Imam asy-Syatibi hidup di zaman keemasan Islam di Granada dibawah pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah, ia ulama pembaharu melalui maslahah mursalah
Oleh: Dr Nirwan Syafrin
Hidayatullah.com | NAMANYA Abu Ishaq asy-Syatibi (790/1388), salah satu ulama penting dalam Mazhab Maliki. Ia dianggap sebagai pembaharu khususnya melalui gagasan maslahah mursalah yang menjadi ide pokok dari doktrin ushul fiqh dan fatwa-fatwanya.
Ia terkenal dengan dua karyanya al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah dan al-i‘tiÎam yang banyak mempengaruhi ulama-ulama Arab modern khususnya dalam bidang hukum syariah. Namun sangat disayangkan informasi seputar kehidupan tokoh ini sangat minim meskipun kehidupan dan doktrin-doktrin hukumnya telah menjadi objek kajian baik di Barat maupun di timur.
Hal ini mungkin disebabkan oleh kesulitan data dan informasi tentang kehidupannya baik melalui karya-karyanya maupun melalui tokoh-tokoh yang hidup sezaman dengannya yang dihadapi oleh seorang penulis biografi Syatibi. Untuk itu perlu kiranya sebuah kajian untuk menjawab kenapa sangat sedikit sekali informasi seputar kehidupan Syatibi, kemudian diikuti dengan upaya untuk merekonstruksi data-data dan informasi yang tersedia mengenai kehidupan, guru-guru, aktifitas ilmiah serta karya-karyanya sehingga memberikan gambaran yang utuh seputar kehidupan tokoh ini.
Tulisan ini merupakan kajian ringkas yang memaparkan latarbelakang kehidupan, asal usul, riwayat pendidikan, aktivitas ilmiah, karier, murid-murid serta karya-karya Syatibi. dalam penulisan penulis banyak mengacu pada hasil kajian Muhammad Khalid Masud dalam bukunya Syatibi’s Philosophy of islamic Law.
Kajian Refrensi
Minimnya kajian yang dibuat tentang asy-Syatibi berkaitan erat dengan sedikitnya sumber-sumber yang merekam kehidupan tokoh ini. Di antara ulama yang sezaman dengannya seperti Lisan al-Din ibn al-Khatib (776/1374) dan ibn Khaldun (784/1382) banyak menulis tentang kehidupan dan para ulama yang hidup pada masa itu, bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa ibn Khatib dan asy-Syatibi adalah kawan seperguruan. [i] sementara Ibn Khaldun pernah terlibat polemik dangan Syatibi. [ii] jadi besar kemungkinan kedua tokoh itu mengenal asy-Syatibi dengan baik, namun di antara sekian banyak karya mereka tidak ada yang menyebutkan tentang asy-Syatibi.
Bahkan diantara tokoh-tokoh mazhab Maliki pun baik itu yang hidup sezaman dengan asy-Syatibi seperti ibn Fahun (799/1369), pengarang al-Dibaj al-Mudhahhab, atau Badr al-Din al-Qarafi ((1008/1599), pengarang Taswih al-Dibaj (komentar al-Dibaj) tidak menyinggung tentang asy-Syatibi. Hingga Ahmad Baba [iii] (1036/1626) mengomentari al-Qarafi kurang menguasai tentang pengetahuan Islam di Barat (andalus). [iv]
Sejauh ini buku Ahmad Baba Nail al-ibtihaj [v] yang ditulis sekitar 200 tahun setelah wafatnya asy-Syatibi adalah sumber utama yang memuat biografi ringkas Syatibi. Ahmad Baba tidak hanya biografer pertama yang menulis tentang kehidupan Syatibi tapi ia juga seorang yang dianggap mempunyai otoritas dalam hal ini. Hampir semua ulama yang mengkaji Syatibi setelah itu merujuk pada karyanya.
Ahmad Baba menyebutkan tentang asy-Syatibi dalam dua bukunya yaitu Nail al-ibtihaj dan Kifayat al-MuHtaj.Dari Nail al-Ibtihaj nya Ahmad Baba bisa dilihat sumber-sumber rujukan yang ia gunakan, di antaranya al-Mi‘yar al-Mughrib wa’l Jami‘ al-Mu‘arrab ‘an fatawa ‘ulama’ ifriqiya wa’l Andalus wa’l Maghrib karya Abu’l Abbas Ahmad al-Wansharisi (914/1506).
Buku ini adalah rujukan yang terpenting disamping karya asli Syatibi seperti al-ifadat wa’l inshadat. al-ifadat [vi] yang merupakan catatan-catatan dan anecdot yang ditulis Syatibi dari gurunya. Intisari dari karya ini sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Maqarri dalam NafH al-Ùib [vii] dan Ahmad Baba sendiri dalam Nailul nya menunjukkan informasi tentang Syatibi serta guru-gurunya.
Jika asumsi ini benar berarti Ahmad Baba telah mengambil data tentang Syatibi dari sumber pertama. Selain Al-Ifadat karya Syatibi yang lainnya seperti al-Muwafaqat dan al-i‘tiÎam juga bisa dijadikan sumber rujukan.
Pengantar dalam al-i‘tilam menjelaskan keadaan yang membentuk pemikiran syariahnya Syatibi serta tujuannya dan menerangkan kenapa Syatibi pernah dituduh telah melakukan bid’ah. Sementara al-Muwafaqat memuat tentang polemik dan diskusi-diskusi yang melibatkan Syatibi dan ulama-ulama lain pada masa itu.
Latar Belakang Kehidupan
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi al-Gharnali. Walaupun terkenal dengan sebutan al-Syatibi tapi ia adalah salah satu ulama Andalus.
Kata-kata Syatibi pada akhir namanya telah banyak mengelirukan para pengkajinya seperti i. Golziher, Brockelmann yang mengatakan bahwa Syatibi dilahirkan di Shatiba (Xativa atau Jativa) sebelum hijrah ke Granada. [viii] namun itu tidak mungkin terjadi, karena secara kronologis daerah Shatiba pada masa itu telah diambil kaum Salib. Menurut sejarah kaum muslimin terakhir yang dikeluarkan dari Shatiba adalah pada tahun 645/1247.[ix]
Kebanyakan penulis dan ulama berpendapat bahwa Syatibi dibesarkan di Granada dan menerima pendidikan awal di kota yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Nasrid itu. Masa muda Syatibi bertepatan dengan zaman keemasan Islam di Granada dibawah pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah.
Granada menjadi pusat studi yang menarik para pelajar dan ulama dari segala segenap penjuru Afrika utara. Di antaranya adalah tokoh terkenal seperti ibn Khaldun dan ibn Khatib.
Informasi tentang kapan dan subjek apa saja yang telah dipelajari Syatibi pada masa mudanya tidak banyak diketahui, namun berdasarkan guru-guru yang terlibat mengajarnya bisa ditarik kesimpulan bagaimana perjalanan pendidikan Syatibi. Sebagaimana lazimnya masyarakat pada waktu itu, pendidikan Syatibi dimulai dengan mempelajari bahasa Arab. Dalam hal ini Syatibi menerima gamblengan dua orang tokoh mashur yaitu Abu ‘Abdallah Muhammad bin ‘Ali al-Fakhkhar al-Biri yang terkenal sebagai Shaykh al-Nuhat di Andalusia [x].
Syatibi tinggal bersamanya sehingga sang guru wafat tahun 754/1353. Guru kedua Syatibi dalam bahasa Arab adalah Abu’l Qasim al-Sharif al-Sabti (760/1358) ketua Qadi di Granada tahun 760/1358 dan pengarang komentar Maqsura nya. [xi]
Setelah itu faqih mashur Andalusia Abu Sa’id ibn Lubb adalah guru yang menggatikan kedudukan Abu Qasim setelah wafat beliau. [xii]Di bawah bimbingan ibn Lubb, Syatibi mendapatkan hampir semua pengetahuannya tentang fiqh, sehingga ia merasa berhutang besar pada sang guru, walaupun kemudian hari ia terlibat dalam perdebatan mengenai beberapa issu dengan gurunya tersebut.
Dari guru-guru yang terlibat mengajarnya khususunya dalam bahasa Arab dan fiqh terlihat bahwa Syatibi telah mengambil manfaat dari hampir semua ulama mashur di Granada pada masa itu, bahkan para tokoh yang mengunjungi Granada dalam misi diplomatik seperti Abu ‘Abdallah al-Maqarri [xiii]yang datang ke Granada pada tahun 757/1356 dalam misi diplomatik dikirim oleh Marini Sultan Abu Inan ia datangi untuk belajar darinya. Maqarri adalah pengarang buku nahwu dan terkenal sebagai pemegang gelar muhaqqiq fiqh dalam Mazhab Maliki.
Maqarri juga merupakan tokoh yang memperkenalkan Razism dalam usul fiqh dan sufism khususnya tarekat shaziliyyah kepada Syatibi. Salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Haqa’iq wa’l raqa’iq fi al-tasawwuf.
Selain mempelajari bahasa dan fiqh Syatibi juga mendalami filsafat dan kalam serta ilmu-ilmu ‘aqliyah lainnya, dalam hal ini ia mendapat bimbingan dari beberapa orang ulama, diantaranya Abu Mansur al-Zawawi yang datang ke Granada pada tahun 753/1352. [xiv] walaupun tokoh ini kemudian terusir dari Granada karena terlibat dalam perdebatan dengan para ahli hukum Granada dan menghadapi berbagai tuduhan. mengenai ulama ini, ibn Khatib memuji kefakarannya baik dalam ilmu ‘aqliyah maupun naqliyah.
Dari data-data diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam perjalanannya Syatibi telah mendapat gamblengan secara baik dalam ilmu-ilmu ‘aqliyyah dan naqliyyah. Namun dilihat dari karya-karyanya kecenderungan Syatibi terlihat pada bahasa Arab, lebih khusus lagi kepada ushul fiqh.
Pada masa Syatibi fiqh merupakan subjek yang popular serta menguntungkan, bertentangan dengan ushul fiqh yang sangatlah jarang orang mempelajarinya di Andalus[xv]. Syatibi melihat bahwa fiqh pada masa itu banyak memiliki kelemahan dalam menghadapi tantangan dan perubahan sosial. Menurutnya hal ini disebabkan oleh kekurangan dan kelemahan fiqh dalam metodologi dan filsafatnya.
Oleh sebab itu salah satu upaya untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan mendalami kembali ushul fiqh.
Salah satu problem yang membingungkan Syatibi adalah banyaknya perbedaan pendapat diantara ulama dalam berbagai persoalan, sementara penggunaan kaidah mura‘at al-khilaf yang menjadi acuan para ulama pada masa itu tidak bisa membantu memecahkan persoalan bahkan hanya menambah kompleksnya persoalan. ia merasa bahwa undang-undang telah kehilangan ruhnya, yang tinggal hanya formalitasnya saja. untuk itu perlu suatu usaha untuk mencari sebuah formula filsafat hukum yang bisa dijadikan acuan persoalan-persoalan syariah. Hal inilah yang mendorong Syatibi untuk mendalami ushul fiqh.
Perubahan yang cepat dalam masyarakat Granada membawa impak kepada penerapan hukum-hukum syariah secara mencolok. Pengenalan sistem pendidikan baru, perubahan pola pada otoritas yuridis, penyebaran tasawwuf serta filsafat kalam di Barat telah menciptakan jarak perubahan serta mengagitasi pemikiran ulama pada masa itu.
Syatibi telah mengambil perhatian yang cukup serius pada perkembangan ini dengan membantah pendapat para ulama serta memunculkan persoalan-persoalan fundamental tentang maksud dan tujuan syariah Islam. Untuk itu ia telah terlibat dalam polemik dengan beberapa ulama pada masa itu.
Di antara persoalan-persoalan pokok yang menjadi topik perdebatan-perdebatannya yang sampai kepada kita adalah masalah pajak, tasawwuf serta penyebutan nama khalifat dalam khutbah dan doa. Masalah penambahan pajak timbul karena kondisi keuangan Granada yang kritis pada masa itu,sehingga memaksa khalifah untuk menambah pungutan pajak.
Mufti Granada dan beberapa ulama mengatakan penambahan tersebut tidak sejalan dengan syariah. Namun Syatibi menentang pendapat Mufti Ibn Lubb dengan argumen bahwa perlindungan terhadap kepentingan publik merupakan tanggung jawab orang banyak (masyarakat).
Tanggung jawab ini bisa ditukar oleh masyarakat dengan membayar membayar kepada negara. Jadi membayar pajak juga merupakan kewajiban bagi masyarakat. [xvi]
Dalam hal tasawwuf beberapa ulama ahli hukum mengklaim bahwa penyerahan diri kepad syaikh merupakan suatu kewajiban. Hal ini ditentang oleh Syatibi, menurutnya otoritas agama hanya dipegang oleh Nabi Muhammad ﷺ. Untuk itu ia telah menulis bantahannya kepada para ulama di Afrika utara.
Tiga di antara respon dari ulama itu sampai kepada kita. Yaitu dari Ibnu Qabbab (770/1377) dan Ibn ‘Abbad (792/1389) yang terekam dalam al-Mi‘yar al-Mughrib nya Wansharisi, yang ketiga tertulis dalam Shifa’ al-Sa’il li tahdhib al-Masa’il-nya Ibn Khaldun.
Penyebutan nama sultan atau khalifah dalam setiap khutbah Jum’at sebagai simbol legitimasi telah lama dijalankan, bahkan pemerintahan Muwahhidun menambah amalan ini pada setiap shalat-shalat jamaah. [xvii] Beberapa ulama telah mencoba untuk menentang praktek ini dengan resiko.
Syatibi dalam hal ini secara terbuka juga mengemukakan penentangannya sehingga ia dipecat dari jabatan imam dan dihadapkan kemahkamah. [xviii] Beberapa ulama ahli hukum ada yang menulis bantahan mereka terhadap pendapat Syatibi, di antaranya yang sampai pada kita adalah Abu’l Hasan al-Nubahi ketua qadi Granada, Abu Sa‘id ibn Lubb, Rektor Madrasah NaÎriyyah Granada, [xix]Muhammad al-Fishtali, [xx] ketua qadi di Fez dan Ibn ‘Arafa ketua qadi Tunisia. [xxi] Hanya Abu Yahya ibn ‘Ósim murid Syatibi yang kemudian menggantikan al-Nubahi saja yang mendukung Syatibi. [xxii] Permasalahan yang paling membingungkan dalam perdebatan yang membawa Syatibi memformulasikan maqashid al-Syariah adalah persoalan mura‘at al-Khilaf.
Prinsip-prinsip mura‘at ini tidak hanya mengakui pertententangan pendapat para ahli hukum dalam beberapa masalah tetapi juga menekankan perlunya memberi perhatian yang serius bahwa semua pendapat adalah benar. Syatibi mempertanyakan keabsahan dari prinsip ini, untuk itu ia telah menulis kepada beberapa ulama.
Di antaranya Ibn Qabbab, Fishtali, ibn ‘Arafa dan Sharif Tilimsani. [xxiii] Namun respon dari mereka tidak memuaskan Syatibi dan Syatibi yakin bahwa dalam hukum syariah tidak ada ruang untuk konflik.
Menurutnya semua undang-undang syariah berasal dari satu akar walaupun mungkin terdapat perbedaan dalamnya. [xxiv] Dari argumen diatas terlihat jelas bahwa khilaf menurut Syatibi adalah ta‘arud al-adilla (pertentangan dalil-dalil) bukan tasawi adilla sebagaimana yang difahami kebanyakan ulama.
Perdebatan ini telah mengantarkan Syatibi kepada investigasinya untuk menjawab persoalan apakah undang-undang syariah berasal satu akar, apakah maksud dari pemberi hukum (tuhan), serta tujuan dari hukum. Kajiannya menghasil doktrin maqashid al-syariah yang termaktub dalam karyanya al-muwafaqat.
Dalam hidupnya Syatibi pernah menghadapi tuduhan pembawa bid’ah. Namun secara pasti waktunya tidak diketahui.
Tuduhan ini bermula dari rasa keingintahuan Syatibi yang besar sehingga menimbulkan berbagai persoalan yang ia perdebatkan dengan para fuqaha’ berpengaruh pada masa itu. Besar kemungkinan hal ini terjadi pada masa ia menulis al-Muawafaqat, dimana ia telah menghubungi beberapa ulama tentang beberapa masalah hingga akhirnya dihadapkan ke mahkamah atas tuduhan bid’ah.
Dalam karyanya al-i‘tiÎam, Syatibi menyebutkan beberapa masalah yang menjadi sebab tuduhan bid’ah kepadanya. Di antaranya ia mengatakan:
“Kadang-kadang aku dituduh mengatakan bahwa doa itu tidak mempunyai maksud. Hal ini karena aku tidak memprakatekkan doa bersama setelah shalat jamaah.” [xxv]
“Aku dituduh sebagai pengikut rafidah dan membenci para shahabat. Hal ini karena aku tidak menyebut nama-nama mereka dalam khutbah.” [xxvi]
“Aku juga dituduh lebih menyukai pertentangan dengan para pemimpin karena aku tidak menyebutkan nama-nama mereka dalam khutbah.” [xxvii]
“Aku dituduh fundamentalis dan kolot. Hal ini karena aku selalu berpegang pada tradisi yang telah mapan dalam kewajiban dan fatwa-fatwaku.Sementara mereka selalu mengenyampingkan tradisi dan mengeluarkan fatwa sesuai dengan permintaan.” [xxviii]
“Aku dituduh membenci para auliya karena aku menentang beberapa praktek sufi yang berlawanan dengan sunnah.” [xxix]
Dari pernyataannya diatas bisa disimpulkan bahwa secara umum tuduhan bid’ah kepadanya disebabkan oleh penentangannya kepada ajaran-ajaran para fuqaha’ pada masa itu, khususnya dalam bersoalan-persoalan tercantum di atas. Salah satu persoalannya penyebutan nama sultan dalam khutbah serta doa untuknya diakhir setiap shalat berjamaah.
Menurut Syatibi amalan ini adalah bid’ah. Pendapatnya ini telah menggugat keberadaan para tokoh agama pendukung pemerintah. Menarik untuk dilihat dalam hal ini asy-Syatibi juga ditentang oleh seluruh qadi di Andalus dan afrika utara serta elit politik yang berkuasa pada masa itu.
Catatan tertulis yang merekam karier asy-Syatibi selama hidupnya sejauh ini belum ditemukan namun berdasarkan catatan-catatan perjalanan hidup yang telah dipaparkan diatas bisa ditarik tiga asumsi mengenai karier Syatibi.
Pertama; Berdasarkan tuduhan sebagian masyarakat kepada Syatibi yang mengatakan bahwa ia telah melakukan praktek bid’ah, menganggap doa setelah shalat tidak memiliki maksud dan tidak mau menyebut nama penguasa pada masa itu dalam khutbahnya, hingga akhirnya ia diajukan ke mahkamah, bisa disimpulkan bahwa Syatibi merupakan imam dan khatib di salah satu masjid pada masa itu, walaupun kemudian ia diturunkan dari jabatannya tersebut.
Kedua; yang mungkin bisa dibuat ialah ia seorang mufti. Kemungkinan ini bisa terjadi karena fatwa-fatwa yang ia keluarkan berdasarkan permintaan. Namun karena tidak adanya catatan yang mengatakan bahwa ia seorang mushawar, jadi besar kemungkin asy-Syatibi bukanlah mufti yang resmi ditunjuk oleh pemerintah pada masa itu.
Ketiga, kemungkinan besar Syatibi adalah seorang guru di madrasah Garnada. Hal ini mungkin terjadi karena Syatibi memiliki sejumlah murid diantaranya ibn ‘aÎim yang pernah menjadi ketua qadi di Granada.
Selain abu Yahya bin ‘Asyim serta saudaranya abu Bakr bin ‘Asyim yang menjadi ketua qadi di Granada, terkenal dengan bukunya Tuhfat al-Hukkam, ikhtisar fiqh yang ditulis untuk para qadi serta menulis ringkasan al-muwafaqat, asy-Syatibi. Disebutkan juga mempunyai tiga orang murid lainnya yang terkenal yaitu Abu ‘Abdallah al-Bayani seorang faqih, Abu Ja‘far al-QaÎÎari serta Abu ‘Abdallah al-Majari.
Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya‘ban 790 H. Data ini terekam dalam dalam salah satu karya muridnya yaitu Naylul-muna yang merupakan ringkasan dari buku al-muwafaqat.*
[i] Abu ‘abd allah al-Maqqari, Nafh al-Ùib, ( MaÏba‘ Sa‘ada, Kairo, 1949) Vii, 187 [ii] Karya ibn Khaldun Shifa’ al-Sa’l li Tahdhib al-Masa’il, diedit oleh Muhammad b. Ùavit al-Tanji (istambul, Turkey, 1957) merupakan karya yang ditulis untuk merespon beberapa persoalan yang dikirim Syatibi kepada ulama-ulama di Barat seperti ibn Qabbab dan ibn ‘Óbbad.
[iii] untuk lebih detilnya mengenai ahmad Baba lihat M. Cheneb, “ahmad Baba” dalam E. i. 1st ed. Vol. i, 191-2;Levi Provencal, “ahmad Baba”, dalam E. i. , 2nd ed. Vol. i, 279-280; J.O. Hunwick, “ahmad Baba and the Moroccan invasion of the Sudan(1591)”, dalam Journal of Historical Society of Nigeria, ii (1962), 311-28 dan “a New Source for the Biography of ahmad Baba al-Tinbukti (1556-1627)”, dalam Bulletin of the School of Oriental and african Studies, XXVii (1964) 568-593; Muhammad Makhluf, Shajarat al-Nur al-Zakiyya (Kairo, 1349 H.), Vol. i, 298.
[iv] Ahmad Baba, Naylal-ibtihaj (dalam buku ibn Farhun al-Dibaj al-mudhahhab), ‘abbas b. abd al-Salam, Kairo, 1351, hal. 51, 88.
[v] Karya ini tersedia dalam 2 edisi; pertama dalam naskah Maghribi, (Fas: MaÏba‘Jadida 1317 H.), kedua terdapat dalam karyanya ibn Farhun al-Dibaj al-Mudhahhab (Kairo, 1351 H.). Naylul dalam kajian ini merujuk pada edisi kedua.
[vi] Lihat Nayl, hal. 69, 283, 346.
[vii] Lihat abu’l ‘Óbbas Maqqari, Nafh al.Ùib, diedit oleh Muhammad Muhy al-Din ‘abd al-Hamid, Matba‘a Sa‘ada, Kairo, 1949, Vol. Vii, hal. 187-192
[viii] untuk lebih detilnya lihat M. Khalid Masud “Syatibi’s Philosophy of islamic Law”, Islamic Research Institute International Islamic University Islamabad, Pakistan, 1995, hal. 83
[ix] Levi Provencal, “ShaÏiba”, E. i. 1st ed. (Brill, 1938), Vol. iV, hal. 337
[x] Nafh al-Ùib, op.cit., Vol. Vii, p. 275
[xi] ‘Umar Rida KaHHala, Mu‘jam al-Mu’allifin, Maktaba ‘arabia, Damaskus, 1957, Vol. Viii, hal. 252
[xii] Nayl, op. cit. hal. 219
[xiii] Nafh al-Ùib, op. cit. Vol. Vii, hal. 134
[xiv] Nayl, op. cit., hal. 245
[xv] berdasarkan pendapat ibn Sa‘id sebagaimana yang dinukilkan oleh Maqqari dalam Nafh al-Ùib Vol. i, hal. 206.
[xvi] Nayl, p. 49,; abu’l ‘abbas al-Wansharisi, al-Mi‘yar al-Mughrib wa’l Jami‘ al-Mu‘arrab ‘an fatawa ‘ulama’ ifriqiya wa’l andalus wa’l Maghrib, Fas, 1314, Vol. Xi, hal.101-107
[xvii] a. Bell, “abd al-Wahid al-Rashid”, Encyclopaedia of islam, 1st ed. Leiden, Brill, vol. i, hal. 66
[xviii]. al-Mi‘yar, op. cit., hal. 109
[xix] Muhammad Makhluf, Shajara al-Nur al-Zakiyya, Kairo, 1349, hal. 231
[xx] Nayl, op. cit., hal. 266
[xxi] al-Mi‘yar, Vol. Vi. Hal. 258
[xxii] Shajara, op. cit. hal, 247.
[xxiii] al-Mi‘yar, Vol. Vi, hal. 254-280
[xxiv] Syatibi, al-Muwafaqat, Darul Ma‘rifah, Beirut, 1970, Vol. iV, hal. 118
[xxv] Syatibi al-i‘tiÎam,diedit oleh M. Rashid RiÌa, Mustafa Muhammad, Kairo, hal. 11
[xxx] Yusuf i. Sarkis, Mu‘jam al-matbu‘at al-‘arabia wa’l mu‘arraba. Sarkis, Kairo, 1928.
[xxxi] Muhammad Khudri, usul al-fiqh, Matba‘ istiqam, Kairo, 1938. hal. 11
[xxxii] Abu’l ‘Ala Mawdudi, islamic Law and Constitution, islamic Publication, Lahore, 1960, hal. 113-114
[xxxiii] lihat ‘abd allah Diraz, introduction to al-Muwafaqat, Matba‘ Tijariya, Vol. i hal. 11-12 dan juga D.S. Margoiuth, “Recent arabic Literature”, dalam Journal of Royal asiatic Society, London, 1916, hal 397-398
[xxxiv] isma‘il Pasha Baghdadi, ÔÌaH al-maknun, Bahiyya, Kairo, 1945