Oleh: Anhvinh Doanvo
DALAM menghadapi kritikan dari pemuka pejuang hak un asasi manusia seperti Malala Yousafzai, yang menyebut respon orang Eropa terhadap pengungsi Suriah dengan sebutan “menyedihkan”, para pemimpin Uni Eropa telah mengusahakan untuk mengembangkan sistem tanggung jawab secara kolektif untuk para pengungsi. Saling tunjuk dan tragedi hak asasi manusia secara umum menerima tanggapan hangat dari kanselir Jerman, Angela Merkel, PM Inggris David Cameron, serta pemimpin-pemimpin lainnya dari Hongaria, Republik Ceko, Polandia, dan Slovakia.
Permasalahan yang tercipta oleh fakta-fakta mengenai tragedi hak asasi manusia ini, menimbulkan analisis yang terlihat membingungkan terhadap Arab Saudi dan Negara-negara Teluk tentang respon mereka tentang krisis yang telah berkembang di media Barat. Untungnya ada bagian teknisi yang telah menghitung jumlah pengungsi, terungkap bahwa ratusan cabang mulai dari Amnesty International hingga Brookings Institution mengklaim bahwa Arab Saudi tidak menampung satupun pengungsi–
Selama beberapa bulan terakhir, kami telah terus mempelajari grafik dan analisis seperti yang di bawah ini dari Luay Al- Khatteeb, seorang rekan dari Brookings Institution. Mereka telah menunjukkan bahwa Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan UEA rupanya tidak menampung para pengungsi Suriah. Klaim ini bahkan sudah dipublikasikan oleh hampir setiap media Barat. Pencarian sepintas terhadap sejumlah media besar seperti Foreign Policy, Washington Post, dan CNN semuanya terjebak pada mitos tersebut.
Grafis di atas pada awalnya diposting oleh Luay Al- Khatteeb, seorang peneliti yang terkait dengan Lembaga Brookings.
Sumber data dari semua publikasi ini tampaknya Komisi tertinggi di PBB (UNHCR) itu sendiri, yang mencatat lebih dari 4. 000. 000 pengungsi telah terdaftar oleh UNHCR di Mesir, Iraq, Yordania, Libanon, dan Turki. Tidak ada pengungsi ini terdaftar di salah satu negara Teluk, termasuk Arab Saudi.
Namun, jika dilihat di halaman situs UNHCR Arab Saudi ada sejumlah catatan kaki tidak wajar yang oleh media Barat sengaja hilangkan.
UNHCR menghitung jumlah pengungsi dengan catatan hanya mereka “orang diakui sebagai pengungsi di bawah Konvensi UN 1951/ Protokol 1967, Konvensi OAU 1969, sesuai dengan UU UNHCR, orang tersebut akan diberikan perlindungan penuh dan mereka diberi perlindungan secara temporer (sementara).”
Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab bukanlah termasuk dari salah satu pihak manapun pada protokol PBB terkait para pengungsi, dan oleh karenanya, secara teknis, mereka, begitu juga dengan sebagian besar sebagian besar pengungsi, dikecualikan dari mekanisme perhitungan jumlah pengungsi yang ada.
Dan bahkan jika pernyataan kalau Arab Saudi tidak menampung seorang pun pengungsi tidak cukup aneh, seperti tidak adanya “tembok besar Arab”, banyak komentator dengan mudahnya mengabaikan fakta bahwa Negara-negara Teluk tidak termasuk dalam peta laporan UNHCR.
Seseorang yang melihat peta tersebut mungkin akan bertanya-tanya,mengapa tak ada satupun Negara Teluk di dalam grafik tersebut? Apakah tidak adanya pengungsi di Arab Saudi benar-benar terjadi karena perbatasan perlindungan yang mengherankan? Atau hanya sekedar kesalahan teknis yang telah disalahartikan oleh orang-orang terpelajar itu dengan kebohongan?
Entah bagaimana, bahkan di era di mana informasi hak asasi manusia (HAM) di- demokratisasi dan disebarluaskan, tidak adanya pengungsi Suriah di Arab Saudi lebih masuk akal daripada dugaan kesalahan manusia terhadap statistik. Ini adalah kebenaran yang tentu perlu ditangani.*(BERSAMBUNG)
Penulis asisten riset Global Initiative untuk Rakyat sipil dan Daerah konflik. Tulisan dimuat di laman www.huffingtonpost.com, Rabu, (23/09/2015)