Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Ibarat ikan, yang karena sesuatu sebab tepelanting ke daratan pantai, dan lalu menggelepar-gelepar mempertahankan hidup. Menggerak-gerakkan tubuhnya dengan keras, berharap bisa kembali ke air. Tiada yang tahu nasib ikan yang tergolek itu benar-benar mati, atau bisa bertahan karena keajaiban terseret lagi oleh ombak di tepi pantai.
Melihat Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat, Deli Serdang (5 Maret 2021), itu ibarat ikan yang menggelepar tadi, yang ingin tetap hidup. Meski setelah keberadaan hasil KLB ditolak Kemenkumham. Yassona Laoly, (31 Maret), yang mengumumkan bahwa yang sah adalah Partai Demokrat (PD), yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Mestinya peristiwa kudeta partai politik, atau dikenal pula sebagai begal politik, itu tidak boleh terjadi. Peristiwa memalukan itu tercatat dalam sejarah hitam kepartaian politik di Indonesia. Ketua Umum yang terpilih pada KLB itu adalah Jenderal (Purn) Moeldoko, yang juga menjabat sebagai Kepala Staf Kantor Presiden (KSP). Seseorang yang “berjarak” amat dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Maka spekulasi mengatakan, mustahil Presiden Jokowi tidak tahu orang dekatnya itu bermanuver merebut PD. Hal aneh jika meninggalkan Presiden Jokowi tanpa izin, lalu melakukan perjalanan sampai ke Deli Serdang, Sumatera Utara.
Karenanya, penolakan Kemenkumham, atas hasil KLB PD itu, setidaknya ingin membuktikan bahwa Presiden Jokowi tidak ikut campur dengan permainan anak buahnya (Moeldoko) dalam merampas Partai Demokrat. Jika Presiden Jokowi merestui aksi yang dilakukan Moeldoko, maka skenarionya adalah diterimanya keabsahan PD hasil KLB itu. Setidaknya itu yang ingin digambarkannya.
Publik tetap membacanya tidak sesimpel atau sesederhana itu, lalu mempercayai bahwa Presiden Jokowi memang tidak tahu sama sekali soal itu, dan karenanya tidak “memerintahkan” Yasonna Laoly untuk mengesahkan hasil KLB PD itu. Publik bisa mempercayai jika memang benar ia tidak mengetahui, maka setidaknya ia akan menyingkirkan Moeldoko dari jabatannya, bahkan memberhentikan dengan tidak hotmat.
Tapi itu tidak dilakukan Presiden Jokowi, yang tetap memposisikan Moeldoko pada posisinya sebagai Kepala KSP, tetap menjadi orang dekatnya. Hal itu menjadi kejanggalan tersendiri, bagaimana seorang Presiden ditelikung anak buahnya pada peristiwa politik tidak biasa, dan dianggap paling memalukan dalam sejarah republik ini, dan ia menganggapnya bukan sesuatu.
Bagaimana mungkin partai politik bisa dikudeta oleh pihak di luar partai secara inkonstitusional, meski memakai beberapa orang yang pernah aktif sebagai pengurus partai masa lalu, dan memilih orang luar partai, Moeldoko, sebagai Ketua Umum. Disebut inkostitusional, karena KLB itu tidak mengacu pada AD/ART PD, yang dibuat dalam Kongres V PD, Jakarta, 2020.
Drama perebutan PD ini, bisa dibaca dalam beberapa tulisan penulis sebelumnya ( Mengurai “Kudeta 5 Maret” dengan Rumus St Agustinus, 7 Maret. Dan, Terhentilah Langkah Pak Moel, AHY Pemenang, Usai Sudah Kemelut Partai Demokrat, 1 April), yang menjelaskan perebutan partai itu dengan segala intriknya, yang semestinya berhenti dengan penolakan Kemenkumham atas keabsahan hasil KLB PD Deli Serdang. Lama tidak terdengar nasib PD hasil KLB, ternyata memilih bagai ikan yang menggelepar, tapi tetap bertahan ingin survive, dan itu dengan mendaftarkan menggugat peruntungannya pada PTUN Jakarta.
Apa yang dilakukan Moeldoko dengan mendaftarkan gugatannya pada Menkumham, itu punya konsekuensi serius yang sulit bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin Moeldoko, kepala KSP, yang anak buah Presiden Jokowi melawan anak buah Jokowi lainnya, yaitu Yassona Laoly, Menkumham. Hal yang sulit dinalar, tapi ya itulah yang tampak dan yang akan berproses.
Apa Sebenarnya yang Terjadi
Partai Demokrat (PD) itu memang partai seksi. Partai kelas menengah, tapi punya daya tawar yang tinggi pada saatnya. Setidaknya itu perkiraan yang muncul, dan itu lebih tertuju pada 2024, saat Pemilihan Presiden (Pilpres) berlangsung.
Saat itu PD akan jadi partai penentu, yang karenanya jika ingin diredam itu hal yang wajar. Maka perebutan PD lewat KLB Deli Serdang, itu menjawab bagaimana partai ini ingin dilumpuhkan. Setidaknya itu analisa yang bisa dibaca, agak kasar cara yang dipertontonkan sehingga alur cerita tampak tidak berkelas, atau mudah dibaca jalan ceritanya.
Tampak grusa-grusu dan akhirnya yang muncul adalah alur cerita yang plot-plotnya tidak tersambung dengan rapi. Maka “pertempuran” di PTUN antara Presiden Jokowi (Moeldoko, Kepala KSP) versus Presiden Jokowi (Yasonna Laoly, Menkumham) itu hasil kerja tanpa koordinasi yang rapi.
Maka membaca itu semua akan memunculkan pertanyaan, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan koordinasi pada Kabinet Indonesia Maju ini, menjawabnya tidak sesederhana melihat hanya dalam koordnat tingkat kabinet.
Tapi lebih dari itu, yaitu pentingnya penguasaan atas partai berlambang mercy itu. Penguasaan atas fisik partai guna sebagai kuda tunggangan pada Pilpres, atau justru partai itu dimandulkan agar tidak bisa memberi warna perlawanan pada perhelatan Pilpres 2024.
Semua kemungkinan seolah bisa dimungkinkan, dan pertaruhannya sampai pada tingkat “pertempuran” sesama anak buah Presiden. Hal absurd itu terpaksa mesti dtampakkan pada publik, karena tidak ada jalan lain bisa diikhtiarkan. Dan PTUN menjadi pertaruhan nasib PD itu. Semua kita akan diberi tontonan tidak mengenakkan, tapi suka tidak suka mesti ditonton.
Adakah “pertempuran”, itu jika disebut pertempuran, sebenarnya melibatkan hubungan Megawati dengan Presiden Jokowi, yang diwakili Yasonna Laoly “petugas” partai (PDI-P) versus Jokowi, yang diwakili Moeldoko. Dalam konteks ini, Jokowi tidak pantas lagi disebut sebagai “petugas” partai, karena dinamikanya sudah berkembang, dan Partai Demokrat jadi pihak yang coba dijadikan mainan yang tidak seharusnya. Tentu AHY dan pasukannya tidak akan tinggal diam, akan melawan secara konstitusional. Dan itu dimungkinkan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar