Oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH
RANCANGAN Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) kembali mengemuka di penghujung masa kepengurusan DPR RI 2009-2014. Setelah sebelumnya mengendap sekitar dua tahun, karena menuai penolakan dari pelbagai komponen masyarakat, khususnya dari organisasi-organisasi perempuan yang berkeindonesiaan dan berkeadaban. Sebab RUU KKG yang beredar saat itu dinilai tidak mencerminkan ruh pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berasaskan Pancasila. Bahkan lebih cenderung memungut “kearifan” Barat daripada menjunjung kearifan lokal yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya bangsa yang bermartabat.
Setidaknya inilah substansi alasan penolakan dari pelbagai organisasi perempuan ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh Komisi VIII DPR RI pada 2012 silam.RDPU yang dipimpin oleh politisi feminis (kini berstatus tahanan atas kasus korupsi), berlangsung cukup panas karena kurangnya kesiapan aktivis feminis menghadapi realita keberagaman di kalangan perempuan.
Kemunculan RUU KKG setelah dua tahun mati suri, terkesan sangat tertutup.Bahkan tiba-tiba dikabarkan telah diluluskan oleh Baleg dan mengedepankan asas netral agama. Penyusunan kembali draft RUU KKG menurut informasi beberapa aktivis feminis di samping tertutup juga cenderung hanya dikonsultasikan kepada lembaga-lembaga dan LSM perempuan yang sejalan dengan ideologi feminisme dan gender.
Seringkali pihak-pihak yang tidak setuju dengan RUU KKG diklaim sebagai pendukung kekerasan terhadap perempuan, neo-patriarkhi, kolot dan anti kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan. Bahkan kalangan perempuan yang menolak RUU ini dituduh sebagai pihak yang sudah terlalu “nyaman” dan “diuntungkan” dengan sistem patriarkhi.Tentunya hal itu merupakan ekspresi kepanikan dan pengaruh kejiwaan atas berbagai ambisi elit perempuan menghadapi realitas bangsa yang berpegang erat pada adab dan nilai-nilai keindonesiaan. Padahal akan lebih baik apabila para politisi feminis mensosialisasikan terlebih dahulu kedudukan RUU KKG, termasuk apakah bangsa Indonesia, khususnya perempuan, membutuhkannya? Dan haruskah kaum perempuan, -dengan segala keberagamannya-, menginginkan UU KKG?
Sebagai negara yang turut meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), sudah tentu Indonesia bertanggungjawabmemberantas segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.Di samping itu juga memprioritaskan tercapainya akses keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban tindak kekerasan seksual.Dari sini bisa dipahami bahwa RUU KKG berkemungkinan diniatkan sebagai payung hukum bagi percepatan penghapusan diskriminasi dan mengikutsertakan perempuan dalam segala aktivitas pembangunan.
Namun demikian semua itu bukan berarti dilakukan dengan mengabaikan prinsip nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Karena syarat dan rukun menjadi negara yang maju dan sejahtera tidak harus menghilangkan filter identitas suatu negara.Dan sekiranya RUU KKG dibuat dengan semangat “netral agama”, justru menjadi kemunduran yang tidak berkesudahan bagi rakyat NKRI.Sebab jargon-jargon semisal “netral agama”biasanya hanya disuarakan oleh para aktivis sekular radikal dan ateis militan.Untuk itu sebelum membuat kebijakan semisal RUU KKG paling tidak diperlukan pengetahuan standard tentang makna gender, feminisme, latar belakang sejarah kemunculannya, dan relevansinya untuk bangsa Indonesia.
Arti feminisme dan gender
Istilah “keseteraan gender” tidak bisa dipisahkan dari “feminisme”, karena keduanya identik satu dengan lainnya. Baik gender maupun feminism merupakan kata serapan dari bahasa asing dan membawa makna khusus dari sisi terminologi maupun muatan nilai filosofisnya. Feminisme pada awalnya adalah gerakan perempuan di Barat yang menuntut keadilan atas segala bentuk diskriminasi yang mereka alami.Ekspresi protes kaum perempuan inilah yangmerupakan substansi darimakna feminisme.
Rita M. Gross menjelaskan bahwa inti feminisme adalah ‘teriakan’ perempuan yang menegaskan bahwa mereka juga manusia. Dalam buku “Feminist Methods in Social Research” dijelaskan bahwafeminisme berawal dari pernyataan perempuan tentang kekuatannya. Di mana pada awalnya feminisme bukanlah teori, tetapi tindak personal itu sendiri. Maka sangat wajar sebagai gerakan politikyang langsungterjun dalam masalah praktis dan tidak berawal dari aspek keilmuan, jika epistemologi (konsep ilmu) feminis yang sejak dulu dianggap kontradiktif (oxymoron), tapi kini namanya sudah diakui, meskipun epistemologinya sampai sekarangmasih belum jelas.
Sebab penjelasannya hanya berputar-putar di sekitar caraperempuan mengetahui, pengalaman dan pengetahuan wanita.Hal ini tentunya terasa asing menurut kalangan filsuf profesional, dan juga ganjildalam teori ilmu pengetahuan secara umum.
Sedangkan arti “Gender” secara kebahasaan pada awalnya tidak berbeda dengan arti “sex”, atau jenis kelamin biologis. Tetapi seiring dengan berkembangnya waktu, John Money menggeser arti gender menjadi peran sosial atau “jenis kelamin sosial” yang tidak permanen, bisa berubah, dan bahkan bisa dipertukarkan sesuai konstruksi budaya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Oleh karena itu dalam buku“Language and Gender” dijelaskan bahwa gender isn’t something we are born with, and not something we have, but something we do/something we perform.Pergeseran arti gender dimaksudkan di antaranya untuk membangun opini bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan tidak ditentukan secara biologis.
Maka sejalan dengan makna di atas, dalam RUU KKG bulan Desember 2013 para politisi feminis mengartikan gender sebagai pembedaan perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya.
Oleh karena itu para politisi feminis berusaha merekonstruksi ulang tatanan sosial budaya masyarakat Indonesia dari pembedaan menjadi penyamaan antara laki-laki dan perempuan melalui konstitusi dan diberlakukan secara mengikat.
Dengan demikian sebenarnya usaha feminis mensyahkan RUU KKG ini merupakan usaha yang konstitusional untuk meng-inkonstitusionalkan peran agama dan budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perjuangan yang sedang dilakukan politisi feminis adalah pengaruh langsung dari globalisasi ideologi gender. Hubungan laki-laki perempuan, suami istri atau antar anggota keluarga akan diatur langsung oleh negara. Dalam makalah “A History of Gender” yang diterbitkandalam The American Historical Review, gender dipandang sebagaicara utama untuk menandai hubungan kekuasaan. Maka Joan W. Scott membangun konsep gender melalui konstitusi.*/bersambung “Kritik terhadap feminisme dan RUU KKG
Penulis adalah ketua Majelis Riset dan Pengembangan di Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang gender dan Islam di Universiti Malaya Kuala Lumpur Program Kaderisasi Ulama kerjasama DDII dan Baznas