Oleh: Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH
“Look after and protect the ulema, virtuous men, artists and literary men who are the power of the state structure. Treat them with kindness and honour. Build close relationship when you hear about a virtuous man and give wealth and grant him.. Enable them to do anything and bring them to your lands so that during your reign the number of ulema, virtuous men increase and the religious and political duties get in order and improve..” (Nasehat Osman Ghazi, pendiri Daulah Utsmaniyyah untuk putranya, Orhan Ghazi).
Dalam nasehatnya, Osman Ghazi juga berpesan pada pengganti beliau:
“Hindarilah orang-orang yang tidak memiliki antusias keagamaan dan orang-orang yang hidup seperti cara hidupnya orang-orang bodoh, serta mereka yang tidak memiliki kepakaran. Jauhilah orang-orang tersebut, dan jangan kamu serahkan urusan negara kepada mereka. Sebab orang yang tidak takut Penciptanya, pasti tidak akan disayang oleh makhluk-Nya.”
Nasehat Osman Ghazi di atas kemudian menjadi semacam GBHN Turki Utsmani, dan haluan dalam membuat kebijakan negara (firman, decree) selama lebih dari 6 abad tanpa putus. Dengan menjalin hubungan dekat dan memuliakan ulama yang memiliki kekuatan ruhiyyah, hikma pengetahuan, dan ashab al-fadhilah, maka kekuatan negara pun semakin meningkat dan segala urusan negara akan berjalan dengan baik karena keberkahan dan himmah mereka.
Baca: Simposium ‘Gaya Hidup Era Khilafah Utsmaniyah’ Diadakan
Berkat mematuhi nasehat ayahnya, Orhan (1326-1362 M) mendapatkan inspirasi membangun negara yang berkeadaban melalui dana wakaf. Sultan kedua Turki Utsmani ini dikenal sebagai sultan pertama yang menciptakan sistem pengembangan wakaf dengan mengintegrasikannya antara pertumbuhan ekonomi dan kebijakan politik. Beliau memerintahkan membangun medrese (universitas) di Iznik (Nicaea) dengan mewakafkan tanah dan aset tidak bergerak untuk mendanai biaya operasional medrese. Kemudian diikuti dengan wakaf aset lainnya yang hasil pengelolaannya untuk bermacam-macam keperluan sosial, dll. Dengan demikian lembaga-lembaga wakaf berkembang menjadi lembaga konglomerasi di Turki Utsmani yang mempunyai proyek-proyek jangka panjang maupun pendek.

Demikianlah konsep wakaf yang dijalan dalam sebuah institusi memainkan peran kunci dalam memenuhi kebutuhan dasar di hampir setiap bidang kehidupan sosial dan ekonomi. Bantuan sosial dan kerja-kerja philanthropist dalam Islam telah dilembagakan melalui sistem wakaf. Wakaf juga memiliki fungsi mengubah tabungan menjadi investasi, dimana umat Islam mendirikan “Wakaf Tunai” untuk tujuan ini (Prof. Mehmet Bulut: 2016).
Wakaf Turki Utsmani membangun negeri
Wakaf memainkan peran penting dalam membangun struktur ekonomi negara selama masa pemerintahan Turki Utsmani (± 633 tahun). Ketika negara dalam kondisi sulit, lembaga-lembaga wakaf tetap eksis menyediakan banyak layanan sosial untuk masyarakat. Misalnya: (i) pembangunan infrastruktur kota, seperti saluran air, jalan, jembatan, trotoar, dll., (ii) layanan pendidikan seperti mendirikan universitas (madrese dan darülfünun), perpustakaan, kulliye (kompleks sosial yang berpusat pada masjid dan dikelilingi lembaga pendidikan, rumah sakit, dapur umum, toko roti, pemandian, dan berbagai layanan sosial lainnya), dll., (iii) layanan kesehatan, (iv) sarana keagamaan seperti masjid, musalla, pondok, dll., (v) sarana perdagangan dan ekonomi seperti han (penginapan untuk pelancong atau pedagang), karavan (penginapan di jalur perdagangan), bazaar, dll. Semua fasilitas publik tersebut dapat diakses secara gratis oleh siapa pun.
Pemerintah Utsmani berhasil mengelola lembaga-lembaga wakaf yang berdiri di berbagai penjuru wilayah Utsmani secara maksimal untuk mewujudkan segala bentuk amal sosial di semua lini kehidupan. Sebagai contoh wakaf pasar Kozahan yang hasil pengelolaannya digunakan untuk mendanai operasional masjid Ulucamii Bursa (1399 M). Bahkan ada hasil unit usaha wakaf yang fokus menyediakan pelayanan perlengkapan malam pertama bagi pengantin baru, mainan anak-anak, hingga wakaf untuk burung, mengurus kucing dan anjing. Maka tidak berlebihan jika peneliti Barat menyatakan, “Sesungguhnya Islam telah menjadikan masyarakat Turki sebagai bangsa yang lebih terpercaya di muka bumi”. (Harits al-‘Abbasi: 2018)
Baca: Wakaf Membangun Peradaban Islam
Bagaimana membumikan gerakan Wakaf?
Di samping mempunyai pondasi kesadaran beragama yang tinggi, khususnya tentang wakaf dan budaya memberi, ada beberapa faktor utama keberhasilan pemerintah Utsmani mengajak masyarakatnya dalam gerakan wakaf. Diantara faktor itu antara lain:
Pertama, tingginya tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Kepercayaan ini tumbuh karena adanya, Dua, Sultan dan keluarga istana menjadi teladan dalam mewakafkan harta mereka. Keteladanan ini kemudian diikuti sadrazam (perdana menteri), para pejabat tinggi, bureaucrats, dan masyarakat umum.
Ketiga, konsistensi Sultan menjalankan pemerintahan yang adil juga mempertinggi kepercayaan rakyat. Sultan tidak segan-segan menghukum pejabat negara yang berkhianat, zalim dan korup, baik dengan pemecatan, penjara hingga hukuman mati.
Bahkan Sultan Suleiman yang merupakan sultan terkuat Daulah Utsmaniyyah harus tunduk pada fatwa şeyhülislam Ebussuud Efendi untuk menghukum mati putra beliau, Şehzade Mustafa, karena terlibat tindak khianat dan merugikan negara. (Prof. Ahmed Akgunduz: 2011).
Keempat, pengelolaan harta wakaf yang mutqin (profesional) dan diawasi langsung oleh nazir, sehingga manfaat wakaf terus berkembang dan bertahan selama mungkin. Kelima, jaminan negara atas keamanan aset yang diwakafkan. Ini bisa dilihat dari dokumentasi akta wakaf yang terjaga selama berabad-abad di berbagai kantor mahkamah Daulah Utsmaniyyah. Manuskrip tentang akta wakaf Masjid Ayasofya (Haqia Sofya), Masjid Fatih, darüzziyafe (hotel) dan imaret (public soup kitchen) Sultan Suleiman, dan berbagai wakaf lintas masa pemerintahan Turki Utsmani di kawasan Yunani, Makedonia, Edirne, Tekirdağ, Kırklareli, Ciprus dan wilayah lainnya hingga kini tersimpan rapi.
Baca: Rumah Sakit Pertama di Dunia Islam Mendahului Barat
Termasuk wakaf tunai di provinsi Balkan dan Rumelia dari awal abad XVI sampai dekade pertama abad XX yang saat itu masih wilayah Turki Utsmani tersimpan di Direktorat Jenderal Wakaf Turki. Dalam akta wakaf tersebut diinformasikan secara spesifik nama pewakaf, nazir, jenis aset, bidang yang dituju, honor pengelola, dll.

Kelima, faktor kesakralan harta wakaf. Istilah “wakaf” bagi Muslim Turki adalah sakral, dan tidak mungkin diganti dengan nama lainnya. Pada tahun 1926, rezim republik sekular Turki pernah mengganti nama wakaf dengan nama “Ta’sis”. Pengubahan nama “wakaf” selama 41 tahun (1926-1967) berdampak pada merosotnya minat masyarakat beramal (vakıf). Akhirnya nama wakaf dikembalikan dalam UU sipil pada 13 Juli 1967.
Pengembalian nama wakaf ini langsung menarik masyarakat kembali berwakaf. Setidaknya dalam rentang waktu 10 tahun sejak dikembalikannya nama “Wakaf” (1967-1977) jumlah pewakaf jauh melampaui periode nama “Ta’sis” selama 41 tahun.
Ini dimaklumi karena Muslim Turki tidak mau mengorbankan hartanya hanya untuk negara tanpa landasan agama. Bahkan banyak kalangan Barat mengamati dengan penuh heran bahwa ternyata kaum Muslimin Turki mau menjadikan nyawa mereka sebagai tebusan dalam menjaga aset wakaf jika ada yang mau merampasnya.
Namun pembelaan mati-matian ini justru tidak terjadi jika ada yang mau merampas harta milik pribadi mereka. Oleh karena itu, mereka selalu mendokumentasikan aset wakaf secara tertulis dan membentenginya. (Ahmet Akgünduz: 2014).
Baca: Peradaban Islam dan Pelayanan Kesehatan
Penutup
Selama lebih dari 6 abad, wakaf terbukti berperan besar dalam membangun negara, mengembangkan peradaban, menaikkan taraf kesejahteraan sosial dan standard of living di masyarakat Utsmani. Di masa Daulah Utsmaniyyah, lembaga-lembaga wakaf mendirikan pusat-pusat perniagaan, supermarket, dan unit-unit usaha perekonomian untuk mendanai bermacam-macam amal usaha yang menjadi spesifikasi setiap lembaga wakaf.
Dengan pengelolaan aset-aset wakaf produktif yang rapi, terpercaya dan disiplin, lembaga-lembaga wakaf ini mampu membangun berbagai bentuk amal sosial. Lembaga-lembaga wakaf Turki Utsmani juga berkonstribusi dalam mengembangkan seni kaligrafi, dekorasi, seni melapisi dengan emas (gilding), seni melukis di atas air (paper marbling), seni menjilid, folklore, dll sehingga khazanah kesenian berkembang pesat.
Singkatnya, lembaga-lembaga wakaf tidak menyisakan satu pun jenis amal sosial melainkan menjadi lahan garapannya; dan tidak meninggalkan satu pun daerah dalam wilayah Daulah Utsmaniyyah kecuali lembaga wakaf telah masuk kedalamnya dan memberikan pelayanan amal sosialnya. Bahkan hingga di masa-masa krisis di internal negeri Utsmani maupun krisis internasional dan kawasan di sekitarnya, layanan lembaga wakaf tetap berjalan.
Keberhasilan gerakan wakaf di Turki Utsmani, utamanya disebabkan membangun jiwa masyarakatnya mendahului pembangunan badan empirisnya. Istanbul, winter 2021.*
Peneliti INSISTS di bidang Kontribusi Turki Utsmani membangun pemikiran dan peradaban Islam