Moderasi beragama ditetapkan sebagai agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 oleh pemerintah, sayangnya soal penistaan agama tidak dijadikan perhatian
Oleh: Kholili Hasib*
Hidayatullah.com | MENURUT laman Wikipedia, sejak 2005 hingga akhir tahun 2021 terdapat 18 kasus penistaan agama terhadapa Islam. Hampir semua perkara ini telah ditangani oleh pengadilan, tapi luput dalam proyek moderasi beragama yang digagas pemerintah.
Tetapi yang ironi, dari kasus-kasus besar yang terjadi, penistaan itu dilakukan oknum terhadap agama Islam, agama mayoritas di negeri ini. Kesan yang paling mudah ditangkap adalah penghargaan terhadap perbedaan sebagian masyarakat sangat buruk.
Berikutnya adalah, pelaku penodaan adalah kaum minoritas dengan korbannya adalah masyarakat mayoritas. Sebabnya apa, kita belum mengetahu pasti.
Tetapi yang cukup jelas, rasa kebencian terhadap perbedaan itu sesungguhnya besar di sebagian kalangan minoritas. Kelirunya, proyek moderasi beragama dari Kementrian Agama pun tidak membidik objek penting ini.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro pada 5 Mei 2021 menyatakan moderasi beragama sebagai salah satu agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 pemerintah. Dari RPJMN ini moderasi beragama akan menjadi isu yang terus digulirkan dengan tujuan agama menjadi perekat bangsa.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Rumadi Ahmad menjelaskan, moderasi beragama merupakan cara beragama yang tidak berlebihan, tidak terlalu jauh ke kanan atau jauh ke kiri. Berdasarkan itu, proyek moderasi baragama tidak sepenuhnya menjangkau setiap lapisan beragama.
Sejauh ini, yang sangat nampak kita saksikan di media, moderasi beragama mengemas isu-isu yang masih saja berkutat pada sebagian kecil kelompok keras dalam Islam. Dengan dibubarkannya kelompok ormas beberapa waktu yang lalu dan naiknya tokoh-tokoh “moderat” pada kursi-kursi penting pengambil kebijakan, sesungguhnya kelompok yang disebut “keras” tersebut sejatinya telah padam.
Jika pun masih ada, hidup, mereka pun sejatinya dapat dikatakan telah takluk. Oleh sebab itu, proyek moderasi beragama harus mengembangkan edukasi pentingnya.
Yaitu mengembangkan faham penghargaan terhadap agama mayoritas ini. Ada filosofi perdamaian yang berbunyai: hormati mayoritas, lindungi yang minoritas. Dalam sistem demokrasi pun kita mengenal bahwa yang terbanyak itu memenangkan suara. Sedangkan jumlah yang sedikit itu mengikuti suara yang banyak.
Namun, dengan terungkapnya 18 kasus penistaan agama Islam, justru mayoritas tak dihormati, mayoritas tak terlindungi. Sebuah fakta yang bila terus-menerus terjadi akan terjadi bencana kebangsaan yang tidak kita inginkan bersama.
Beberapa tahun lalu saya pernah menulis artikel tentang pentingnya undang-undang perlindungan agama. Selama ini kita fokus kepada perlindungan pemeluk agama, tetapi sejatinya, agama memerlukan perlindungan. Pelindungan dari cacian dan penistaan.
Oleh sebab itu masyarakat harus mendapatkan edukasi, bahwa fakta adanya agama mayoritas itu harus dihormati. Jika proyek moderasi beragama yang dicanangkan kementrian agama itu mencover aspek ini, maka umat Islam tidak was-was akan ternodai oleh oknum-oknum sebagian masyarakat.
Secara jujur, di sebagaian besar umat Islam ada perasaan “tidak aman”. Bahkan, setiap selesai kasus tertangani ada perasaan hati: “nanti akan ada lagi kasus penistaan agama”. Mungkin karena sabar, suara mereka sama sekali tidak terdengar gaduh di publik.
Oleh sebab itu, proyek moderasi bergana harus pintar-pintar menelaah kasus penistaan beserta efek-efek sampingnya di sebagian kalangan masyarakat. Dana yang luar biasa tak terbatas dari proyek ini sudah saatnya menghasilkan sesuatu yang baru di tahun 2022 ini. Bukan sibuk pada isu-isu yang usang. Apalagi remeh-temeh.
Proyek moderasi beragama bisa memulai dari menelaah terhadap perangkat-perangkat hukum tentang penistaan agama dan perlindungan pemeluk agama. Setidaknya ada tiga undang-undang atau peraturan yang mengatur hukum penistaan agama. Yaitu; KUHP, Dekret Presiden dan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 156 (a) menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Presiden Soekarno pernah menekan Dekrit Presiden yang dikenal dengan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 dekret melarang “penafsiran menyimpang” ajaran agama dan memberi Presiden hak membubarkan organisasi yang mempraktikkan ajaran menyimpang. Di samping itu, UUD 1945 pasal 29 ayat (2) berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Maka, tiga perangkat hukum tersebut dapat menjadi alat edukatis secara yuridis kepada sebagian kelompok-kelompok minoritas agar memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya menghormati mayoritas. Hormat kepada mayoritas itu penting bagi terciptanya kondisi damai dan tentram.
Bagaimana ketika masyarakat mayoritas itu terus digempur dengan hinaan dan penistaan ataupun hatespeech, maka dikhawatirkan terjadi kondisi sosial yang buruk.
Beberapa negara Barat telah menerapkan hukum penistaan agama, meskipun kultur masyarakat mereka sekuler. Di Denmark, penistaan agama adalah tindak kriminal.
Pasal 140 Undang-Undang Pidana Denmark memaparkan, siapa saja yang menertawakan atau menghina dogma/pemujaan terhadap keberadaan komunitas agama yang sah secara hukum akan dikenakan denda dan hukuman penjara maksimal empat bulan.
Jerman pun memiliki undang-undang serupa yang tertera dalam pasal 166 KUHP-nya, menetapkan siapa saja yangs ecara publik mencemarkan nama baik agama atau ideologi orang lain dan mengancam kedamaian publik akan dihukum maksimal 3 tahun atau denda materi.
Sekitar 15 orang setiap tahunnya tersandung kasus ini di Jerman. Salah satu kasus yang menyorot perhatian adalah penghinaan agama yang dilakukan politikus sayap kanan Michael Sturzenberger yang membandingkan Islam seperti “bisul kanker” pada 2014 lalu.
Menurut KUHP Kanada, memfitnah dan menghujat tuhan adalah pelanggaran yang bisa dikenai sanksi hingga dua tahun penjara. Meski begitu, bagian pasal itu tak mendefinisikan seperti apa bentuk “penghinaan terhadap tuhan” tersebut.
Negara-negara Barat tersebut bukan negara yang berdasarkan ketuhanan. Tetapi, berani memasang undang-undang pelecehan agama. Jika negara tersebut mayoritas Kristen, sepertinya undang-undang itu mengedukasi agar warga negaranya hormat pada mayoritas.
Oleh sebab itu, telah menjadi tugas negara untuk melindungi warganya. Melindungi itu dengan aturan dan undang-undang.
Warga negara harus diatur agar supaya tidak saling melecehkan dan merendahkan satu dengan lainnya. Bila tidak ada aturan, maka setiap orang akan bertindak tanpa kontrol, yang bisa berakibat chaos. Nah, bagaimana posisi ini dalam moderasi beragama ala Kemenag?*
Penulis adalah dosen IAI Dalwa, Bangil, Pasuruan