Oleh: Adif Fahrizal
BELAKANGAN ini muncul wacana “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”. Istilah ini bahkan sedang menjadi tren di kalangan intelektual, birokrat Kementerian Agama, politisi, dan sebagian organisasi Islam.
Dalam berbagai kesempatan sejumlah akademisi, pejabat Kementerian Agama, dan beberapa tokoh organisasi Islam kerap mengulang-ulang frasa ini dalam pidatonya.
Wacana “Islam Indonesia” (di)muncul(kan) di tengah konstelasi politik global yang sedang sumpek akibat berbagai konflik yang ikut menyeret Islam dan umat Islam di dalamnya, sebut saja misalnya perang di Iraq, Suriah, Yaman, Somalia, Nigeria, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri konflik-konflik tersebut melahirkan -atau melibatkan- kelompok-kelompok militan yang tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuannya yang kemudian menimbulkan citra Islam sebagai agama kekerasan, teror, haus darah, dan sebagainya.
Di tengah situasi inilah wacana “Islam Indonesia” hendak dihadirkan sebagai tawaran alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang “moderat”, “toleran”, cinta damai, dan menghargai keberagaman.
Namun di luar “niat baik” itu sesungguhnya masih banyak hal yang menjadi tanda tanya dari wacana “Islam Indonesia” ini, baik landasan konseptualnya maupun substansinya. Akan tetapi sayangnya tidak banyak orang yang memberi perhatian akan hal ini padahal ia mencakup permasalahan yang mendasar. Berangkat dari situ penulis akan mencoba mengkritisi wacana “Islam Indonesia” ini.
“Islam Indonesia”, Makhluk Apakah?
“Islam Indonesia” sejatinya adalah sebuah konsep. Sebagai konsep, sampai hari ini belum ada definisi baku tentang apa yang dimaksud “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”.
Aneh, sebuah sebuah konsep belum jelas, sudah diwacanakan secara resmi di lembaga-lembaga kementerian bahkan wacana akademik.
Bagaimana mungkin sebuah konsep diperbincangkan sedemikian rupa tanpa dijelaskan maknanya, ini sama saja membicarakan sesuatu yang tidak ada isinya.
Penulis masih menebak-nebak, apa sesungguhnya “Islam Indonesia” yang dimaksud para akademisi, pejabat, dan tokoh ormas itu?
Apakah yang dimaksud adalah “agama Islam ala Indonesia”? Jika ya lantas seperti apa wujudnya? Apa seperti di Turki pada zaman Mustafa Kemal Attaturk dulu yang adzan dikumandangkan dalam bahasa Turki dan Al Quran hanya diterbitkan terjemahannya saja yang ditulis dengan huruf Latin? Atau seperti apa? Masih belum jelas.
Selama pengertiannya belum jelas, sebaiknya para akademisi, pejabat, birokrat dan tokoh tidak latah bicara soal “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”. Membicarakan konsep yang masih kabur hanya akan membingungkan dan menyesatkan masyarakat.
Mengingkari Realitas
Terlepas dari belum jelasnya pengertian “Islam Indonesia” itu sendiri, tampak bahwa wacana ini erat hubungannya dengan gagasan almarhum Gus Dur tentang “pribumisasi Islam”. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa “pribumisasi Islam” adalah upaya mengartikulasikan ajaran dan nilai-nilai Islam sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat penganut Islam itu sendiri.
Bagi masyarakat Muslim Indonesia tentu saja Islam harus diterjemahkan sesuai dengan konteks-sosial budaya lokal Indonesia atau Nusantara.
Dalam banyak perbincangan seputar wacana “Islam Indonesia” kerap disinggung memiliki “ciri khas” dan membedakannya dengan Islam di negeri-negeri lain.
Secara umum ada yang mengelompokkan dalam dua macam karakteristik. Pertama “Islam Indonesia” lebih mengedepankan aspek esoteris (hakikat) ketimbang eksoteris (syariat); kedua sebagai Islam yang “moderat”, “toleran” dan “cinta damai”. Pendeknya Islam yang lemah lembut, kebalikan Islam yang “radikal”, “intoleran” atau “gemar kekerasan”. *(bersambung).. Muslim Nusantarapun bisa bertindak radikal…
Penulis sedang mengambil S2 bidang sejarah di UGM