Oleh: Fiqih Risala
MEMBACA sekilas buku “Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qurʾan Terhadap Agama Lain” yang diterbitkan baru-baru ini dengan penulisnya Munʿim Sirry, terutama pada bagian belakang uraian ringkasnya (blurb), pembaca secara sadar maupun tidak pada akhirnya akan digiring kepada suatu pergolakan pemikiran mengenai persoalan kebenaran tentang al-Qurʾan sebagai muʿjizat sepanjang zaman. Dengan pendekatan hermeneutika yang “mengunci” suatu subjek pembahasan pada tataran historitasnya saja, karya-karya seperti ini memposisikan al-Qurʾan seperti layaknya kitab-kitab “suci” agama lain yang tidak bisa lepas dari “penafsiran-penafsiran baru”, namun pada hakikatnya malah menjauhkan al-Qurʾan dari esensi dan peran yang sebenarnya.
Tidak ada yang salah memang dalam memberikan makna atau tafsiran baru dalam konteks kekinian selama ia masih dalam kerangka niat dan cara yang sesuai dengan karakteristik al-Qurʾan itu sendiri sebagai wahyu yang berbeda dengan “kitab-kitab suci” lain. Penegasan al-Qurʾan sebagai kitab suci yang tidak ada keraguan di dalamnya (Lā rayba fīhi) merupakan suatu prinsip utama sebagai panduan dalam penafsiran ayat-ayatnya.
Jika suatu penafsiran itu diniatkan untuk, sebaliknya, memberikan keraguan terhadapnya, maka ini telah melanggar prinsip utama berkenaan tentangnya meskipun dikemas secara halus dan akademik. Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin menguraikan sedikit tentang dimensi kemuʿjizatan al-Qurʾan dari segi bahasa dan maknanya yang terus-menerus coba “diutak-atik” dengan segala macam pendekatan bahkan oleh kalangan Muslim sendiri.
Selama ini mungkin kita memahami muʿjizat hanya sebatas sebagai karunia Allah Subhanahu Wata’ala yang diberikan kepada para nabi-Nya sebagai tanda kenabian mereka. Malangnya, kita terima ini seperti apa adanya tanpa ditindak lanjuti dengan pemahaman yang lebih mendalam supaya keyakinan kita semakin kokoh dan tidak mudah terombang-ambing dengan adanya pernyataan-pernyataan yang sebenarnya beracun.
Ini terbukti, dengan semakin maraknya diskursus filsafat yang didominasi oleh filsafat barat, muncul-lah pertanyaan-pertanyaan mengenai kerelevansian al-Qur’an sebagai muʿjizat pada zaman yang serba berteknologi ini. Apakah al-Qur’an bisa bersaing atau mengalahkan teknologi, kalau ia tetap diyakini sebagai muʿjizat sepanjang zaman? Kan sekarang sudah bukan zamannya sastra, sedangkan menurut kalangan Orientalis serta para pendukungnya al-Qur’an hanya sekedar sebuah teks agama dengan kelebihan sastra di dalamnya yang tidak terlepas dari kekangan masa dan konteks zaman.
Ungkapan-ungkapan dari pertanyaan di ataslah yang menurut hemat saya merupakan salah satu inti permasalahan kenapa banyak kalangan cendekiawan Muslim terjebak dalam pendekatan hermeneutik untuk diterapkan dalam studi Islam. Bermaksud ingin memajukan kondisi umat Islam, namun yang ada malah merusak sistem pondasi keimanan dan Islam itu sendiri.
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan ini, meskipun secara ringkas, kita harus kembali memahami apa yang dimaksud dengan muʿjizat. Dalam bahasa Arab ia berasal dari akar kata ع-ج-ز yang berarti melemahkan atau membuat sesuatu menjadi lemah (tunduk) akan keberadaannya. (Bisa dilihat di kamus-kamus Arab yang otoritatif seperti Tajul Arus karya Sayyid al-Zabidi dan Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur).
Sebagai contoh, ketika zaman nabi Musa a.s., yang mencirikan keunggulan pada masa itu dari peradabannya adalah ilmu sihir. Untuk menunjukkan bahwa apa yang dibawa oleh nabi Musa a.s. adalah kebenaran, maka Allah Subhanahu Wata’ala mengaruniai beliau muʿjizat dalam rangka menundukkan keangkuhan Firʿaun beserta bala tentaranya. Sedangkan nabi Muhammad hidup pada zaman di mana sastra merupakan bidang unggul yang mencirikan keagungan masa itu, sehinggalah beliau dibekali al-Qurʾan sebagai muʿjizat yang salah satunya untuk melemahkan syair-syair yang dijadikan wasilah dalam menunjukkan keluhuran akal manusia.
Dari contoh inilah kemudian timbul pernyataan sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa pada zaman ini bukan sastra yang menjadikan manusia itu unggul, namun teknologilah yang menjadi acuan keunggulan zaman modern ini. Setelah melihat ini semua, apakah al-Qurʾan kemudian tidak lagi relevan sebagai muʿjizat nabi Muhammad sepanjang zaman? Dikarenakan secara kasat mata al-Qurʾan yang notabene sebuah teks firman-firman Allah Subhanahu Wata’ala dengan kandungan sastranya bukanlah sebuah teknologi. Jadi, dalam konteks ini, bagaimana ia akan tetap berfungsi sebagai “muʿjizat”?
Perkara ini tidak bisa dibahas tanpa memahami dulu apakah sains itu dan apakah pula teknologi itu; dan hal ini juga yang nantinya membawa kepada pembahasan akan perlunya sains Islam. Selama ini ketika mendengar kata sains, apa yang ada dibenak masyarakat adalah segala yang berbau teknologi. Padahal antara keduanya ada perbedaan meskipun memiliki keterkaitan; teknologi adalah produk dari sains. Ironisnya, dari pemahaman yang demikian ketika membaca atau mendengarkan istilah sains Islam, maka yang langsung terlintas di pikiran adalah adanya pesawat Islam, handphone Islam, komputer Islam, dan lain sebagainya. Ini tidaklah mengherankan karena belum jelasnya pengertian sains itu sendiri secara ringkas, padat, dan tepat.
Seorang filosof Muslim yang sangat memahami ilmu metafisik, Syed Muhammad Naquib al-Attas telah memberikan pengertian tentang sains secara singkat namun jelas. Menurut beliau, “sains adalah makna atau definisi tentang realitas yang ada” (science is the definition of reality). Jadi di sini ruang lingkup sains tidak akan pernah terlepas dari asumsi-asumsi pikiran manusia dalam memahami alam ini, yang bersifat fisik maupun non-fisik juga. Hal ini pada akhirnya berkaitan erat dengan pandangan hidup seseorang tentang alam ini (worldview). Jika seseorang memiliki pandangan alam yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya mulai pemahamannya tentang Tuhan, utusan-utusanNya, wahyu beserta hadith dan sunah nabiNya, segala ciptaanNya, fungsi dan peran manusia di dunia ini, dan sebagainya, maka dalam aktifitas saintifiknya ia akan mempengaruhi pola fikir terhadap apa yang sedang dikaji meskipun hasil kajiaannya bisa dikatakan sama dengan mereka yang tidak sesuai.
Di sini yang jadi permasalahan utama adalah pada tataran asumsi-asumsi yang dibangun ketika dalam proses saintifiknya. Dengan kata lain hal ini berkaitan erat dengan permasalahan pemahaman serta keyakinan seseorang terhadap realitas yang ada, minimal terhadap apa yang ada di sekitarnya. Isu-isu yang marak belakangan ini dibincangkan seperti isu etika, moral, dan nilai dalam kaitannya dengan teknologi adalah sebagai contoh dampak dari kurangnya, ataupun hilangnya, pamahaman yang tepat tentang pandangan hidup Islam terhadap alam ini yang menyebabkan hampir tidak terkontrolnya keberadaan teknologi beserta perkakasnya di tengah-tengah masyarakat. Banyak contoh yang bisa disebutkan di sini, namun cukuplah kiranya kita sebutkan satu saja karena terbatasnya waktu dan tempat.
Pengeksplorasian kehidupan di planet lain adalah salah satunya. Aktifitas ini melibatkan para saintis unggul beserta teknologi yang unggul juga. Yang menjadi permasalahan utama adalah dalam aktifitas saintifik tersebut mereka sudah memiliki keyakinan yang keliru sejak permulaannya bahwa setelah hancurnya dunia (bumi) manusia masih bisa menyelamatkan kehidupannya ke planet lain atau bahkan sebelum terjadinya kiamat manusia kelak bisa berpindah ke planet lain yang sesuai untuk didiami manusia. Aktifitas seperti ini hanya sia-sia meskipun menghasilkan teknologi yang sangat super “wah”. Apakah aktifitas yang demikian diperlukan? Tidak lain dan tidak bukan, ini adalah sebenarnya permasalahan agama mengenai fungsi kehidupan ini dan ke mana kelak manusia akan melanjutkan kehidupan abadinya.
Di sinilah peran al-Qurʾan sebagai muʿjizat sepanjang zaman yang bisa merentasi dimensi apapun pada tataran kehidupan manusia. Meskipun ia berupa teks firman-firman Allah Subhanahu Wata’ala, namun ia lebih dari sekedar teknologi, yang hanya sebuah instrumen untuk memudahkan hidup manusia.
Tanpa adanya akal pikiran yang dengan gigih memikirkan dan memecahkan teka-teki fenomena-fenomena alam dan akhirnya mendorong manusia untuk melakukan eksperimen-eksperimen dengan tujuan mencari kemudahan dalam hidupnya, teknologi tidak mungkin adanya. Akal pikiran semata-mata pun tidak akan sanggup memaknai realitas dan kebenaran yang ada pada alam ini dengan tepat tanpa petunjuk Sang Pemilik alam ini melalui wahyuNya dan hadits-hadits yang bersumber padanya sebagai sumber ilmu yang valid. Memang, manusia bisa mencapai ini semua tanpa bimbingan wahyu. Tetapi hasil yang ia dapatkan akan tetap berputar-putar pada kisaran keragu-raguan yang kemudian bisa membawa kepada ketidakpuasan dan kerakusan. Sehingga makna akan kebahagiaan dalam hidup ini tidak akan pernah digapai, yang ada malah kepuasan materi yang bersifat sementara dan lupa kebahagiaan hakiki mengenal Tuhan sebenar.
Dari uraian singkat di atas, ini menunjukkan bahwa al-Qurʿan masih dan akan tetap relevan sebagai muʿjizat sepanjang zaman yang akan selalu menundukkan dan melemahkan akal manusia dari sifatnya yang liar. Manusia dengan akalnya mampu berfikir dan berimajinasi yang bermacam-macam bahkan yang tidak masuk akal pun bisa difikir dan diwujudkan dalam bentuk alat dan perkakas teknologi. Di sinilah diperlukannya sains Islam yang mampu mendefinisikan dan memberikan makna tentang realitas dan kebenaran ayat-ayat kauniyah yang ada (proses aqliyah) bersesuaian dengan apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat qauliyah al-Qurʾan (proses naqliyah).
Penulis kandidat dokor di Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS-UTM)