Oleh: Muhammad Faishal Fadhli
SELAIN mempopulerkan jargon “Akal Sehat”, RG juga sering menggunakan kalimat “dungu.” Beberapa orang mengugatnya karena dianggap tidak sopan. Padahal yang dimaksud, “Dungu itu bukan orangnya. Tapi cara berpikirnya.”
Jika ada akal sehat, berarti ada lawannya, yaitu akal yang tidak sehat. Dan “dungu” adalah sebutan untuk akal yang tidak sehat itu. Namun, demi mengindahkan kearifan lokal dan menjaga etika dalam bertutur kata, karena frasa “dungu” terlanjur dinilai negatif, penulis menggantinya dengan istilah “akal rancu.”
Pada tulisan sebelumnya, sempat disinggung bahwa akal sehat dalam Islam adalah logika atau pikiran yang sesuai dengan wahyu. Pemahaman terbaliknya, produk pikiran yang mencoba menentang wahyu adalah akal yang rancu. Jelas, akal adalah anugerah dari Tuhan, dari Allah. Wahyu pun begitu. Kalam ilahi yang diturunkan kepada nabi untuk disampaikan kepada umatnya. Dua hal ini, naql dan ‘aql, wahyu dan ra’yu, tidak mungkin bertentangan.
Manusia akan selamat dunia akhirat jika menjalankan wahyu dan ra’yu secara bersamaan. Sebaliknya, jika ada yang membenturkan antara keduanya, maka yang terjadi adalah kehancuran.
Allah ‘Azza wa Jalla, memerintahkan Nabi Nuh ‘alaihis salam untuk membuat bahtera. Ketika datang banjir bandang, beliau menaiki bahtera tersebut. That’s logic. Secara, seorang manusia harus berusaha untuk menyelematkan diri ketika terjadi bencana. Ini contoh menjalankan wahyu dan ra’yu secara bersamaan.
Tapi apa yang ditempuh anaknya ketika itu? Mungkin dia kira kapal itu ringkih. Dia lebih memilih puncak gunung sebagai tempat berlindung. Masuk akal tidak? Memang masuk akal. Karena ketika banjir terjadi, nalar dan naluri seseorang, akan menuntunnya untuk berlari ke tempat yang lebih tinggi. Tapi, selamatkah ia? Nyatanya tidak.
Dari kisah di atas, dapat dipetik hikmah bahwa tidak selamanya ide atau gagasan yang masuk akal membawa pada keselamatan. Jika ra’yu menyelisihi wahyu, endingnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Cara yang ditempuh Nabi Nuh dan anaknya sama-sama masuk akal. Tapi Nabi Nuh selamat karena ia mentaati Allah, sementara anaknya yang membangkang, binasa karena bermaksiat kepada-Nya.
Pembicaraan tentang akal sehat, bukanlah suatu hal yang buruk selama kita membahasnya dengan niat mensyukuri karunia Allah berupa kemampuan untuk berpikir. Ada banyak sekali ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendorong kita untuk mengaktifkan akal sehat. Merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya. Dari situlah kemudian kita dituntun untuk bertasbih; mensucikan-Nya, bertakbir; mengagungkan-Nya. Semakin sering kita berpikir, maka akan semakin banyak kita berdzikir.
Dalam surat al-Baqarah 269, disebutkan bahwa hanya Ulul Albab; para penggguna akal sehat-lah yang mampu mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah. Ya, jika Anda selalu update, mengikuti video-video RG, dalam salah satu kesempatan, ia pernah mengutip ayat tersebut. Dan tentu saja ketika mendengar kabar bahwa orang seperti dia menganut Atheisme, kita semua menyayangkannya.
Di antara indikasi bahwa RG adalah seorang Atheis yaitu pernyatannya yang seringkali menggunakan diksi “alam memberi kita” seperti pernyataannya hari Selasa 29/1/19 di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One. Katanya ketika itu, “..alam semesta memfasilitasi pada sel yang rusak untuk bunuh diri..”
Bagi seorang Theis, yang meyakini adanya Tuhan, apa-apa yang ada di langit dan bumi adalah “Creation by God”, ciptaan Tuhan. Bagi sorang muslim, Dia-lah Allah Jalla wa ‘Alaa yang menciptakan dan mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan.
Begitu pula sel-sel yang ada di dalam tubuh manusia, Dia Yang Menguasai semuanya. Tapi Atheisme mengajarkan bahwa semua yang ada di dunia ini terjadi dengan sendirinya. Maka jika ada yang berkata bahwa “alam memberikan ini-itu, memfasilitasi ini-itu, mendesain struktur tubuh manusia begini dan begitu”, menunjukkan bahwa dia seorang Atheis.
Wallahu A’lam bis Showab. Terlepas benar atau tidaknya asumsi itu, perlu diketahui bersama bahwa Atheisme sebenarnya berlawanan dengan brand akal sehat yang selama ini dibawa oleh RG. Al-Qur’an menggunakan banyak metode yang merangsang akal sehat untuk berpikir bahwa jagat raya ini, diciptakan oleh Allah; Dzat Yang Maha Agung.
Metode pertama, mula-mula, al-Qur’an memberikan isyarat dengan cara yang tepat dan ungkapan yang mudah dipahami berupa pertanyaan mendasar, “Am Khuliquu min Ghairi syay’in am hum al-kaaliquun. Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?” (Q.S. Ath-Thur: 35). Sebuah prolog singkat untuk mengawali pembahasan adanya Tuhan yang menyandang nama ‘Al-Khaaliq’ Yang Maha Pencipta.
Baca: Kaum Mu’tazilah ‘Melihat’ dengan Akal, Orang Liberal menggunanakan Nafsu
Selanjutnya, metode kedua, al-Qur’an menyinggung fithroh mereka.
وَإِذَا مَسَّكُمُ الْضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلاَّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإِنْسَانُ كَفُوراً
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia selalu tidak berterima kasih.” (QS: Al-Israa’; 67).
Ayat di atas mengingatkan bahwa manusia pasti akan mengingat adanya Allah di saat-saat genting. Itu yang disebut dengan fithroh penciptaan mereka. Dalam situasi darurat, ada Tuhan yang selalu mereka ingat. Namun begitu mereka selamat dari bencana, mereka kembali melupakan Tuhan.
Meskipun ayat di atas memberi tamtsil tentang kondisi manusia yang sedang kalut di tengah laut, contoh ini bisa diperluas. Hal serupa juga bisa terjadi ketika pesawat mengalami turbulensi. Semua orang panik. Maka masing-masing penumpang menyebut nama Tuhan sesuai keyakinan mereka. Ada yang bertakbir, beristighfar, ada juga yang berteriak, “Oh my god..” dan semacamnya. Perlu dicatat baik-baik, tidak ada orang Atheis ketika itu.
Kemudian, metode ketiga, al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir dan mengaktifkan akal sehat mereka;
أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاء فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَّا كَانَ لَكُمْ أَن تُنبِتُوا شَجَرَهَا أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada Tuhan yang lain? Bahkan mereka sebenarnya adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (QS: An-Naml: 27).
Penjelasan dari ayat ini, di dalam Kitab Dar’u Ta’arudh Bayna al-‘Aqli wa an-Naqli (Menolak Adanya Kontradiksi antara ‘Aql dan Naql), tepatnya di jilid 3 halaman 265, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah Rahimahullah, menyebutkan dalil aqli tentang adanya Tuhan:
“Apa-apa yang kita saksikan di alam raya ini, segala sesuatu yang ada, dari berbagai jenis makhluk; hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, serta apa-apa yang ada di langit seperti; awan, hujan, kilat, petir dan sebagainya, semua itu bermula dari ketiadaan, dan akan kembali sirna, menjadi tidak ada, setelah sebelumnya wujud itu ada.
Kemudian, bergeraknya bintang-gemintang di angkasa, peristiwa pergantian siang dan malam, yang kita saksikan, ini semua juga merupakan kejadian yang “ada” setelah sebelumnya “tidak ada,” dan akan lenyap setelah sebelumnya menjadi fenomena alam yang disaksikan oleh manusia dengan mata kepala mereka.
Dan jika mereka semua bersaksi atas hal itu, maka kami katakan, ‘Sebagaimana diketahui, segala “sesuatu yang ada”, mengharuskan adanya “pelaku yang mengadakannya.” Dan hal ini merupakan suatu pengetahuan yang aksiomatik.’”
Uraian Ibnu Taimiyah ini merupakan salah satu contoh akal sehat dalam menjelaskan adanya Tuhan. Tapi, bagaimana jika statement ini dijadikan ‘senjata’ oleh orang-orang yang tidak beragama? Jika segala “sesuatu yang ada” mengharuskan adanya “pelaku yang mengadakannya”, jadi, siapa yang membuat Allah ada? Atau, bahasa lainnya, siapa yang menciptakan Allah? Maka jawabannya, justeru tidak sesuai dengan akal sehat jika ada yang menciptakan Khaliq. Dan pertanyaan seperti ini, tidak akan ada habisnya. “Siapa Khaliq-nya Khaliq?” “Siapa Khaliq dari Khaliq-nya Khaliq?” Begitu seterusnya.
Baca: Rocky Gerung Serukan Lawan Kebohongan Statistik dengan Akal Sehat
Maka, dalam hal ini, cara berpikir yang sesuai akal sehat adalah, “bahwa seluruh makhluq yang ada, diciptakan oleh Khaliq yang satu” dan pembahasannya selesai sampai di sini. Harus dibedakan antara “Khaliq” dan “Makhluq.” Sebab, Allah adalah Dzat Yang Maha Pencinpta. Selain Dia, semuanya adalah makhluq.
Pertanyaan “Siapa yang menciptakan Allah” bukan hanya rancu, tapi sesat dan menyesatkan karena datangnya dari setan.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Setan mendatangi kalian dan membisikkan: ‘Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu? ’sampai akhirnya dia membisikkan, ‘Siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ jika sudah demikian, segeralah minta perlindungan kepada Allah, dan berhenti (tidak memikirkannya).” (HR. Bukhari 3276 dan Muslim 134) .
Memang, pada artikel sebelumnya, penulis menyebut bahwa kita tidak perlu khawatir dengan brand ‘Akal Sehat’ yang dibawa RG Haddahullah. Sebenarnya, justeru kita bisa menggunakan brand ‘Akal Sehat’ itu untuk menolak Atheisme atau keyakinan bathil lainnya. Tentu saja akal sehat yang membantah syubhat, adalah akal sehat yang tidak setengah-setengah: kerangka berpikir yang utuh, dengan adanya bimbingan wahyu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memberi satu permisalan yang sangat menarik tentang sinergitas wahyu dan ra’yu, naql dan ‘aql. Menurutnya, wahyu itu ibarat cahaya, dan akal sehat itu seumpama mata. Jadi, keduanya adalah anugerah ilahi.. yang akan menuntun hati.. menemukan kebenaran hakiki. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq.*
Penulis adalah pengajar di Ma’had Aly Darusy Syahadah