Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
WACANA mengenai Wahabi sepanjang abad ke-20 hingga sekarang terlihat masih merupakan wacana yang selalu hangat. Penyebabnya pasti bukan semata-mata karena keberadaan ajaran Wahabinya, melainkan karena ajaran ini berkait dengan salah satu aktor politik internasional sepanjang abad ke-20 hingga saat ini, yaitu Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
KSA memang secara ideologis menjadikan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab sebagai pegangan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Bukan hanya itu, KSA juga menjadi penyokong paling serius penyebaran ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab ini ke seluruh penjuru dunia.
Karena ideologi sudah berkelindang dengan politik dan kekuasaan, maka adalah wajar bila bersamanya juga muncul beragam fitnah yang sebagian besarnya merupakan kebohongan yang diada-adakan untuk kepentingan politik tertentu. Fitnah-fitnah itupun, walaupun sudah banyak yang diklarifikasi sejak Ibn Abdul Wahhab masih ada terus saja berlangsung hingga sekarang. Bahkan buku-buku yang berisi fitnah itupun terus direproduksi hingga saat ini. Di antara fitnah yang sering dilontarkan kepada Wahabi adalah: takfir terhadap kelompok yang tidak sepaham, melakukan pembunuhan terhadap para ulama, melarang ziarah ke kuburan Nabi, mau menghancurkan kuburan Nabi, bekerja sama dengan Inggris merebut Makkah dan Madinah dari tangan Utsmani, dan sebagainya.
Karena fitnah-fitnah ini sesungguhnya hanya reproduksi ulang sejarah hampir dua abad ke belakang, maka penting untuk mengulas kembali bagaimana tokoh-tokoh pada masa lalu menyikapi fitnah semacam ini. Salah satu yang penting dihadirkan adalah sosok Rasyid Ridha. Ia adalah ideolog bagi gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20 sepert Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Pandangannya sesungguhnya berbeda dengan pandangan Muhammad Ibn Abdul Wahab; tapi ia sering dituding sebagai Wahabi-nya Mesir. Tudingan yang sama juga sering dialamatkan kepada gerakan-gerakan modernis Indonesia seperti Muhammadiyah dan Persis.
Bagaimana sesungguhnya pendirian Rasyid Ridha dibandingkan dengan Ibn Abdul Wahab; dan bagaimana sikapnya terhadap gerakan Ibnu Abdul Wahhab sendiri? Dua pertanyaan inilah yang hendak diulas secara singkat dalam tulisan sederhana ini.
Mazhab Pemikiran Ormas-Ormas Islam Modernis Indonesia
Sudah dimaklumi bahwa isu Wahabi yang tengah ramai dibicarakan saat ini sesungguhnya bukan isu baru.
Isu ini sudah muncul sejak akhir abad ke-19. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, isu ini sampai juga ke kawasan Indonesia, yaitu pada awal abad ke-20. Pada waktu yang sama dengan ramainya isu Wahabi, berdiri pula organisasi-organisasi Islam, baik yang bercorak modernis seperti Muhammadiyah. Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis) maupun yang bercorak tradisional seperti Nahdhatul Ulama, Al-Ittihad Islamiyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Hadirnya dua kelompok yang memang memiliki latar belakang berbeda dari segi mazhab fikih dan beberapa model gerakan ini tidak ayal ikut semakin meramaikan isu tentang Wahabi di Indonesia. Dalam hal ini gerakan-gerakan modernis seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad sering disebut sebagai “representasi” Wahabi di Indonesia. Ajaran-ajaran yang dibawa ormas ini yang memang tidak sama persis dengan ajaran fikih Mazhab Syafi’i yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia menjadi salah satu pemicu kelompok-kelompok modernis ini disebut Wahabi.
Apakah ormas-ormas modernis ini memang memiliki hubungan langsung dengan gerakan Muhammad Ibn Abdul Wahab di Saudi Arabia atau dengan murid-muridnya? Inilah yang sejarah tidak bisa menjawabnya secara positif.
Ormas-ormas modernis ini memang dalam beberapa hal mengritik praktik-praktik keagamaan yang umum dilakukan oleh masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Akan tetapi, bila dihubungkan secara langsung dengan gerakan Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahab pasti tidak akan ditemukan jalurnya secara langsung. Kalaupun boleh disebut nama Ahmad Soorkati pendiri Al-Irsyad yang besar di Makkah, namun ia pun tidak secara langsung berhubungan guru-murid dengan Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab. Lalu mengapa ormas-ormas modernis ini sering disebut Wahabi? Jawaban pasti sulit didapat. Hanya dugaan bahwa gerakan-gerakan tradisionalis yang diwakili terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU) mungkin ingin menyederhanakan masalah bahwa semua pandangan yang berseberangan dengan mereka dianggap dipengaruhi oleh gerakan Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab.
Mudah-mudahan dugaan ini tidak terlalu tepat. Akan tetapi, kalau memperhatikan secara lebih detil terhadap sejarah pemikiran gerakan-gerakan modernis, memang genealoginya tidak sampai secara langsung kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab.
Gerakan-gerakan modernis ini, bila dilihat dari pengaruh pemikiran, lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Rofermis Mesir Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha.
Hampir semua sejarawan yang meneliti gerakan-gerakan pembaruan Islam awal abad ke-20 menyetujui hal ini seperti Deliar Noer, Howard Federspiel, Harry J. Benda, Alfian, Akh Minhaji, dan yang lainnya. Karakter pemikiran Reformis Mesir ini jelas berbeda dengan karakter pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, sekalipun irisannya ada.
Di antara perbedaan yang mencolok adalah isu dasar yang digagas. Ibn Abdul Wahhab dalam dakwahnya lebih banyak menggelorakan isu pentingnya purifikasi akidah Islam menuju tauhid yang sejati; membasmi syirik dan bid’ah. Gerakan ini hampir tidak tersentuh agenda politik tertentu. Mereka cenderung menyerahkan masalah politik kepada penguasa yang memberi perlindungan yang dalam hal ini diperankan oleh raja-raja keluarga Saudi. Sementara itu, isu yang diusung oleh gerakan Reformis Mesir adalah isu “Pan-Islam” atau “Persatuan Islam”.
Gagasan inilah yang dikampanyekan Jamaludin Al-Afghani ke mana-mana dan mendapat dukungan intelektual sangat serius dari kawan seperjuangannya Muhammad Abduh yang dipercaya saat itu menjadi Rektor di Universitas Al-Azhar.
Jamaluddin Al-Afghani dikenal getol berkampanye agar kaum Muslim di seluruh dunia bersatu secara politik untuk menghadapi kolonialisme yang saat itu membelenggu dunia Islam.
Sementara itu, Muhammad Abduh secara kreatif mencoba untuk mempersatukan umat Islam secara pemikiran. Ia menulis Risâlah Al-Tauhîd sebagai upaya untuk mempersatukan pandangan kaum Muslim Ahlus-Sunnah dalam masalah akidah yang saat itu tersekat oleh pandangan salaf dan khalaf. Langkahnya diikuti oleh murid dan koleganya Thohir Al-Jazairi yang menulis risalah Al-Jawahir Al-Kalamiyyah dengan misi yang kurang lebih sama, yaitu menjembatani pemahaman salaf dan khalaf dalam masalah akidah.
Muhammad Ibn Abdul Wahab sesungguhnya termasuk dalam kategori muqallid dalam masalah fikih, yaitu taqlîd terhadap Mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal. Oleh sebab itu, Wahabi termasuk dalam kategori mazhabiyah sama seperti para pengikut mazhab yang lain, baik pengikut Mazhab Syafii’i, Hanafi, maupun Maliki.
Bila di Indonesia umumnya masyarakat mengikuti Mazhab Syafi’i dan gerakan ormas tradisionalis pun mengukuhkan itu, maka karakter yang sama juga dianut oleh Ibn Abdul Wahhab, murid-muridnya, dan juga pengikut-pengikutnya. Tidak mengherankan apabila saat ini, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) yang merupakan negara pengikut setia dakwah Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab menjadikan Mazhab Imam Ahmad Ibn Hambal sebagai mazhab resmi negara.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh dan murid-muridnya sama sekali berbeda dengan Ibn Abdul Wahhab. Abduh menyerukan persatuan antar-mazhab secara pemikiran dengan menawarkan pendekatan perbandingan mazhab dan tarjih dalam masalah-masalah fikih, bukan taklid terhadap mazhab. Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Bahkan pendekatan ini menjadi pendekatan khas Universitas Al-Azhar dalam pengembangan kajian fikih.
Dalam konteks pemikiran, gerakan-gerakan pembaharuan Islam pada awal abad ke-20 satupun tidak ada yang sepenuhnya mengambil pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, baik dalam masalah akidah maupun fikih. Gerakan-gerakan ini lebih memilih pendekatan Muhammad Abdud dan Rasyid Ridha yang lebih menekankan pada “persatuan”. Hal ini terlihat dari pendekatan-pendekatan pengajaran akidah dan fikih pada organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad.
Selain itu, karya-karya tulis dalam bidang akidah dan fikih seperti yang banyak dibuat oleh A. Hassan dari Persis juga memperlihatkan pengaruh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang sangat kuat. Tidak ada satupun di antara organisasi pembaharu ini yang menyatakan diri bermazhab salaf dan berfikih Hambali. */bersambung Rasyid Ridha dan Sikapnya terhadap Wahabi
Penulis adalah peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan doktor bidang sejarah