Hidayatullah.com | SEBELUMNYA, saya menerima kiriman video pendek berupa ceramah Syekh Anas al-Syarfawi, seorang ulama Suriah. Syekh Anas adalah salah satu pentahqiq Ihya’ ‘Ulumuddin di zaman sekarang. Dalam video tersebut, Syekh Anas mengklarifikasi validitas hadits-hadits yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn.
Berikut ini ringkasan paparan Syekh Anas dalam video tersebut:
(1) Dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn terdapat 5600 hadits dengan pengulangan. Dari jumlah itu, lebih dari 2000 hadits terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Sebagian besar sisanya, terdapat dalam kitab-kitab Sunan, khususnya Sunan yang empat (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah). Sisanya lagi terdapat di dalam banyak kitab hadits lainya, seperti Shahih Ibn Khuzaimah, Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, dan sebagainya. Tapi kebanyakan Imam al-Ghazali mengambilnya dari Risalah Imam Ibn Abi al-Dunya (w 281 H). Ada juga yang diambil dari kitab Ibn Abdil Barr seperti yang banyak dikutip al-Ghazali pada Kitab al-‘Ilmi dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn.
(2) Tajuddin al-Subki adalah ulama pertama yang mentahqiq (menilai) hadits-hadits dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn. Menurut al-Subki ada 928 Hadits dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn yang tidak ditemukan asalnya. Kajian al-Subki ini yang kemudian dicetak dan disebarkan oleh sebagian orang saat ini. Sehingga menimbulkan kesan banyak hadits palsu dalam Ihya’ ‘Ulumuddin.
(3) Kajian al-Subki ini memotivasi ulama berikutnya, al-Hafizh al-‘Iraqi untuk mengkaji hadits – hadits dalam Ihya’ ‘Ulumuddin lebih mendalam. Hasilnya, banyak hadits yang tidak ditemukan al-Subki, berhasil ditemukan oleh al-‘Iraqi. Namun masih tersisa sekitar 200 hadits Nabi yang belum berhasil ditemukan sanadnya.
(4) Usaha al-‘Iraqi dilanjutkan oleh Ibn Quth Bugha yang juga menemukan asal-usul hadits yang lain. Kerja besar itu kemudian disempurnakan oleh Imam Murtadha al-Zabidi yang menulis kitab Ithâf al-Sâdat al-Muttaqîn syarh Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn lengkap dengan takhrij hadits-haditsnya yang panjang. Dalam kajiannya, al-Zabidi berhasil menemukan asal hadits-hadits yang tidak ditemukan oleh al-Subki, al-‘Iraqi dan Bugha.
(5) Terakhir, Syekh Anas al-Syarfawi mentahqiq Ihya’ ‘Ulumuddin mencari asal hadits yang tidak ditemukan al-Zabidi. Ternyata hadits-hadits yang dikutip al-Ghazali bisa ditemukan di sejumlah kitab seperti Kitab “Tahdzib al-Asrar” karya Abdul Malik al-Kurkusyi (w. 406 H), kitab “Qut al-Qulub” karya Abu Thalib al-Makki (w. 373 H), dan di beberapa risalah karya Ibn Abi al-Dunya, dan dari kitab-kitab karya al-Harits al-Muhasibi.
(6) Hasil kajian Syekh Anas menyimpulkan, bahwa dari 5600 hadits dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, tersisa 20 hadits saja yang dinilai palsu oleh para ulama. Jadi, jumlahnya sangat sedikit. Itu menunjukkan al-Ghazali sangat teliti dalam masalah hadits.
Otoritas al-Ghazali
Tahun 2019 lalu, Dr. Muhammad Ardiansyah, mudir Pesantren Attaqwa Depok menulis buku: “Otoritas Imam al Ghazali Dalam Ilmu Hadits, Satu Tinjauan Yang Adil”. Buku ini juga sudah menjawab keragu-raguan sebagian orang terhadap Imam Ghazali.
Dr Ardiansyah menunjukkan data, bahwa Imam Al Ghazali adalah seorang ulama besar yang memahami Hadits Rasulullah dan mempunyai guru-guru terkemuka dalam bidang ilmu hadits. Buku itu ditulis oleh Ardiansyah sebagai jawaban terhadap sebuah video yang meyatakan, bahwa dari 1013 hadits di Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, 996-nya adalah dhaif. Pernyataan ini tidak berdasar data yang valid.
Imam Ghazali terbukti memiliki otoritas tinggi dalam Ilmu Hadits. Tentang Hadits dirayah, misalnya, al-Ghazali menulis kitab al-Mankhul min Ta’liqat al Ushul dan al Mustashfa min Ilm al Ushul. Di kitab ini, al-Ghazali menulis bab berjudul al-Akhbar, yang membahas tema-tema Ilmu Hadits, mulai masalah khabar mutawatir, khabar ahad, al jarh wa al ta’dil, dan sebagainya.
Dalam Kitab al-Mustashfa, al-Ghazali membahas ilmu hadits lebih luas lagi. Itu menunjukkan perhatian besar Imam al-Ghazali dalam ilmu Hadits dirayah yang sangat tinggi.
Perlu dicatat, bahwa para ulama hadits kadang tidak satu kata dalam menilai derajat hadits. Dalam hadits ‘Mencari ilmu itu wajib atas tiap Muslim’, al-Iraqi dan al-Zabidi menilainya lemah (dhaif), sedangkan al-Muzani menilainya hasan dan al Suyuthi menilainya shahih li-ghairihi.
Hadits lain yang juga dinilai lemah adalah tentang anjuran menuntut ilmu ke negeri China: “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China.” (Ihya’ Ulumiddin, Juz I). Dalam takhrijnya al-Iraqi menyatakan, “Hadits tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China dikeluarkan oleh Ibn Adi dan al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dan Syuáb al-Iman dari Hadits Anas. Al-Baihaqi berkata, ”Redaksinya (matan) masyhur, sedangkan sanadnya lemah (dhaif).” Penilaian al Zabidi terhadap Hadits ini sama dengan al Iraqi. Namun, kata al- Zabidi: “Hadits ini, meskipun sanadnya lemah (dhaif) tapi maknanya shahih.”
*****
Meskipun begitu hebat dan otoritatifnya dalam keilmuan, para ulama adalah manusia, yang bisa salah. Kekeliruannya mereka bukan karena kesengajaan. Kritik atas sebagian karyanya tidak mengurangi kebesarannya sebagai ulama.
Sebagai contoh, seorang ulama besar yang mengkritik al-Ghazali adalah Ibn al-Jauzi. Ia menulis kitab al-Maudhu’at. Tetapi, Ibn al-Jauzi juga banyak dikritik oleh ulama lain.
Al-Shakhawi menulis, bahwa Ibn al-Jauzi seringkali memasukkan hadits-hadits shahih atau hasan, bahkan dari riwayat Bukhari Muslim, ke dalam kitab al-Maudhu’at. Imam al-Suyuthi menunjukkan ada 120 hadits yang dinilai palsu oleh Ibn al-Jauzi, padahal itu bukan hadits-hadits palsu.
Kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn adalah karya terbesar Imam al-Ghazali, seorang ulama yang telah diakui jasa besarnya dalam kebangkitan umat Islam di era Perang Salib. Tentang peran besar Imam al-Ghazali ini, silakan dibaca artikel berikut ini: Peran “Para Murid” Al Ghazali dalam Jihad Shalahuddin. Juga, terutama, baca buku Dr. Majid Irsan al-Kilani berjudul, “Model Kebangkitan Umat Islam” (Terjemah Ust. Asep Sobari Lc.).
Kitab Ihya’ Ulumiddin diakui oleh Said Hawwa dan banyak ulama lain, sebagai kitab terbaik dalam hal Tazkiyyatun Nafs. Penelitian Syekh Anas dan tim-nya merupakan kerja besar dan penting untuk mendudukkan hadits-hadits Nabi secara adil dalam Kitab Ihya’ ini. Semoga kita bisa mengambil manfaat. Wallahu A’lam bish-shawab.*/Dr Adian Husaini, pengajar PP Attaqwa College (ATCO), Depok, Jabar