Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Adif Fahrizal
BERDASAR uraian di atas dapat dikatakan pula bahwa wacana “Islam Indonesia” yang hari ini digembar-gemborkan kalangan elit intelektual, birokrat Kemenag, politisi, dan sejumlah tokoh ormas Islam sejatinya hanya menampilkan satu wajah saja dari wajah “Islam Indonesia” secara keseluruhan.
Bukankah DI/TII –lepas dari soal setuju atau tidak setuju dengan gagasan dan sepak terjangnya– sebagai gerakan Islam politik yang radikal, militan, dan eksoteris adalah juga bagian dari “Islam Indonesia” karena ia lahir dan tumbuh di Indonesia dalam konteks sosial Indonesia dan bahkan mengadopsi budaya lokal Nusantara?
Masalahnya, ia tidak diakui sebagai salah satu warisan “Islam Indonesia” karena tidak memenuhi kriteria kedua kelompok karakteristik di atas.
Dengan demikian maka sesungguhnya telah terjadi pengingkaran atas sebuah realitas historis.
Terkurung dalam Partikularitas
Selain apa yang sudah dikemukakan di atas, kritik atas wacana “Islam Indonesia” juga bisa mengambil sudut pandang kritik atas partikularitas wacana ini. Satu pernyataan sederhana, apakah tradisi-tradisi keberislaman masyarakat Muslim Indonesia yang diklaim sebagai “ciri khas Islam Indonesia” hanya ada di Indonesia? Apakah tradisi-tradisi semacam ziarah kubur, tahlilan, yasinan, dan sejenisnya hanya dikenal di Indonesia?
Dalam kumpulan tulisan studi “Ziarah dan Wali di Dunia Islam” yang diedit Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot tentang praktik ziarah ke makam wali di berbagai penjuru Dunia Islam, ditemukan bahwa tradisi kaum Muslim yang dianggap sebagai ekspresi Islam lokal ternyata jamak ditemukan di seluruh Dunia Islam – mulai dari Senegal di barat sampai Indonesia di timur, dari China di utara sampai Zanzibar di selatan.
Dengan demikian maka tradisi-tradisi yang disebutkan di atas bukan hanya milik kaum Muslim di Indonesia semata.
Lagi-lagi jika menengok sejarah, berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari peran dan pengaruh berbagai negeri dan bangsa. Mulai Arab, Persia, India, China, dan tentu saja orang Nusantara sendiri.
Jadi budaya Islam yang berkembang di Nusantara juga lahir dari interaksi antara masyarakat Muslim dari beragam bangsa dan negeri sehingga dalam konteks ini mustahil membedakan secara tegas antara apa yang “asli/khas Indonesia” dengan yang “tidak asli/khas Indonesia”.
Jadi hubungan antara kaum Muslim Nusantara dengan kaum Muslim di luar Nusantara sudah terjalin sejak lama. Karena itu istilah “jaringan Islam trans-nasional” sesungguhnya juga bukan suatu hal yang baru.
Karena itu adanya kekhawatiran jaringan “Islam trans-nasional” akan memarjinalkan “Islam Indonesia” adalah berlebihan dan tidak berdasar.
Pada abad ke-19 tumbuhnya kelas pedagang Muslim pribumi dan membaiknya transportasi laut lintas benua mempermudah akses kaum Muslim Nusantara ke Haramain untuk beribadah haji sekaligus menuntut ilmu di sana. Dampaknya adalah membanjirnya para da’i yang menyebarkan ilmu yang diperolehnya di Tanah Suci sekaligus mengadakan perombakan-perombakan dan pembaharuan di masyarakatnya agar mereka hidup sejalan dengan tuntunan Islam. Bahkan dakwah yang mereka lakukan tidak tanpa resistensi. Dakwah mereka kerap dianggap mengancam tatanan budaya (Islam) lokal yang telah mapan. Misalnya Perang Paderi di Minangkabau.
Sekalipun demikian apakah lantas “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” musnah digantikan “Islam Arab”? Nyatanya tidak, justru yang kemudian terjadi ekspresi keberislaman yang dibawa para dai tersebut -yang pada zamannya dianggap asing- diserap oleh masyarakat dan ikut mewarnai serta membentuk apa yang hari ini diterima sebagai “Islam Indonesia”. Toh bukankah budaya itu cair dan dinamis?
Apa yang hari ini dianggap budaya asing bisa saja beberapa puluh tahun kemudian diterima sebagai “budaya asli”. Dengan demikian maka hari ini pun kita tidak perlu alergi dengan ekspresi keberislaman kaum “Islam trans-nasional” yang terkesan “kearab-araban”. Mengapa kita tidak memandang ekspresi itu secara positif sebagai sesuatu yang bisa memperkaya “Islam Indonesia”?
Cara Pandang Dualis-Dikotomis
Dari catatan kritis atas wacana “Islam Indonesia” dan “Islam Nusantara” akan terlihat bahwa stereotipisasi tersebut berpangkal pada asumsi yang dibangun di atas cara pandang dualis-dikotomis.
Esoterisme dipisahkan dan dipertentangkan dengan eksoterisme, “Islam lemah-lembut” dipisahkan dan dipertentangkan dengan “Islam keras”, “Islam Indonesia” dipisahkan dan dipertentangkan dengan “Islam Arab”, “pribumisasi Islam” dipisahkan dan dipertentangkan dengan Islamisasi, dan seterusnya.
Cara pandang dualis-dikotomis dan saling bertentangan satu sama lain ini berasal dari tradisi peradaban Barat ini berbeda dengan cara pandang tauhid yang bersifat integralistis.
Dalam cara pandang tauhid apa yang oleh persepsi manusia dianggap sebagai dua hal yang terpisah dan saling bertentangan sesungguhnya tak terpisahkan satu sama lain, yang satu adalah penyempurna yang lain, selama keduanya diletakkan di bawah terang wahyu Allah. Dengan demikian maka esoterisme (hakikat) tidak terpisah dan tidak perlu dipertentangkan dengan eksoterisme (syariat), begitu pula sebaliknya, bahkan keduanya saling melengkapi satu sama lain sebagaimana dikatakan dalam sebuah ungkapan “barangsiapa mengamalkan syariat tanpa hakikat maka ia fasik, barangsiapa mengamalkan hakikat tanpa syariat maka ia zindik”.
Kelemah-lembutan juga tidak perlu dipertentangkan dengan kekerasan. Kita memang sering merasa tidak nyaman ketika Islam diidentikkan dengan kekerasan namun Islam pun bukan agama damai mutlak. Ada saat-saat dan ranah tertentu yang di situ kaum Muslimin harus mengedepankan sikap lemah-lembut namun ada pula saat-saat dan ranah tertentu yang di situ kaum Muslimin harus bersikap tegas dan keras.
Alhasil, wacana “Islam Indonesia” ala para akademisi, birokrat, politisi dan tokoh ormas Islam itu lebih bersifat politis ketimbang sebuah usaha intelektual yang jujur.
Ketika ilmu sudah diperalat untuk kepentingan politik dan dibangun di atas landasan yang keliru, maka rusaklah ilmu dan mereka yang merusak ilmu hendaknya sadar akan dosa yang mereka perbuat.Wallahu a’lam.*
Penulis sedang mengambil S2 bidang sejarah di UGM