Oleh: H. Faza Abdu Robbih, Lc
SEMINGGU ini kita disibukkan kasus artikel kembar berjudul “Revolusi Mental” dari Tim Sukses Jokowi. Tulisan ini tidak untuk menanggapi itu, tapi kita bicara masalah rekonstruksi jiwa dan mental dalam perspekif yang lain.
Tahun 2012 lalu masyarakat Mesir tengah mengadakan pesta demokrasi yang disebut pertama dalam sejarah, karena pesta demokrasi ini dinilai jujur, adil, langsung dan bersih.
Usai memilih anggota legislatif, masa reformasi ini dilanjutkan dengan pemilihan calon presiden.Beberapa kandidat telah mengajukan diri, baik secara individu atau dengan berkendaraan partai politik. Mereka juga berasal dari berbagai kalangan seperti politikus, cendikiawan, aktifis buruh, mantan menteri hingga dokter.
Ada yang berasal dari kubu kiri (sekuler liberal), kubu kanan hingga poros tengah. Beberapa nama muncul dalam bursa pencalonan presiden Mesir seperti Salim ‘Awa, Amr Musa, HuseinShobahi, Muhammad Mursy, Ahmad Syafik dan Abdu al-Muním Abu al-Futuh.
Topik ini juga menjadi buah bibir yang sangat laris dibicarakan, baik di jejaring sosial, media komunikasi dan informasi, kampus, hingga kafe dan kendaraan umum. Seluruh masyarakat berusaha mencari sosok ideal yang akan membawa Mesir menuju kemajuan pada lima tahun ke depan. Sebuah kondisi serupa yang kita alami sekarang.
Di tengah kondisi politik yang tengah memanas ini salah satu guru kami Prof. Dr Yusri Sayyid Jabr melemparkan sebuah “kritik”, di mana kita tidak dapat merekonstruksi bangsa hanya dengan mengandalkan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana saja namun dituntut dari seluruh lapisan untuk turut merekonstruksi lewat bidang yang mereka geluti dan memulainya dari diri kita masing-masing.
Bahkan sebuah perubahan tidak akan muncul kalau kita hanya menuntut pemimpin tersebut untuk selalu berlaku baik, jujur dan adil namun nilai-nilai kebaikan itu nihil ditengah masyarakat. Beliau bahkan memberi perumpaan, walau Umar bin Khattab atau siapapun pemimpin dunia yang terkenal adil dibangkitkan kembali untuk memimpin umat sekarang maka mereka akan mengangkat bendera putih (menyerah) jika elemen-elemen lain pada umat ini tidak memperbaiki diri dan ikut merekonstruksi umat, karena sejarah membuktikan bahwa kemajuan daulah Islam tidak hanya karena pemimpin yang adil namun ia juga ditopang oleh masyarakat yang disiplin, taat dan tertib.
Bagaimana pun hukum dan undang-undang dibuat, ia tidak akan mewujudkan perbaikan jika manusia yang dipimpin masih “bobrok”, karena hukum dan aturan manusia memiliki kelemahan hingga beberapa oknum akan selalu mencari jalan lain untuk dapat melanggar aturan dan undang-undang yang telah dibuat.
Maka tidak salah jika rekonstruksi manusia menjadi prioritas utama untuk kemajuan sebuah bangsa, binâ al-insân qobla al-bunyân.Pada surat al-Taubah ayat 19, Al-Quran juga menegaskan bahwa rekonsturksi manusia (yang pada ayat ini digambarkan dengan proses keimanan dan jihad di jalan Allah) lebih utama dibandingkan dua ibadah yang sangat mulia, memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram.