Oleh: Ahmad Sadzali
TAHUN ini adalah tahun pemanasan di Indonesia. Partai-partai sedang bersaing untuk merebut simpati rakyat. Begitu juga rakyat, sebenarnya lagi panas dengan kelakuan para elit yang seakan mempermainkan perasaan mereka. Rakyat panas untuk mencari pemimpin baru dan mengganti yang lama.
Di tengah panasnya temperatur politik ini, munculnya sosok Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta, seolah menarik simpati masyarakat. Sebenarnya, gaya Jokowi itu sendiri biasa-biasa saja bukan hal aneh. Jutaan orang kampung, tokoh-tokoh tradisional, kiai-kiai panutan di desa-desa kesederhanaanya yang tulus, tidak pamrih (apalagi pamrih politik), jauh lebih banyak. Yang aneh itu justru ada pada para elit politisi, pejabat dan para pemimpin kita.Yang ada adalah, mental dan gaya kepemimpinan ala Jokowi sudah sekian lama absen dan boleh dikata hilang pada bangsa kita, sehingga gaya Jokowi ini menjadi aneh. Keanehan inilah yang dimanfaatkan media.
Di beberapa lembaga survei beberapa waktu lalu, nama Jokowi lantas selalu menjadi nomor urut satu sebagai tokoh potensial calon presiden di Pilpres 2014. Jokowi mengalahkan nama-nama senior yang sudah lama bercokol sebagai elit dan petinggi politik. Padahal Jokowi boleh dibilang masih bocah politik yang baru lahir. Bahkan ia sendiri pernah mengakui bahwa dirinya bukanlah seorang politisi.
Meski Jokowi sendiri belum tentu mampu menjalankan fungsi kepresidenan jika seandainya terpilih menjadi presiden, namun paling tidak fenomena sosok dirinya adalah fakta yang dibutuhkan masyarakat. Bahwa rakyat butuh perubahan pemimpin dan gaya kepemimpinan. Inilah yang disebut dengan krisis kepemimpinan nasional.
Soekarno dan Mesir
Sejarah mencatat, Indonesia di masa Presiden Soekarno dikenal sebagai negara yang banyak menyumbangkan konsepsi kepada dunia internasional. Peranan Indonesia di kancah internasional sangat terlihat jelas. Pencitraan Indonesia di mata dunia sangat baik. Maka wajar hingga sekarang, rakyat Mesir masih banyak yang mengenal Soekarno, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kairo.
Selanjutnya di masa Presiden Soeharto, Indonesia terlihat memiliki arah dan tujuan yang jelas. Presiden Soeharto memfokuskan pada pembangunan dalam negeri Indonesia. Buktinya adalah proyek Pembangunan Lima Tahun atau yang dikenal dengan Pelita yang dijalankan Soeharto. Selama rezimnya berkuasa, Soeharto telah melaksanakan program Pelita hingga yang ke-7.
Ini semua tentu terlepas dari kontroversi dan kekurangan dari dua pemimpin kita tersebut.
Jika kita amati, tsunami krisis kepemimpinan ini sebenarnya baru muncul pasca reformasi. Indonesia di tangan para pemimpin dan elit masa reformasi terlihat tidak terarah, kehilangan karakter kebangsaan dan semakin jauh dari idealismenya. Sebab utamanya adalah karena pemimpinnya juga kehilangan karakter dan idealisme itu. Karena, sejatinya pemimpin bangsa adalah pembangun karakter bangsa.
Indonesia negara yang begitu kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusianya sekarang menjadi negara pengemis, karena ulah pemimpinnya yang tidak memiliki karakter, demikian kutip seorang sastrawan.
Sayangnya, kita sering kali melupakan atau dilupakan akan sosok-sosok kepribadian para pemimpin kita terdahulu. Sejarah mereka hanya sebatas diajarkan di sekolah, dan kemudian lupa di masyarakat. Atau juga karena adanya suatu “permainan” yang dengan sengaja menjauhkan kita dari mereka.
Maka, jalan pintas yang mungkin dapat kita tempuh untuk melahirkan kembali pemimpin yang berkarakter dan idealis ini adalah dengan membuka kembali lembaran sejarah negarawan kita. Kita tengah membutuhkan sosok-sosok pribadi negawaran masa dulu yang bisa kita teladani. Ini sangat penting kita lakukan, terlebih tahun ini adalah tahun persiapan Pemilu 2014.
Imam al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkâm al-Sulthâniyyah mengatakan: “Jika di antara kedua pemimpin ada yang lebih pandai dan yang lebih berani, maka yang lebih berani didahulukan ketika negara sedang banyak mendapat gangguan dari pemberontak. Namun jika negara diliputi oleh orang-orang ahli bid’ah, maka yang pandai yang lebih didahulukan.”
Dari pernyataan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kebutuhan kita terhadap karakter pemimpin itu disesuaikan dengan kondisinya.
Dalam kacamata penulis, karakter dan idealisme pemimpin yang kita butuhkan sekarang ini pada dasarnya sangat sederhana. Inti dari karakter dan idealisme itu adalah pejuang dan perjuangan, mengingat kondisi negara kita sekarang yang masih berstatus negara berkembang, banyak dilanda berbagai krisis, hingga terpuruknya moral.
Maka wajar saja sebenarnya, di tahun 1988 di bawah rezim Orde Baru, Menteri Penerangan, Harmoko, mengeluarkan larangan menyanyikan lagu-lagu cengeng. Lagu cengeng dianggap bisa menghambat laju program pembangunan Indonesia yang tengah dimotori oleh Soeharto. Karena mentalitas dan karakter cengeng jauh berseberangan dengan karakter pejuang.
Karakter dan idealisme perjuangan ini yang sekarang hilang. Bukan berarti pemimpin sekarang tidak ada perjuangan, namun terkadang di tengah perjuangan itu diselipkan atau kalah oleh kepentingan-kepentingan lainnya. Sehingga banyak kepentingan rakyat dan bangsa yang terabaikan.
Jika pemimpin memiliki karakter ini, seharusnya secara otomatis akan melahirkan energi positif lainnya, dari segi etos kerja hingga kepribadiannya. Seorang pejuang mestinya pekerja keras, menghasilkan kerja nyata, berani mengambil keputusan, tegas, tanpa pamrih, di samping juga berkepribadian yang sederhana dan bersahaja. Karena tidak mungkin seorang pejuang yang tengah berjuang bisa duduk santai dan menikmati kemewahan.
Al akhir, sesungguhnya karakter dan idealisme seperti ini tidak cukup dimiliki pemimpin seorang diri saja. Melainkan juga harus disalurkan kepada anak buah hingga seluruh rakyatnya. Dengan demikian terbentuklah karakter bangsa yang utuh, yang berawal dari karakter sang pemimpinnya. Wallahu’alam.*
Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, asal Martapura