Oleh : Abduh Rijal*
PADA tanggal 5 November 2019, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat acara Central Java Investment Business Forum (CJIBF) 2019 ke-15 di Hotel Bidakara Jakarta, menanggapi imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur agar pejabat Muslim tidak mengucapkan salam agama lain.
“Sebenarnya semua salam itu sama tidak perlu dipertentangkan,” katanya mengutip web nasional.tempo.co.
Ganjar menyebutkan bahwa salam semua agama itu sama dan selama ini dirinya juga kerap menyampaikannya dalam acara-acara resmi karena memang audiensnya tidak berasal dari satu agama saja.
Menurutnya, imbauan MUI Jawa Timur ini bukanlah hal penting untuk diikuti. Argumen dari Ganjar tersebut mirip dengan logika kaum sekuler, yaitu deconsecration of values (penyingkiran nilai-nilai agama dari kehidupan).
Jadi, apakah memang benar sebuah agama tidak lagi penting dalam kehidupan seseorang?
Haruskah demi alasan kerukunan umat beragama kemudian kita sebagai umat Islam mengikuti alur pikiran kaum sekuler? Tentunya tidak demikian.
Baca: Terima Kasih MUI Jatim
Poin pertama dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI, 13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat, disebutkan bahwa agama adalah sistem keyakinan yang di dalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan masalah aqidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perebedaan antara agama satu dengan agama yang lain.
Jadi tidaklah benar bahwa semua agama itu sama benarnya. Dicontohkan pula dalam poin ke 5: Jika dicermati, salam adalah ungkapan do’a yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, “Assalaamu’alaikum” yang artinya “semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian”. Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia.
Salam umat Buddha, “Namo buddaya”, artinya terpujilah Sang Buddha satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Buddha tentang Sidarta Gautama.
Ungkapan pembuka dari agama Hindu, “Om swasti astu”. Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu “Sang Yang Widhi”. “Om”, seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih rtinya, “semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan”.
Maka ketika Ganjar menyebut bahwa “Sebenarnya semua salam itu sama tidak perlu dipertentangkan,” pada dasarnya ia tidak mengerti apa makna daripada salam dan juga kandungan filosofisnya, apalagi sisi aqidah dari umat Islam.
Baca: Soal Salam Lintas Agama, MUI Jatim: Muslim Cukup Ucapkan “Assalamu’alaikum…”
Dalam Islam, salam merupakan perintah dari Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا ، وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا ، أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
“Tidaklah kalian masuk ke dalam surga hingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman (dengan sempurna) hingga kalian saling mencintai. Tidakkah kalian mau aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan menyebabkan kalian saling mencintai? Sebarkan ucapan salam di antara kalian” (HR. Muslim).
Jadi menganggap salam sama seperti greetings dalam tradisi kaum Barat adalah suatu kesalahan. Greeting merupakan sebuah ungkapan yang biasanya digunakan oleh seseorang untuk melakukan tegur sapa atau salam dengan orang lain. Sedangkan salam dalam Islam adalah bentuk perintah sekaligus sebuah doa yang suci. Hukum memulai salam adalah sunnah, dan menjawabnya adalah wajib.
Munculnya tausiyah dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI Jawa Timur ini menurut penulis merupakan langkah yang tepat dalam upaya menjaaga kerukunan umat antar beragama, sekaligus membentengi ummat Islam dari kekeliruan akidah. Imbauan MUI ini bukan justru sebagai pemicu konflik antar umat beragama.
Umat Islam yang berakidah ahlusunnah wal jamaah adalah umat yang bersikap wasathiyah. Wasathiyah adalah suatu kebaikan (khairiyah) yang mengandung keadilan. Secara Bahasa, kata wasathiyah berasal dari kata wasatha (وَسَطَ) yang berarti adil atau sesuatu yang berada di pertengahan. Pengertian ini diungkapkan oleh Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisil Lughah.
Sementara itu, jumhur ulama lain menambahkan bahwa makna wasath juga berarti pilihan (al-khiyar) atau yang paling utama (afdhal). Untuk bersikap seperti ini memerlukan hikmah (kebijaksanaan).
Ahlusunnah wal jamaah berpendapat bahwa berhubungan antar umat beragama yang baik tidak harus kemudian mengorbankan keyakinan inti dalam ajaran agama Islam atau sebaliknya memutus hubungan penuh dengan hubungan pemeluk agama lain. Ia harus adil menimbang perintah Ilahi dan muamalah antar manusia.
Agama Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia dengan sangat detail, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Islam memberikan panduan yang sangat lengkap dan adil, baik bagi hubungan dengan Allah maupun dengan manusia lainnya. Oleh karenanya, pemisahan antara agama dan kehidupan sehari – hari dalam pemikiran kaum sekuler tidaklah bisa diterima oleh kaum Muslimin.
Baca: INSISTS: Sudah Tepat MUI Imbau Muslim Tak Ucapkan Salam Agama Lain
Menurut Kholili Hasib M.Ud dalam tulisannya yang berjudul Wasatiyah dalam Pemikiran, dikatakan bahwa ahlusunnah wal jamaah harus menyeimbangkan antara wahyu dan aqal, dengan mendudukkan wahyu sebagai terdepannya. Kaidahnya adalah “taqdiimul naqal ‘ala al-’aqal” (mendahulukan teks wahyu daripada akal). Maka dalam konteks salam yang merupakan ajaran syariat yang mengandung nilai akidah, tidak boleh kita hilangkan dengan alasan kerukunan atau kebangsaan semata.
Jadi, pemikiran yang seimbang, iqtishadi, dan wasathiy, sesungguhnya pemikiran yang adil. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas cukup jelas penjelasannya, suatu keadaan dimana keadaan berada pada tempatnya yang wajar dan benar adalah keadilan (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hlm. 43). Apabila seorang Muslim mengucapkan salam kepada agama lain dengan kata “Namo buddaya” atau “Om swasti astu” itu artinya ia salah dalam hal pengesaan Allah Subhanahu Wata’ala. Karena dalam salam tersebut terdapat pengakuan sebuah kekuatan lain selain Allah Subhanahu Wata’ala.*
*Penulis adalah aktivis Jamiyyah Aswaja Bangil