Hidayatullah.com–Anggota DPD RI, Abdi Sumaithi mengevaluasi kondisi budaya Indonesia yang tak jelas ke mana arahnya. Hal itu terungkap dalam seminar nasional yang digelar DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Hotel Grand Sahid Jaya, bertajuk “Strategi Penguatan Budaya Nasional melalui Jalur Politik dan Sosial Kemasyarakatan”.
“Sebelum strategi penguatan budaya, sebenarnya perlu disusun politik kebudayaan. Ironisnya, RUU Kebudayaan belum digarap, tapi UU Cagar Budaya yang merupakan turunannya sudah lahir lebih dulu,” ujar Abdi. “Sama ironisnya dengan UU Perlindungan Satwa Langka yang lahir jauh sebelum UU Guru. Kita masih terpaku pada aspek fisik, bukan substansi nilai.”
Dalam seminar itu tampil pula Taufik Ismail dan Ferrasta ‘Pepeng’ Soebardi selaku budayawan. Pepeng menyampaikan pengalaman hidupnya setelah menempuh ‘kebudayaan’ baru di atas ranjang dan kursi roda selama 7 tahun akibat menderita penyakit Multiple Schlerosis.
“Budaya itu pola perilaku, karena itu perlu sumber, standar dan aktivitas yang dilakukan secara kontinyu. Kita bisa melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, tapi dengan kualitas berbeda. Dari sana muncul kreasi dan kesadaran baru sebagai manusia,” ungkap Pepeng, presenter yang tetap aktif memberi konsultasi dan menulis buku berjudul “That’s All” bersama isterinya, Tami. Saat ini buku baru sedang ditulis.
Sementara itu, Taufik Ismail membacakan puisi bertajuk “600.000 Jamaah Haji” yang bercerita tentang tukang sepatu di Damaskus, Suriah. Sosok bersahaja itu muncul dalam mimpi ulama terkenal Abdullah bin Mubarak, karena disebut malaikat mendapat pahala ibadah haji, meski tidak sempat menunaikan ritual haji.
“Ternyata setelah diselidiki, tukang sepatu itu menginfaqkan tabungan haji selama 20 tahun untuk menyelamatkan janda miskin yang kelaparan bersama anaknya. Haji wajib seumur hidup sekali, sedang berinfaq bisa setiap hari, tanpa mengurangi bobotnya,” simpul Taufik. Budaya hidup sederhana dan tolong-menolong itulah yang hari ini semakin menghilang.
Tenaga Ahli Menteri Sosial, Sapto Waluyo, juga tampil sebagai narasumber memaparkan jalur sosial untuk penguatan budaya nasional.
“Sejak awal pelantikan KIB II, Mensos Salim Segaf al Jufri menegaskan fondasi pembangunan sosial yang dibangun adalah jati diri bangsa (gotong royong dan kesetiakawanan). Di atas fondasi nilai itu didirikan SDM yang handal dalam melaksanakan tugas utama (rehabilitasi, pemberdayaan, perlindungan dan jaminan sosial, serta penanggulangan kemiskinan). Tanpa fondasi nilai/budaya yang kokoh, maka kesejahetaraan dan ketahanan sosial tidak akan terwujud,” jelas Sapto.
Sapto menyepakati perlunya kejelasan politik kebudayaan sebelum menyusun strategi. “Kita sering mendengar pepatah Jawa soal godaan 3 Ta (harta, tahta dan wanita). Padahal, dalam budaya Jawa ada Ta keempat, yaitu Waskita yang mampu mengendalikan segala godaan dan tantangan. Hal itu jarang diuraikan. Begitu pula penyakit sosial Mo-limo (maen, minum, madat, madon, maling) sesungguhnya bisa dihadapi dengan Mo keenam, yakni Mawas diri,” ungkap Sapto.
Reinterpretasi budaya lokal memang harus dilakukan agar memperkuat budaya nasional yang maju, berdaya saing tinggi dan relevan dengan tuntutan zaman.*