Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | SANDIAGA Salahuddin Uno, biasa dipanggil dengan Sandi, siapa yang tidak mengenalnya. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Berpasangan dengan Gubernur Anies Baswedan. Terpilih dalam Pilkada 2017, pilkada yang dianggap paling keras. Menimbulkan pembelahan di masyarakat, yang eksesnya masih terasa hingga kini.
Tapi sekitar setahun bersama Anies memimpin Jakarta, Sandi dipinang Prabowo Subianto untuk maju sebagai Cawapresnya. Maju dalam Pilpres 2019. Tapi Pilpres tetap dimenangkan incumbent Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin.
Sandi mestinya bisa kembali lagi sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, tapi ia tidak memilihnya. Tampaknya ia pantang menjilat ludahnya sendiri, jika sudah memilih mundur ya pantang untuk kembali. Sikap yang jarang dimiliki manusia Indonesia pada umumnya. Sandi menjadi kekhususan.
Sandi tidak balik sebagai Wakil Gubernur, tapi ia balik sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, yang sebelum pencapresan ia tinggalkan. Mengapa ia mesti kembali lagi, tidak memilih saja sebagai orang bebas yang tidak berpartai. Sandi itu menjual, dan lentur bisa ada di mana saja. Partai justru “megikatnya” untuk tidak bisa bergerak bebas. Tampaknya ia memilih tetap tak mau berjauhan dengan idolanya, Prabowo Subianto.
Tampilan Sandi saat kampanye sebagai Cawapres adalah tampilan milineal. Dengan t-shirt biru muda/tua dan celana denim coklat muda, dan tentu wajah tampan dan atletis, ia menjadi magnet pendulang suara. Tampilannya itu buat klepek-klepek tidak saja remaja putri khususnya, tapi juga emak-emak mengelu-elukannya.
Bagaimana pun Sandi itu, tentunya juga Prabowo, dianggap sebagai produk dari 212, meski tidak langsung. Maka pendukungnya tidak terlepas dari melanjutkan Pilkada DKI Jakarta. Seolah sejarah yang berulang, meski nasibnya tidak mengulang kesuksesan sebelumnya.
Saat Prabowo memilih bergabung dengan Kabinet Indonesia Maju, menjadi anak buah dari Presiden Jokowi, banyak yang menyesalkan. Bagaimana mungkin ia bisa berkoalisi dengan lawan politik yang berkontestasi di Pilpres. Maka caci maki dari massa pendukungnya tidak bisa dielakkan. Mulai cacian sebagai jenderal kardus sampai penghianat.
Apa yang dipilih Prabowo Subianto, adalah pilihan yang pastinya sudah dipikirkannya. Tidak ada yang salah dengan pilihannya itu, selain melanggar asas kepatutan. Maka jabatan yang diberikan sebagai Menteri Pertahanan RI, ia ambil saja. Bisa jadi ia sudah lelah sebagai oposisi, yang sudah diperhitungkan ke depan akan makin keras. Melihat kondisi saat ini, apa yang dipilih Prabowo itu tampak benar.
Kabarnya saat itu Presiden Jokowi juga menginginkan lawannya di Pilpres, tidak hanya Prabowo tapi juga Sandi, akan direkrutnya sekaligus satu paket. Jokowi menawari Sandi, tapi Sandi menolak dengan halus tawaran itu. Biarkan saya bantu Bapak (Jokowi) dari luar kabinet, itu jawabnya. Pada kesempatan lain, ia sampaikan alasan ia menolak itu, “Saya menjaga perasaan dan tidak sampai hati menyakiti hati emak-emak”. Sebuah pernyataan simpati, dan menjadikan emak-emak menaruh harapan masa depan padanya.
Setahun kemudian, ternyata Sandi menerima pinangan Presiden Jokowi, saat reshufle di kabinetnya. Ia diminta duduk sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mungkin pikirnya emak-emak pendukungnya itu sudah move on. Sudah bisa memahami alasan pilihannya, bahwa ia harus terus “bergerak” selagi negara memanggilnya.
Ternyata apa yang dipikirkannya itu sama sekali diluar perkiraan. Emak-emak murka semurka-murkanya. Merasakan kekecewaan luar biasa. Dan lalu muncul pernyataan sikap dari emak-emak, bahkan mengundat-undat saweran yang diberikan pada pasangan Prabowo-Sandi saat Pilpres lalu. Sikap emak-emak dan pendukungnya berubah, dari teramat suka menjadi teramat benci.
Ganjar yang Terhentikan
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dua periode. Kader militan PDI-P, bahkan saat menjadi mahasiswa di Yogyakarta, ia sudah aktif di PDI, sebelum menjadi PDI-P. Ia benar-benar kader yang lahir dari rahim Partai Banteng.
Sebelum menjadi Gubernur Jawa Tengah, ia anggota DPR RI yang cukup vocal. Karirnya di partai ini meluncur dengan baik. Ia akan menyudahi jabatan sebagai Gubernur Jawa Tengah pada 2023. Usianya masih terbilang muda, meski rambutnya memutih penuh (beruban), tentu syahwat pada jabatan yang lebih dari sekadar gubernur, menjadi wajar ingin diraihnya.
Maka Ganjar sejak 1,5 tahun lalu sudah ancang-ancang dan membuat jalannya sendiri. Maka tebar pesona menjadi keharusan dengan aktif di sosial media. Subscribernya sekitar 3,2 juta. Sulit disamai pejabat lainnya, dan bisa disejajarkan dengan artis-artis populer.
Langkahnya itu dianggap tidak wajar oleh partainya. Maka Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah, menegurnya keras. Istilah muncul darinya wis kemajon , bisa jadi kosa kata baru untuk memaknai “sudah kelewatan”.
Lalu sindiran putri mahkota, Puan Maharani, jelas-jelas menohoknya. Itu disampaikan Puan saat jumpa dengan para Wali Kota/Bupati kader-kader PDI-P se-Jawa Tengah. Pertemuan yang tanpa mengundang Ganjar Pranowo, meski itu “di rumahnya” sendiri, Semarang.
Dan, puncaknya saat Megawati Soekarnuputri, menyindir tanpa menyebut nama Ganjar, tapi tampak itu ditujukan padanya, “Kalau enggak mau jadi petugas partai, saya enggak ngomong lagi anggota partai, artinya yang diberi tugas oleh partai, out,” ucapan yang begitu menohok. Out itu bahasa lain mengusir dari partai dimana ia bermukim.
Setelah itu Ganjar Pranowo sudah mulai kendor langkahnya, meski itu belum berhenti sesungguhnya. Ia masih jalan meski merangkak, dan jika berujar pun ia amat hati-hati. Tidak seperti biasanya. Ia tidak ingin kata out benar-benar mengenainya.
Sandi dan Ganjar Nasibmu
Kelebihan Anies Baswedan, itu ia menjadi manusia merdeka. Tidak berpartai. Mencoba berbaikan dengan semua partai. Anies memilih fokus bekerja, memenuhi janji-janji kampanyenya satu persatu. Tebar pesona atau pencitraan di media sosial bukan jadi andalannya, tapi kerja yang terukur itu yang dilakukan.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), juga bisa masuk kategori manusia merdeka. Meski ia ada di Partai Demokrat, tapi ia sebagai nahkodanya, ia “pemiliknya”. Meski terkadang badai juga menyambar partainya, badai “Moeldoko” namanya. Tapi justru itu lebih mendewasakannya mampu membawa “kapal” yang dinahkodainya melewati badai dengan selamat.
Sandiaga Salahuddin Uno dan Ganjar Pranowo, tidak mewarisi suasana seperti yang dipunya Anies atau AHY, tapi menjadi pribadi terpasung. Partai dimana ia bernaung menjadi pihak yang memasung. Semua langkahnya lalu harus ditentukan partai.
Sandi memang lebih smooth sehingga tak tampak ia melakulan manuver-manuver yang bisa disebut pencitraan. Sebenarnya kans Sandi besar sekali, ia bisa ditarik mengulang Pilkada DKI Jakarta, disandingkan dengan Anies Baswedan untuk Pilpres 2024. Itu jika Prabowo memberi jalan untuknya. Tapi Prabowo masih berharap peruntungan maju lagi sebagai Capres. Maka gerak Sandi menjadi terpasung. Langkahnya yang mestinya bisa lebih jauh melangkah jadi terhenti.
Maka kembalinya Sandi ke Partai Gerindra itu semacam ketundukkan dirinya untuk “dipasung”. Atau memang ia sudah tidak lagi berambisi menjadi “Sandi yang Terus Berlari”, dan itu pada pencapaian karir politiknya. Atau ia sadar, bahwa mustahil bisa mengulang waktu yang sudah menjauh. Sulit menakar ambisi politiknya.
Sedang Ganjar Pranowo ambisi politiknya amat kentara. Ia tidak sadar bahwa kodratnya adalah pribadi dalam pasungan. Semua akan ditentukan partai. Dan itu ditentukan Megawati Soekarnoputri. Langkah Ganjar itu lalu diistilahkan sebagai langkah kemajon. Langkah itu tabuh dilakukan. Ia lupa jika terikat dalam pasungan.
Mungkinkah ada perlawanan dari keduanya membuka pasung itu. Kalau Sandi tampaknya mustahil mau melakukan itu, karena ia memang memilih kembali ke Partai Gerindra untuk dipasung. Sandi amat hormat pada mentornya, Prabowo Subianto. Ia pantang melawan, bukan karena nyali kecil tapi lebih pada etika yang pantang dilanggarnya.
Sedang Ganjar Pranowo sikapnya ditentukan pada waktunya. Ia akan melihat sikon yang ada. Ia saat ini masih berhenti dengan narasi sebagai petugas partai yang akan tegak lurus dengan ketua umum PDI-P. Setidaknya saat ini ia memilih jalan di tempat, sambil tentunya melihat peluang yang ada.
Melihat Ganjar Pranowo itu ya melihat politisi, beda dengan melihat Sandiaga Uno yang bisnismen, dan itu diikat oleh komitmen dan seterusnya. Pada politisi, ambisi meraih jabatan lebih itu sudah kodrati, akankah Ganjar Pranowo “melawan” membuka pasung yang mengikatnya, waktu yang akan menentukan. (*)
Kolumnis tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar