Hidayatullah.com | SERINGKALI manusia tidak menyadari dan tidak mengetahui akan kekurangan dirinya. Merupakan nikmat Allah yang besar ketika kita dikaruniai guru dan sahabat yang mengingatkan kita akan sifat buruk yang masih melekat pada kepribadian kita. Orang beriman merupakan cermin bagi saudaranya.
Di zaman sekarang ini, langka kita dapatkan pendidik dan sahabat yang tulus dan berusaha untuk mengingatkan kekurangan kita.
Di antara cara Allah agar kita memperbaiki diri selain lewat guru dan sahabat adalah dengan pengalaman hidup. Pengalaman merupakan salah satu dari guru terbaik.
Guruku pernah bercerita tentang pengalaman hidupnya. Suatu kejadian yang akhirnya mengubah sifat buruk yang masih melekat pada dirinya. Yaitu sifat ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah ketika berselisih dengan orang lain.
Guruku tersebut banyak memiliki kebaikan dan seorang yang berjiwa ksatria, masya Allah. Semoga Allah memberikan untuknya kesehatan lahir batin dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, aamiin.
Beliau bercerita, suatu sore setelah maghrib ia mengenakan kain sarung dan baju koko membawa uang lima puluh ribu rupiah yang dimasukkan ke saku bajunya. Saku baju koko tersebut tidak dalam, beberapa kali uangnya jatuh di jalan.
Ia keluar menuju warung di seberang rumahnya. Setelah membeli sesuatu seharga delapan ribu rupiah, ia hendak membayar tapi, “Ahh kemana uangku pergi?” Ia kembali lagi ke arah rumahnya sambil mencari uangnya yang hilang. Dalam keremangan gelapnya maghrib ia mendapatkan uangnya yang jatuh. Ia segera kembali dan menyerahkan uang tersebut kepada pemilik warung.
Pemilik warung memberikan uang kembalian dua belas ribu rupiah.
“O, kurang kembaliannya! Uang saya tadi lima puluh ribu rupiah!”
Oo pemilik warung tersebut mengatakan bahwa uang yang diberikannya dua puluh ribu rupiah.
Di sini ia diuji emosinya.
Biasanya ia tidak mau mengalah dalam “kebenaran yang diyakininya”, meskipun ada kemungkinan ia yang salah. Motto dalam hidupnya, “Maju Tak Gentar!”
Bukan masalah jumlah uang yang diperselisihkan. Mungkin nilainya kecil, tapi harga diri dan teguh dalam “kebenaran” jauh lebih besar dari selisih tiga puluh ribu rupiah.
Ia di usia kepala empat (sekarang usianya enam puluh tahun lebih) masih mampu untuk bersikeras dan memaksa kepada pemilik warung untuk menambah uang kembalian yang diyakininya masih kurang. Tapi rasa malu kepada orang-orang yang sedang belanja di warung tersebut, mengurungkan emosinya.
Ia masih penasaran dan kembali lagi menyusuri jalan yang dilaluinya. Sampai depan pagar rumahnya, ia menemukan uang lima puluh ribu rupiah tergeletak di atas tanah. Alhamdulillah hilanglah rasa penasarannya, terjawablah rasa herannya, dan ia menemukan pelajaran yang sangat mahal dalam hidupnya.
Dari kejadian itu, ia sangat berhati-hati jika terjadi perbedaan pendapat tentang masalah apa pun. Termasuk perbedaan jumlah uang yang diperselisihkan. Lebih baik ia mengalah daripada ia memaksakan pendapat dan memakan hak orang lain dengan batil.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Surat An Nisa 29)
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
*.يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك
Ditulis oleh: Fariq Gasim Anuz