Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diisi dengan kemajemukan, di antaranya akan berwujud kemajemukan beragama dan berkeyakinan. Kita sebagai warga negara memang dituntut untuk dapat menghargai perbedaan tersebut. Akan tetapi, untuk menghargai sebuah perbedaan kita tidak harus membenarkan semua perbedaan yang ada, jika hal itu memang bertentangan dengan standar (mi’yar) keyakinan yang kita miliki.
Sebuah keyakinan adalah ibarat sebuah takaran. Apabila dilihat dari sisi hubungannya dengan yang lain, memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi ke dalam adalah untuk menjadi identitas bagi keyakinan itu sendiri. Dan kedua, fungsi ke luar adalah untuk menjadi alat pembeda dengan keyakinan yang lain.
Seperti keyakinan umat Islam tentang Tuhan. Menurut umat Islam, keyakinan yang benar adalah Tuhan itu hanya satu. Berarti hal ini berbeda dengan keyakinan yang lain yang menyatakan bahwa Tuhan itu terbagi tiga atau lebih. Dan adapun untuk menghargai perbedaan tersebut adalah tak lebih hanyalah bagaimana sikap kita ketika menyikapi perbedaan tersebut, yaitu dengan sikap bijaksana, bukan dengan mengubah apa yang ada di dada kita. Karena untuk mengormati pendapat orang lain, kita tidak harus menyetujui pendapatnya, atau dengan kata lain kita bisa menghormati orang lain walaupun kita tidak menyetujui pendapatnya. Karena memang tidak ada korelasi mengikat (talazum) antara menghormati dan membenarkan.
Untuk menilai benar tidaknya sesuatu, kita punya takaran sendiri. Begitupun untuk menghormati pendapat yang lain, kita punya pertimbangan sendiri.
Akhir-akhir ini, tidak sedikit kita temukan orang yang mengajak untuk membenarkan semua perbedaan keyakinan dengan atas nama menghargai perbedaan, dan mereka tahu bahwa keyakinan-keyakinan tersebut sebenarnya saling kontradiksi sehingga tidak mungkin bisa benar secara bersamaan. Jika kita pelajari, cara seperti ini sebenarnya malah bertentangan dengan tujuan mereka sendiri. Karena dengan membenarkan semua keyakinan yang saling bebeda-beda dan kontradiksi tersebut, hal ini malah menghilangkan perbedaan yang ada, karena semua keyakinan telah mereka leburkan menjadi satu, yaitu sama-sama meyakini semuanya benar.
Jika semua telah sama, lalu perbedaan apa yang harus mereka hargai, jika perbedaannya sudah tidak ada? Selain keyakinan tersebut lebur menjadi satu, keyakinan tersebut menjadi sama-sama tidak jelas dan kabur, kerena batasan-batasan antarkeyakinan sudah tidak jelas, dan akal siapapun tidak ada yang mampu menyatukan sebuah kontradiksi untuk dikatakan semuanya benar secara bersamaan.
Dengan meyakini ragam standar keyakinan, hal ini pada akhirnya hanya akan memunculkan sebuah keyakinan baru, yaitu keyakinan multistandar. Yaitu sebuah keyakinan yang memiliki banyak standar dalam menilai sebuah masalah.
Keyakinan multistandar memaksa seseorang untuk meyakini sesuatu hal yang sebenarnya bertentangan dengan keyakinannya yang awal, karena banyaknya standar penilaian yang dia miliki, walaupun akhirnya memberi hasil yang saling kontradiktif. Dan akhirnya, keyakinan ini akan menciptakan sikap inkonsisten bagi penganut keyakinan tersebut di dalam beragama dan berkeyakinan.
Hal ini wajar, karena setiap orang yang memiliki cara penilaian dobelstandar, lebih-lebih multistandar – di dalam masalah apapun – pasti orangnya tidak konsisten dalam menilai masalah tersebut. Karena standar penilaian mereka sendiri beragam dan kadang penuh kontradiksi.
Gaya berpikir multistandar, untuk saat ini, dapat kita temukan dalam cara berfikir penganut faham pluralisme agama (faham yang dianut kaum Islam Liberal), yang menyatakan bahwa semua agama dan keyakinan adalah benar.
Walaupun mereka awalnya telah beragama, tapi mereka tidak ada yang konsisten dengan ajaran agamanya sendiri. Agama tidak mampu mengarahkan kehidupan mereka, tapi malah sebaliknya, agama malah yang mereka arahkan agar sesuai dengan pemikiran mereka, dengan berpindah dari standar ke standar yang lain dalam rangka menyesuaikan keinginan mereka. Walaupun standar yang mereka pakai harus diambil dari agama lain dan kadang bertentangan dengan agama mereka sendiri.
Dogma-Dogma Kebenaran
Adanya kontradiksi antarkeyakinan sebenarnya telah disadari oleh penganut faham multistandar. Oleh karena itu, mereka mencoba mengeluarkan dogma-dogma tentang kebenaran, sebagai upaya pelarian mereka dari ketidaksanggupan mereka untuk menjelaskan secara rasional bahwa kontradiksi tersebut bisa benar secara bersamaan.
Tetapi, di sisi lain mereka tetap ingin membenarkan semua keyakinan tersebut. Dogma-dogma yang sekarang telah mereka keluarkan adalah: “kebenaran itu relatif”, “tentang kebenaran yang tahu hanya Tuhan”, dan yang terakhir adalah “kebenaran itu banyak, karena semua punya takaran sendiri-sendiri”.
Pertama, mereka mengatakan kebenaran adalah relatif, karena mereka tak ingin setiap umat beragama memastikan bahwa keyakinan agamanya adalah yang paling benar dan yang lain salah, sehingga jika mereka menemukan kontradiksi di antara dua keyakinan maka mereka tidak mau memberi keputusan, walau untuk diri sendiri, mana yang benar dan mana yang salah di antara dua keyakinan tersebut, karena keduanya telah sama-sama direlatifkan.
Kedua, mereka mengatakan soal kebenaran yang tahu hanya Tuhan. Tujuan mereka tak jauh beda dengan tujuan mereka ketika mereka mengeluarkan dogma kebenaran adalah relatif, yaitu umat beragama, menurut mereka, sama-sama tidak punya hak untuk memastikan mana yang paling benar dan mana yang salah.
Dan ketiga, ada seorang pemikir Islam Liberal meyatakan bahwa kebenaran itu banyak, sehingga menurutnya, setiap kebenaran punya takaran sendiri-sendiri. Jika kita pelajari, dogma baru mereka ini keluar tak lain halnya adalah juga sebagai upaya pelarian mereka dari relitas kontradiksi yang ada di antara berbagai keyakinan dengan cara membenarkan semua keyakinan tersebut. Selain itu, agar kita umat Islam melupakan realitas keberagaman kondisi kitab suci umat beragama, yang dalam hal ini sebagai sumber takaran kebenaran setiap keyakinan; ada yang sudah tidak asli lagi, ada yang hasil olah tangan manusia, dan ada yang masih asli dari Rasul. Selain itu, agar kita juga tidak membeda-bedakan antara keyakinan hasil spekulasi filosofis manusia dengan keyakinan yang bersumber dari wahyu Tuhan.
Pernyataan kebenaran adalah banyak, karena setiap kebenaran mempunyai takaran sendiri-sendiri adalah pernyataan problematik. Apakah hanya dengan mempunyai takaran maka setiap orang yang mendakwakan kebenaran maka akan dengan sendirinya diterima sebagai sebuah kebenaran? Dan tidak berusaha berfikir kritis bahwa kemungkinan malah takarannya yang salah atau bermasalah, yang akhirnya berkonsekuensi pada hasil takarannya yang ikut menjadi salah.
Oleh karena itu, kesalahan pada takaran malah lebih berbahaya karena bisa membawa pada kesalahan yang lebih luas. Jika kaum Islam Liberal tetap memaksakan diri untuk membenarkan setiap takaran kebenaran, tanpa mau berpikir kritis, maka anak kecil yang belum sekolah dan mengaji dan berkata tentang kebenaran, maka mau-tak mau harus mereka benarkan. Karena anak kecil pun punya takaran sendiri?
Korelasi Pluralisme Agama dan Liberalisme Agama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa faham multistandar atau pluralisme agama dapat mempengaruhi sikap para pemeluk agama, yaitu membentuk sikap tidak inkonsisten dalam beragama dan berkeyakinan. Faham ini akan membantu proses liberalisasi agama di Indonesia, karena proyek liberalisme agama adalah membunuh pengaruh agama di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara atau di wilayah publik. Sedangkan pluralisme agama bertugas menanamkan sikap ragu (skeptis) serta menciptakan sikap inkonsisten umat beragama dalam menjalankan agamanya.
Jika sikap inkonsisten tersebut sudah terwujud dalam diri umat beragama, maka akan sangat mudah mengajak mereka untuk meninggalkan ajaran-ajaran agama. Dengan cara ini, proyek liberalisme agama di Indonesia bisa terwujud. Oleh kerena itu, para pengusung faham liberal adalah juga pengusung faham pluralisme agama.
Dengan ini, dapat kita ketahui bahwa pluralisme agama bukan hanya sekedar faham, tapi juga sebuah strategi dan siasat untuk mewujudkan liberalisasi dan sekulerisasi kehidupan umat beragama. Begitupun juga dogma-dogma kaum liberalis bukan murni kerja pikiran, tapi juga sebuah strategi untuk menciptakan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran mereka yang lain.
Jika proyek tersebut telah berhasil, maka kedudukan “nabi-nabi” umat beragama akan digantikan oleh para pemikir liberal dan “kitab-kitab suci” akan digantikan dengan buku-buku dan artikel para pemikir liberal, walaupun tidak disakralkan, tapi diikuti. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis adalah mahasiswa tingkat IV Fakultas Syari’ah wa Qonun Univesitas al-Ahgaff, Hadramaut, Yaman