkan secara komersial. Tapi, komitmen berdakwah bagi seorang sastawan muslim harus lebih diutamakan.
Selain novel-novel yang nge-pop, Habiburahman El Shiraki, rupanya ingin menapaki jalan lain yang lebih serius dengan menulis novel sejarah berjudul “Api Tauhid.” Awalnya, ia ragu, novel yang bertema serius dengan cover seorang tokoh ulama ini akan laku di pasaran. Namun, anggapan itu ternyata keliru, semua karya fiksi karya Habiburrahman rupanya sangat dinanti pembaca.
Dikemas dalam sebuah kisah perjalanan seorang tokoh bernama Fahmi beserta kawan-kawannya menapak tilas perjalanan hidup ulama legendaris bernama Baiduzzaman Said Nursi yang hidup di era terakhir Kekhalifahan Turki Utsmani. Saat itu, ujian besar yang dialami umat Islam, karena begitu kerasnya pengaruh Eropa yang sekuler menyusup di tengah kehidupan rakyat, baik dalam hal pendidikan, perdagangan, militer hingga pemerintahan.
Kekhalifahan Islam yang sempat menguasai 1/3 dunia ini akhirnya harus runtuh, bertahap mulai tahun 1917 saat Kekkhalifahan Utsmani kalah dalam Perang Dunia I hingga imperium itu dilikuidasi tahun 1924. Tentu saja, novel ini memberi pesan berharga bagi kita, umat Islam yang tengah merindukan kebangkitan kembali kejayaannya.
Namun, tidak sekedar menikmati karya Kang Abik, justru dinanti para penulis muslim lainnya makin bermunculan, yang memiliki ghirah perjuangan yang sama. Wallahu a’lam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel merupakan ringkasan program Ngeshare Bersama Habiburrahman El Shirazy