Sambungan artikel PERTAMA
Strategi Dakwah melalui Budaya
Kebiasaan masyarakat Jawa untuk menonton Wayang, juga dijadikan sarana dakwah para wali. Mereka memasukan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Dalang dimaknai akar katanya dari Bahasa Arab, “dalla”, yang artinya memberi petunjuk pada kebaikan.
Tokoh pewayangan yang dianggap menyimpang dari Islam juga dimaknai secara berbeda, misalnya tokoh Drupadi yang memiliki 5 suami sebagai Pandawa, berubah maknanya menjadì rumah kebaikan dan kebahagiaan dengan memegang 5 prinsip hidup sebagaimana termuat dalam 5 rukun Islam.
Wayang merupakan salah satu kesenian rakyat yang dimanfaatkan oleh para wali untuk berdakwah. Sunan Kalijaga, misalnya mengembangkan wayang purwa, wayang kulit bercorak Islam, yang ditunjukan dalam bahasa padhalangan, nama tokoh wayang hingga lakonnya. Wayang biasa dipertunjukan di masjid.
Masyarakat bebas menontonnya, dengan syarat lebih dulu berwudhu dan mengucapkan kalimat syahadat. Nyanyian atau tembang juga dijadikan syiar bagi para wali untuk menyebarkan Islam.
Sunan Kalijaga membuat tembang Lir Ilir, yang masih abadi hingga saat ini. Liriknya mengajarkan pendidikan akhlak bahwa umat Islam harus sadar dengan adanya Alloh, kemudian bangkit dari kemalasan dengan menjadi pribadi yang baik dan membuat orang lain bahagia.
Begitu pula, tem bang lainnya seperti Tombo Ati yang diciptakan Sunan Bonang, memuat pesan moral ajaran Islam.
Para wali ini sering membuat petuah-petuah pendek misalnya menurut Dr. Ahmad Mujib, falsafah Pelali Pitu, yang berasal dari ajaran Sunan Drajat. Beberapa ajarannya, antara lain orang bahagia itu adalah orang yang bisa membahagiakan orang lain.
Berilah tongkat kepada orang yang buta, berilah makan kepada orang yang kelaparan, berilah pakaian yang telanjang dan berlah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan. Begitu mendalam kandungan makna dari falsafah ini. Kita diajari untuk peduli kepada orang lain.
Memberi tongkat bisa bermakna member petunjuk agama kepada masyarakat.Memberi pakaian bisa juga dimaknai pakaian batin yang berupa akhlak. Sunan Drajat mengajari kita untuk peduli orang lain.
Baca: Khasanah Islam di Nusantara [1]
Tokoh wali lainnya, seperti Sunan Giri juga membuat permainan anak, Coblek Suweng sebagai sarana untuk menanamkan akhlak. Liriknya, menurut Dr. Ahmad Mujib, memiliki renungan filosofis, yang mengajarkan bahwa manusia akan mengalami kesepian jika hanya mengejar harta dengan penuh nafsu.
“Yang ingin bahagia, ia harus meninggalkan kecintaan terhadap dunia, jelasnya.
Para wali berhasil melakukan akulturasi budaya dengan menanamkan nilai-nilai keislaman. Mereka juga membangun pesantren untuk memperkokoh ajaran Islam melalui pendidikan.
Mereka bergaul dengan masyarakat dengan menunjukan teladan akhlak yang luhur. Bahkan, Sunan Gresik mengajarkan masyarakat cara bercocok tanam. Mereka pun tidak anti dengan simbol agama Hindu dan Budha, seperti ditunjukan oleh Sunan Kudus dengan mendirikan masjid yang arsitekturnya unik.
Sunan Kudus begitu menjaga perasaan masyarakat yang masih beragama Hindu, misalnya ia memfatwakan untuk tidak menyembelih sapi karena dianggap suci dalam agama Hindu.
Tak semua ajaran para wali terdokumentasi. Hanya Sunan Bonang yang menulis sebuah kitab. Dalam primbon Sunan Bonang ditulis ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang lengkap dan tersusun rapi sesuai ajaran aqidah Ahlussunnah wa al-Jamaah yang bermazhab Syafi’i.
Dalam kitabnya, Sunan Bonang menutup dengan sebuah nasehat, “Hendaklah perjalanan lahir batinmu menurut jalan-jalan syariat, cinta dan meneladani Rasulullah.”
Selain berhasil menarik simpati masyarakat, para wali juga berhasil mendekati para elit politik. Salah satunya dengan cara mengikat tali kekeluargaan melalui perkawinan.
Misalnya, Sunan Ampel menikahi Nyi Ageng Manila, putri Tumenggung Wilatikta dan Maulana Ishak menikahi putri Blambangan. Kekuasan politik dianggap akan lebih mempermudah syiar dakwah Islam.
Karena itulah, Sunan Muria, putra dari Sunan Kalijaga ikut membantu Redan Fatah untuk mendirikan Kerajaan Islam Demak.
Baca: Gali Khazanah Keilmuan Islam, Ekspedisi Jejak Walisongo
Dakwah Politik Wali Songo
Berdirinya kerajaan Demak sering dituduh menjadi penyebab runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit. Bahkan, Raden Fatah, yang merupakan putra dari Raja Terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V dituduh sebagai anak durhaka karena memberontak terhadap ayahnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Penulisan sejarah dari kaum orientalis Belanda, menurut sejarawan Profesor Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, “Api Sejarah”, bertujuan untuk melakukan politik pecah belah untuk membenturkan antara Islam dan Hindu.
Seperti diakui juga oleh Dr. Ahmad Mujib, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Demak sudah terjadi konflik besar di kerajaan Majapahit. “Sultan Demak justru menyelamatkan Majapahit dari serangan kerajaan lain,” jelasnya.
Majapahit kemudian runtuh karena serangan balasan dari Kerajaan Hindu Kediri yang dipimpin Raja Girivwardhana.
Meskipun para wali mengurusi bidang keagamaan otoritasnya diakui sebagai penasehat kerajaan. Bahkan, menurut Dr. Ahmad Mujib semua keputusan raja berdasarkan hasil musyawarah dengan para wali.
Misalnya, Raja Demak mengirim pasukannya untuk nmenghadang pasukan Portugis di Selat Malaka, setelah bermusyararah dengan para wali. Karena, kedatangan Portugis dianggapnya akan mengganggu gerakan dakwah Islam di Nusantara.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah satu satunya wali yang juga menjadi raja. Untuk memperkuat kedudukan politiknya, ia membangun aliansi kekuatan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon, Banten, dan Demak.
la merupakan contoh ulama Yang juga sukses sebagai umara. Pada masanya, menurut Dr Ahmad Mujib, telah didirikan pesantren setingkat perguruan tinggi, yang santrinya tidak hanya dari wilayah Nusantara, juga dari Yaman.*
Founder Al-Fahmu Institute & Dewan Pakar JATTI (Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia).