Oleh: Hamid Abud Attamimi
Hidayatullah.com | Apa pun jika kata sembrono disematkan pada sebuah perilaku atau keputusan, maka kesimpulan secara umum yang bisa diingat adalah hal tersebut jauh dari kepatutan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sembrono mempunyai banyak arti, seperti kurang hati-hati, gegabah, kurang sopan/pantas, ceroboh, sembarangan.
Semua arti atau padanan kata sembrono tersebut jelas mengindikasikan sikap tidak profesional atau abai pada ketelitian sebelum berbuat atau mengambil keputusan. Padahal dalam aturan tata kelola semua institusi, apalagi institusi resmi negara, kehati-hatian dan ketelitian adalah sendi dasar.
Lawan dari sembrono adalah sikap penuh kehati-hatian. Pada seorang pemimpin, ini tak bisa ditawar, karena apa pun yang diputuskannya akan menyangkut dan berdampak pada nasib orang banyak.
Hati-hati adalah sikap yang penuh perhitungan, baik dengan terlebih dahulu bertanya pada mereka yang lebih memahami, atau bahkan kesiapan untuk mendengar masukan dari siapa saja, terutama mereka yang nantinya akan terikat oleh keputusan yang diambil.
Seharusnya kita berani mengatakan bahwa hati-hati adalah kepribadian bangsa dan kearifan lokal.
Dalam Islam, sikap hati-hati bahkan menjadi unsur terpenting dalam ketakwaan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebuah dialog antara sahabat Umar bin Khattab r.a. dan Ubay bin Ka’ab r.a., ketika Umar r.a., bertanya tentang Hakikat Takwa.
Ubay r.a. balik bertanya pada Umar r.a., apakah ia pernah melewati jalan yang penuh duri (di tempat lain diistilahkan jalan yang licin)?Umar r.a. menjawab, “Ya, pernah.”
Maka Ubay r.a. bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?”
Umar menjawab, “Aku akan berhati-hati.” Ubay r.a. tegas mengatakan, “Itulah takwa.”
Indah sekali dialog di atas, yang bertanya amat jujur, dan yang menjawab tidak terkesan ingin menunjukkan serba tahu. Dialog ini menjadi semangat dalam Islam, apalagi dalam proses pengambilan keputusan.
Bahkan ketika kita dalam ikhtiar mentaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sekalipun, selalu kita harus menjaga kehati-hatian.
Jika sesuatu telah jelas melanggar perintah Allah, maka yang harus mengemuka adalah rasa takut, karena segala apa pun yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.
Dinilai sembrono tak boleh lantas mengedepankan rasa tersinggung, apalagi sakit hati. Semua orang pernah salah, dan ketika diingatkan hendaklah berbesar hati dan semakin mawas diri.
Semoga bangsa ini dijauhkan dari pemimpin, yang selalu merasa benar, dan sebagai rakyat tetaplah memelihara kesantunan dengan semangat saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. (*)
Penulis adalah Aktivis Pendidikan, tokoh Al-Irsyad Al-Islamiyyah, tinggal di Cirebon