Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Hidayatullah.com | SUDAH menjadi fitrah manusia, kebutuhan akan seks (jinsiyyah) itu merupakan naluri yang telah Allah ‘azza wa jalla anugerahkan. Sama halnya dengan kecintaan manusia terhadap wanita secara umum, anak yang dibanggakan, kekayaan yang dimiliki (termasuk kekuasaan). Al-Qur’an mengisyaratkan dalam firmanNya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS: Âlu ‘Imrân/ 3: 14)
Rasa ingin memiliki, menumpahkan dan melampiaskan kehendak merupakan unsur jiwa (an-nafs) yang ada pada setiap manusia, juga hewan. Basic instinct yang ada pada keduanya itu, sebahagian menyebut dengan fithrah insâniyyah untuk manusia dan gharîzah hayawâniyyah untuk hewan. Namun, keduanya sering disebut juga dalam terminologi ulama sebagai nafsul bahâim, yakni nafsu hewani seperti yang dipopulerkan Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ ‘Ulûmid Dîn.
Ada perbedaan yang sangat kentara di antara keduanya, manusia dianugerahkan oleh Dzat yang Maha pencipta berupa akal (al-‘aql), di mana fungsinya sebagai “pengendali” atau ibarat “rem” dalam kendaraan. Dan ini sesuai dengan hakikat makna dan fungsi akal sebagaimana dijelaskan para ulama, di antaranya:
والعقل هو ضبط ما وصل إلى القلب و إمساكه حتى لا يتفلت منه. ومنه عقل البعير والدابة والعقال لما يعقل به. و عقل الإنسان يسمى عقلا لأنه يعقله عن اتباع الغي والهلاك، ولهذا يسمى حجراء، لأنه يمنع صاحبه كما يمنع الحجر ما حواء
“Akal adalah pengendali sesuatu yang masuk ke dalam hati, yang memegang dan menahannya agar tidak lepas. Karena itulah tali yang dipakai untuk mengikat hewan atau unta disebut ‘uqâl dikarenakan mengikat hewan tersebut agar tidak bisa lari. Karena itu, akal manusia disebut ‘aql disebabkan mengikat dan menahan manusia agar tidak menuruti kemauannya meniti jalan kesesatan dan kebinasaan. Ada juga yang menyebutnya benteng, karena ia membentengi manusia sebagaimana benteng yang melindungi segala sesuatu yang ada di dalamnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Miftâhu Dâris Sa’âdah, hlm. 159).
Hadirnya akal merupakan jawaban, karena dalam jiwa manusia memiliki potensi berbuat durhaka (fujûr) dan sekaligus berbuat takwa (taqwâ). Namun demikian, lagi-lagi Allah yang menjadikan jiwa tersebut memberikan rambu-rambunya, bahwa kebahagiaan itu berpihak pada siapa saja yang berhasil mensucikan diri dari kedurhakaan yang tercela. Qad aflaha man zakkâhâ wa qad khâba man dassâhâ; “Sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. Karena kehendak fujur laksana gas yang sulit dikendalikan, maka adanya rem itu mutlak dibutuhkan.
Menyoal persoalan sexual consent (kesepakatan seksual) yang akhir-akhir ini ramai dibincangkan media, setelah diangkat kaum SePILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme), sebagai bagian pendekatan dalam mengantisipasi kekerasan atau pun kejahatan seksual, hendaknya dipertimbangkan secara matang. Mengingat pendekatan tersebut sangat bertabrakan, bahkan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini diajarkan dalam kehidupan pengajaran dan pendidikan yang menjunjung tinggi moral religius.
Pendekatan pengajaran seks yang bersandar pada “persetujuan” atau “suka sama suka” yang diturunkan dari Comprehensive Sexuality Education (CSE) tidak perlu diambil mentah-mentah. Para pemangku kebijakan hendaknya “mengunyah” dengan baik, menimbang kembali dengan timbangan ke-Indonesiaan yang mendahulukan cita rasa sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai falsafah negara.
Pendidikan seks komprehensif, yang merupakan metode pengajaran pendidikan seks berdasarkan pada kurikulum yang bertujuan untuk memberikan siswa pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai untuk membuat pilihan yang tepat dan sehat dalam kehidupan seksual mereka. Metode ini sangat rentan bias tafsir, ketika tidak dikawal oleh nilai-nilai agama yang sudah aksiomatik, yakni tidak perlu lagi penjabaran panjang lebar.
Artinya, aktivitas seksual merupakan persoalan yang sangat membutuhkan penjagaan “pintu tertutup” dan bukan persoalan “jendela kamar terbuka” yang diumbar. Karenanya, agama menyebutnya dengan kosa kata aurat (عورة). Artinya “sesuatu yang malu apabila terlihat atau terbuka”.
Pandangan ini merupakan sesuatu yang sudah lazim dalam definisi para ahli kamus dan fuqaha yang mu’tabar, di antaranya Imam Al-Munâwi dalam Faidhul Qadîr yang menyebutkan:
والعورة سوأة الإنسان وكل ما يستحى منه؟ كنى بها عن وجوب الاستتار في حقها
“Aurat itu adalah terbukanya organ badan seseorang dan setiap yang mendatangkan malu (apabila terbuka). Karenanya ia memiliki kewajiban untuk menutupnya.”
Demikian juga, pemilik kitab Ash-Shihâh menuturkan:
والعورة كل خلل يتخوف منه، وقال القاضي: العورة كل ما يستحى من إظهاره، وأصلها من العار، وهو المذمة.
“Dan aurat itu adalah setiap cela yang dikhawatirkan untuk diketahui. Sebagaimana Al-Qâdhi mengatakan: Aurat adalah sesuatu yang membuat malu apabila diperlihatkan, kata asalnya al-‘âru yang mengandung arti malu apabila dipublikasikan.”
Islam dan masalah Privat
Islam sebagai agama yang paripurna, telah mengajarkan wilayah-wilayah mana yang bersifat privacy dan mana yang boleh menjadi konsumsi publik. Karenanya, mempublikasikan dengan sengaja dalam perkara yang semestinya dijaga dihukumkan sebagai perbuatan dosa yang bisa mendatangkan murkanya Dzat yang Maha kuasa.
Terlebih dalam persoalan mengumbar nafsu seksual, yang dalam bahasa agama disebut zinâ. Rasûlullâh ﷺ mengingatkan:
لم تظهر الفاحشة في قوم قطُّ حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن في أسلافهم الذين مضوا
” … Tidaklah perbuatan fakhsya’ merajalela (tindak kriminal, prostitusi, perjudian, minum khamer, dll.) dilakukan secara terang-terangan, melainkan Allah kirimkan penyakit yang tidak pernah terjadi pada ummat-ummat sebelumnya …” (HR. Ibnu Mâjah, bab ‘Uqûbât no. 4019 dari shahabat ‘Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anh).
Lahirnya berbagai panduan dan adab Islami; adab berpakaian, adab mandi (termasuk mandi janabat), dan bahkan adab bergaul suami istri (adâbuz zafâf) ditampilkan oleh para ulama fiqih dengan narasi-narasi yang sangat menghormati kepatutan dan kesopanan tinggi dalam kitab-kitab mereka.
Sungguh sangat jelas, bukan hanya logis dalam pandangan akal semata, di mana agama membimbing ummat manusia dengan ragam ajarannya; mulai menjaga pandangan, menutup aurat, tidak melakukan sikap peniruan jenis dan hal-hal terlarang lainnya. Melainkan agama membimbingnya hingga anak cucu Adam-Hawa ini bertemu dalam “segara kehidupan” yang di dalamnya bersenyawa ikatan lahir dan batin sekaligus. Mulai dari bimbingan mencari calon pasangan, lamaran (khitbah) hingga puncak perjanjian yang kokoh (mîtsâqan ghalîzhan).
Itulah kata kunci yang menjadi lisensi yang dapat menghalalkan segala hasrat yang diinginkan (tentu dengan adabnya), terutama yang menyangkut hubungan biologis manusia. Jadi, dalam Islam urusan pernikahan bukan hanya sebuah “kesepakatan seksual” melainkan berbagai kesepakatan dan kesepahaman lainnya dengan melibatkan banyak manusia dan aturan langit yang wajib dipatuhi (ada kedua calon mempelai, ada wali, ada saksi dan mahar). Itu semua ditempuh, dalam rangka kemashlatan manusia, baik untuk kehidupan dunia, juga akhirat kelak.
Demikianlah sejatinya syari’at Islam ditegakkan, tidak lepas dari tujuannya, yaitu maqâshidus syarî’ah yang meliputi; menjaga agama, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan, dan menjaga harta kekayaan.
Jadi benar, dalam perkara “penghalalan” dua mahkota pria dan wanita dengan seluruh anugerah yang dimiliki keduanya (organ seksual, kejiwaan, dll.) bukanlah sesuatu barang yang “hampa nilai”, akan tetapi sesuatu yang harus ditebus dengan penuh amanah dan semangat taqarruban ilallâh, karena memang keduanya bukan sedang melakukan “kontrak sosial”, melainkan sedang beribadah menuju ridhaNya. Bukankah Rasûlullâh ﷺ menasihatkan dalam sabdanya:
اتَّقُوا اللَّهَ في النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّه
“Bertakwalah kalian pada Allah tentang para wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan semangat menjaga amanah Allah, juga menjadikan kehormatan mereka menjadi halal dikarenakan kalimat Allah.” (HR. Muslim, no. 1218 dari shahabat Jâbir radhiyallâhu ‘anh).
Semoga Allah ‘azza wa jalla memelihara ummat ini dari berbagai penyimpangan, serta diberikan kekuatan untuk terhindar dari dahsyatnya gelombang hawa nafsu yang menghancurkan. Sumiyal hawâ hawan liannahu yahwî shâhibahu ilan nâr; Dikatakan hawa nafsu itu “hawan”, karena memang sifatnya menggiring pelakunya menuju nerakanya Allah yang membinasakan. Demikian Imam As-Sya’bi menasihatkan.
Maka tidak ada jalan lain bagi ummat kita hari ini; apa pun bentuk kemungkaran yang bisa meruntuhkan tatanan langit dan bumi, termasuk sexual consent dengan segala dampak buruknya wajib ditolak dan ummat dikembalikan kepada pengajaran fiqih dan worldview yang benar dalam menghiasi kehidupannya.*
Penulis Ketua Prodi KPI-STAI PERSIS Jakarta. Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK-MUI Pusat dan Ketua Lembaga Pusat Kajian Dewan Da’wah