Oleh: Ahmad Kholili Hasib
KETIKA kalimat adab disebut, yang terlintas dalam kebanyakan benak kita adalah kesopanan, etika atau akhlak. Sejumlah buku menerjemahkan adab dengan kesopanan. Singkatnya, kebanyakan memahami adab sebagai tindak-tanduk atau perilaku yang baik.
Jika ditelaah, adab memiliki kedudukan sangat istimewa, penting dan strategis dalam agama Islam. Ia bukan sekedar perilaku dzahir (a’malul jawarih), tetapi juga aktivitas jiwa dan akal. Ketika membincangkan problema terbesar umat Islam di zaman modern, Prof. Syed Naquib al-Attas misalnya, menunjuk pada kalimat the loss of adab. Krisis yang dialami umat Islam sangat kompleks dan beragam, tetapi beliau menyebut akarnya ada di loss of adab.
Bahkan, beberapa kalam para ulama terdahulu menunjukkan sikap mendahulukan adab daripada ilmu. Di antara sedikit beberapa contohnya adalah; Abdurrahman bin al-Qosim (ahli fikih madzhab Maliki dari Mesir yang disebut-sebut murid utama bahkan pewaris ilmu fikih Imam Malik) mengatakan: “Aku berkhidmat kepada imam Malik radhiallahu ‘anhu selama dua puluh tahun. Selama itu, dua tahun aku belajar ilmu, dan delapan belas tahun belajar adab. Seandainya aku jadikan semua rentang waktu tersebut untuk belajar adab”. Sebagian ulama menasihati anaknya: “Wahai anakku, belajar satu bab adab itu sesungguhnya lebih aku sukai daripada kamu belajar tujuh puluh bab ilmu”. Imam Malik pernah menasihati imam Syafi’i radhiallahu ‘anhuma: “Wahai Muhammad (Muhammad bin Idris As-Syafii), jadikanlah ilmu kamu sebagai garam dan adab mu sebagai tepung”.
Karena itu, kemungkinan para ulama menulis bab-bab tentang adab yang ditujukan oleh para penuntut ilmu, pelajar, dan al-murid (penganut jalan tariqah sufiyah) dengan landasan pemikiran pentingnya adab dalam agama. Misalnya, ada kitab yang sangat masyhur “Ta’lim al-Muta’allim Thoriq al-Ta’lim” karya imam al-Zarnuji. Imam al-Bukhari menulis suatu kumpulan hadis bernama “Adabul Mufrad”.
Ibnu Muqaffa’ menulis kitab “al-Adab as-Shaghir” dan “al-Adab al-Kabir”, yang disebut Rosailu al-Bulagho’. Imam al-Ghazali memiliki risalah kecil berjudul “Kitabul Adab” yang dimasukkan dalam kitab beliau “Roudhotut Thoalibin wa ‘Umdatus Salikin”.
Ibnul Jama’ah memiliki karya “Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al’Alim wa al-Muta’allim”. Dan dari Nusantara KH. Hasyim Asy’ari menulis kitab yang judulnya mirip dengan judul kitab Ibnul Jama’ah. Judul kitab adabMbah Hasyim adalah “Adabul ‘Alim wal Muta’allim”.
Lalu apa pentingnya adab, sehingga para ulama salaf dahulu menaruh perhatian terhadap adab ini? Untuk memahami ini, kita mulai dari kisah sahabat yang ditulis dalam hadis Imam Muslim, berikut ini.
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi ia menyakiti tetangga-tetangga dengan mulutnya.”. Maka berkatalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia termasuk ahli Neraka.”
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau Si Fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sungguh ia termasuk ahli Surga.” (HR.Muslim).
Ada satu pelajaran penting dari hadis di atas. Banyaknya ibadah tetapi adabnya rusak tidak membawa manfaat apa pun. Amalnya tidak bisa menyelamatkan dirinya, karena jiwanya buruk. Sebaliknya, jiwa yang bersih meski amalnya sedikit bisa menyelamatkan dirinya.
Begitu pula, orang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut muslim yang baik. Adab di sini disandingkan dengan makna akhlak. Oleh para ulama disebut adab dzahir.
Begitu juga berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat buruk kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid.
Salah satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab sendiri adalah mengetahui sesuatu pada tempatnya. Pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Adab kepada-Nya dengan percaya dan beribadah. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti diberikan kepada mereka.
Atas hal ini, adab berkaitan dengan iman. Imam al-Ghazali menulis rumusan sangat penting tentang adab ini. Bahwa ada korelasi kuat antara; tauhid, iman, syariat dan adab. Ia mengatakan: “Tauhid seseorang menuntut adanya keimanan. Dan keimanan itu menuntut pengamalan syariah. Seseorang yang tidak berpegang pada syariah maka sesungguhnya ia tidak memiliki keimanan (sempurna) dan ketauhidan (sempurna). Sementara syariah menuntut adanya adab.
Barangsiapa yang tidak beradab maka sesungguhnya ia tidak mengamalkan syariah (dengan sempurna), tidak berimana (dengan sempurna) dan tauhidnya (tidak sempurna). Meninggalkan adab berarti tertolak oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Maka barang siapa yang adabnya buruk, maka ia tertolak dari pintuk kebenaran” (Imam al-Ghazali, Roudhotu al-Tholibin wa ‘Umdatus Salikin, hal. 11).
Rumusan kalimat tersebut diperjelas oleh Imam al-Ghazali bahwa yang ia maksud adab di situ adalah adab dzahir dan adab batin. Jika seseorang itu terlatih adab dzahir dan batinnya, maka ia menjadi seorang sufi yang beradab (sufiy adiib). Ia mengatakan: “Jika jiwa seseorang dilatih dengan adab sunnah (mengamalkan ajaran Allah) maka Allah Subhanahu Wata’ala akan memberi cahaya dalam hatinya dengan cahaya ma’rifah (nurul ma’rifah) (Imam al-Ghazali, Roudhotu al-Tholibin wa ‘Umdatus Salikin, hal. 10). Adab sunnah merupakan adab dzahir. Yakni melaksanakan kewajiban syariah dan anjuran-anjurannya. Yakni mengikuti perintah-perintah Nabi Muhammad, perbuatan-perbuatannya, akhlaknya, dan lain-lain. Seorang hamba bisa wushul (sampai) kepada Allah Subhanahu Wata’ala melalui praktik adab.
Sedangkan adab batin adalah penjagaan terhadap hati dari liarnya hawa nafsu. Karena sumber kesesatan akidah sumbernya dari kotornya hati dengan penyakit-penyakit hati (amradhul qulub).
Baca: 18 Tahun Belajar Adab
Imam al-Ghazali mengatakan: “Penyimpangan dari akidah yang benar itu disebabkan: Hati yang dikuasai oleh hawa nafsu dan fanatik kepada pemikiran ahli bid’ah”. Ciri hati yang dikuasai oleh hawa nafsu ada tiga: cinta kedududukan (hubbul jah), cinta dunia dan cinta harta. Jadi, tiga trilogi cinta inilah yang menjadi racun yang mematikan akidah seorang Muslim.a
Terkait hal itu, Ibnul Mubarak pernah mengatakan: “Barang siapa yang meremehkan adab maka dihukum dengan terhalang mengamalkan sunnah. Barang siapa meremehkan sunnah, akan dihukum terhalang melaksanakan kewajiban. Dan barang siapa meremehkan kewajiban, maka dihukum terhalang dari ma’rifah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.” (Sayid Zein bin Smith, al-Manhaj al-Sawiy,hal.197).
Dari uraian singat di atas, paling tidak bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa memang kunci kebaikan itu ada dalam adab. Dan ternyata adab yang paling urgen adalah adab batin. Bagaimana mengenali hati dan jiwa kita, supaya hati dan jiwa berada pada posisinya yang “sehat”.
Seseorang yang kecenderungan hatinya kepada cinta kedudukan, cinta harta dan cinta dunia adalah hati yang tidak beradab. Mestinya dunia itu diletakkan di tangan bukan di hatinya. Cukup logis apa yang dikatakan imam al-Ghazali di atas, kecintaan pada tiga hal ini menjadi sebab penyimpangan dari akidah yang benar. Makanya, imam al-Ghazali memulai Kitab Bidayatul Hidayah dengan nasihat supaya niat mencari ilmu benar, sebab jika niatnya dunia maka sama dengan merobohkan agama.
Jika sesuatu itu bersemayam tidak pada posisinya, maka bisa terjadi kerusakan yang disebut bi-adab (tidak beradab). Jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kedzaliman, kebodohan, dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia dikatakan dzalim, jika meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.*
Penulis adalah Dosen IAI Darullughah Wadda’wah Bangil