Oleh: Muhalim
PADA tanggal 16 November 2016, kasus dugaan penistaan yang dilakukan oleh Ahok memasuki babak baru setelah statusnya resmi menjadi tersangka.Beragam reaksi dari masyarakat dan para netizen mulai bermunculan.
Di tengah maraknya sosial media sebagai kanal informasi yang sangat efektif (?) dalam diseminasi sekaligus mempropagandakan isu mengenai kasus Ahok ini,menanggapi isu ini secara bijak harusnya selalu dikedepankan. Karena alih-alih memberikan pemahaman atau mempengaruhi teman di sosial media, debat yang tak berujung itu sangat banyak menunjukkan kegegabahan kita dalam bersikap dan berpendapat.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menekankan bahwa kegegabahan yang dimaksud disini bukanlah semata-mata berarti gegabah dalam menyebarkan informasi yang tidak benar.
Gegabah yang dimaksud disini juga mencakup penyebaran informasi yang benar tetapi tindak penyebaran tersebut berefek kurang sehat terhadap narasi perdamaian dan toleransi yang selama ini dibangun dalam kalangan umat islam itu sendiri. Ada setidaknya tiga hal yang oleh netizen, khususnya umat Islam, sebaiknya pahami dalam bereaksi terhadap informasi yang beredar. Tetapi sebelum meninjau ketiga poin tersebut, mari kita klarifikasi definisidigital native terlebih dahulu.
Digital native merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh seorang konsultan pendidikan Marc Prensky pada tahun 2001. Prensky membuat dikotomi antara digital native dan digital immigrant. Walaupun kedua istilah ini masih debatable,dan mempunyai makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda, secara sederhana kita bisa mendefenisikan Digital native sebagai generasi yang tumbuh dalam maraknya perayaan video, bahasa komputer, media sosial, teknologi mobile, dan hal-hal yang berhubungan dengan internet. Sedangkan digital immigrant merupakan kebalikan dari pencirian ini yang‘dianggap’harus beradaptasi lebih lama dengan berbagai teknologi yang ada.
Kasus Ahok dan penggunaam media sosial yang marak oleh digital natives di Indonesia ini, yang kemudian butuh kita sikapi dengan bijak oleh umat Islam, sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam kasus ini dan sebagai pihak yang mayoritasnya merasa dirugikan.
Pertama adalah perpecahan antara sesama muslim.
Digital natives Muslim (saya selanjutnya menggunakan istilah DNM)yang merasa dinistakan dan pihak DNM yang merasa tidak dinistakan sama-sama kencang dalam berargumen. Padahal dalam Al-Quran—Ali Imran (102 dan 104-105)misalnya, umat islam diperintahkan agar tidak bercerai berai.
Kita sama-sama menyaksikan kebijaksanaan mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang tidak ingin hadir dalam salah satu program televisi karena beliau tidak mau dihadap-hadapkan dengan Syafii Maarif yang kedua-duanya pernah menjabat keta umum PP Muhammadiyah.
Din Syamsuddin merasa bahwa Ahok telah melakukan penistaan, sedangkan Syafii Maarif menganggap bahwa Ahok tidak melakukan pelanggaran.Tetapi Din syamsuddin tidak mau hadir untuk menghindari anggapan bahwa dalam kubu ormas itu sendiri terjadi perpecahan.
Apakah dengan dengan menghindari debat lantas perpecahan itu sendiri hilang dengan sendirinya? Tentu saja tidak. Tetapi kita telah melakukan reduksi perpecahan yang dibaca di depan layar komputer dan ponsel kita. DNM yang merasa agamanya telah dinistakan, sangat bisa dipahami, melakukannya karena merasa keimanan mereka diganggu dan merasa perlu untuk bersuara. Tetapi kita harus memahami bahwa sebagai muslim, kewajiban kita hanyalah menasehati (Ali-Imran:20; Al-Maidah:92, 99; Al-An aam:90).
DNM yang telah berargumen, menasihati di Facebook misalnya, sebaiknya menghindari beradu argumen dengan DNM yang merasa tidak dinistakan.
Yang kedua adalah penyebaran informasi hoax (berita palsu) yang mengalir deras. DNM seharusnya berpegang teguh dengan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi “cukuplah seorang dianggap pendusta ketika menceritakan (menyebarkan) setiap apa saja yang ia dengar”.
DNM yang terekspos arus informasi yang masif seharusnya selektif dalam memilih informasi yang dikonsumsi. Jika penyebaran berita yang benar saja bisa dianggap berdusta ketika semua yang didengar disebarkan, apalagi jika berita hoax. Mengingat isu agama adalah isu yang secara potensial sensitif,yang bisa memantik sikap ‘terburu-buru’ untuk memperkuat gagasan, mempengaruhi DNM yang lain, atau membantah isu yang ramai yang dianggap tidak sejalan dengan alibinya.
Ada beberapa cara untuk mengenali berita hoax yaitu dengan cara memperhatikan sumber berita, mengecek gambar/video yang dicantumkan, membaca keseluruhan berita dan yang paling penting adalah bersikap kritis.
Untuk penjelasan yang lebih komprehensif, ada baiknya kita membaca buku ‘Fikih Jurnalistik’karya cendikiawan Indonesia Faris Khoirul Anam.
Poin yang ketiga adalah ‘kenaifan’ kita terhadap klaim netral. Kita masih mengingat bahwa dalam aksi syiar (saya menggunakan istilah ini alih-alih demo), terbesar di Indonesia pada Jumat 4 November 2016 lalu, salah satu media TV nasional dilarang meliput oleh para pelaku syiar. Mereka berargumen bahwa media ini cenderung tidak memihak kaum Muslim, maka mereka menolak untuk diliput. Ini merupakan bukti bahwa DNM semakin sadar bahwa media dan tiap orang memiliki frame tersendiri dalam berpikir dan dalam mengolah informasi.
Tetapi sayangnya, masih banyak DNM yang kurang cerdas dalam menanggapi isu-isu di sosial media. DNM yang kita saksiskan di media sosial sekarang cenderung bertahan dengan argument awalnya tidak peduli seberapa solid counter-argument yang mereka baca di sosial media mereka.
Kita seharusnya sadar bahwa netralitas adalah ide yang delusional, karena setiap orang beropini berdasarkan ekspos informasi, nilai-nilai yang berkembang di lingkungannya.
Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi sudah jelas mengenai hal ini ‘Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu diantara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman’. Begitupun dengan pandangan DNM yang pro penistaan maupun yang kontra penistaan, mereka memiliki lingkaran sendiri dan memiliki kecenderungan untuk menjustifikasi opininya sesuai dengan yang berkembang di dalam lingkarannya.
DNM yang menganggap dirinya benar, dari kedua belah pihak ini, sudah seyogyanya bertawakkal, setelah memberikan penjelasan diberbagai sosial media. Seperti yang Allah sampaikan di surah Al-Qashas (56) bahwa setelah memberikan petunjuk, Allah yang berhak memberi hidayah.
Ahok mengajarkan kita bagaimana kita seharusnya bersatu dan bersikap. Sebagai DNM, mari kita kembali ke ajaran agama kita dan menjadikannya metode/jalan dalam bersikap.
Di zaman dimana meta-data begitu melimpah, informasi tidak terbendung,ideologi yang begitu hybrid dan cair, Islam sebenarnya sudah menunjukkan cara bagaimana Muslim menunjukkan identitasnya sebagai digital native.*
Penulis merupakan calon kandidat PhD di Monash University, Australia