Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Rahmat Hidayat Zakaria
Sejarah membuktikan, di zaman Nabi Luth AS kaum homoseksual telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu Wata’aladan uraian mengenainya pula telah ditegaskan di antaranya di dalam surat al-A’raf: 80-81, al-Naml: 54-55, dan al-‘Ankabut: 28-29. Di dalam ayat-ayat tersebut, perkataan al-fahisyah (perbuatan keji) yang disertai alif dan lam itu ditafsirkan dan difahami oleh mayoritas Mufassirin dengan liwath (homoseksual). Hal yang demikian itu amatlah berbeda dengan apa yang difahami oleh seorang aktivis homoseksual seperti Scott Siraj A. Kugle. Kugle memahami perkataan tersebut (al-fahisyah) dengan pengertian yang umum yaitu transgression (orang yang berbuat dosa atau melanggar hukum).
Kesepakatan para ulama terhadap pengharaman bagi perilaku homoseksual itu menurut Kugle adalah akibat dari kesalahfahaman mereka dan apa yang difahami oleh mereka itu juga tidak didasari oleh landasan yang kuat. Kisah kaum Luth di dalam al-Qur’an itu bukan merupakan bentuk pengharaman terhadap homoseksual, akan tetapi kisah tersebut sebenarnya mempunyai pesan etika dan ia bukan pesan hukum atau undang-undang. Para Fuqaha’ (jurists) hanya membatasi kasus tersebut terhadap hukuman bagi perilaku seksual untuk mengaburkan pesan yang mendalam di balik kisah tersebut.
Di dalam al-Qur’an tegasnya lagi, tidak ditemukan perkataan yang mengisyaratkan homoseksual dalam hal ini liwath atau hubungan sesama jenis. Istilah yang menunjukkan liwath itu adalah istilah yang baru dikenal dan ia menjadi populer dalam bahasa Arab belakangan ini saja. Al-Qur’an sama sekali tidak menentukan hukuman bagi pelaku tersebut baik itu homoseksual maupun lesbian secara tegas dan terperinci, (dapat dirujuk tulisan Kugle, Sexuality, Diversity, and Ethics in the Agenda of Progressive Muslim di dalam Progressive Muslim, ed. Omid Safi, yang diterbitkan di Oxford oleh Oneworld tahun 2003).
Dari pemahaman Kugle di atas penulis mencermati bahwa ia ingin mengaburi makna dari perkataan al-fahisyah tersebut yang ia fahami dengan transgression saja, dan seolah-olah perbuatan itu (hubungan sesama jenis) adalah perkara yang biasa, meskipun pada akhirnya juga ia merupakan perbuatan yang berdosa.
Lagi pula nampaknya, pemahaman dan kesepakatan para ulama itu juga adalah sesuatu yang relatif baginya. Memang di dalam al-Qur’an tidak ditemukan secara tegas perkataan liwath (hubungan sesama jenis), akan tetapi dengan penggunaan perkataan al-fahisyah (perbuatan keji) tanpa disebutkan liwath, itu sebenarnya sudah menunjukkan atau mencakup perbuatan yang negatif dan diharamkan. Dengan demikian, dari pernyataan Kugle itu dapat diamati bahwa ia juga sebenarnya seorang pengidap atau penganut faham literalis, karena ia memahami ayat tersebut secara literal saja, tanpa meninjau Hadith dan pandangan yang telah disepakati oleh mayoritas.
Sebagaimana diketahui bahwa penjelasan-penjelasan di dalam al-Qur’an itu sifatnya prinsip (ushul), karena tidak semua persoalan manusia dan kehidupan ini dirincikan di dalamnya. Inilah fungsi Hadith, ia merupakan penjelas dan memerinci prinsip-prinsip yang ada di dalam al-Qur’an. Tanpa merujuk kepada Hadith dan pandangan para ulama, seseorang akan memahami atau menafsirkan al-Qur’an semaunya.
Baca: Apa itu FAAHISYAH?
Ketelitian dan kedalaman bahasa al-Qur’an dalam menentukan kata yang dalam hal ini al-fahisyah yang difahami oleh mayoritas ulama tadi sebagai homoseksual itu tidaklah sama dengan perkataan yang diisyaratkan al-Qur’an terhadap pelaku zina yaitu fahisyah yang tidak disertai alif dan lam. Penggunaan perkataan fahisyah bagi pelaku zina itu mengisyaratkan bahwa perbuatan ini masih dikategorikan sebagai perbuatan yang normal yaitu antara lelaki dengan perempuan, hanya saja ia tidak ditempuh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat.
Perkataan al-fahisyah yang disertai alif dan lam tadi mengisyaratkan bahwa orientasi homoseksual itu adalah seburuk-buruk (aqbah) perbuatan. Oleh sebab itu, perilaku yang menyimpang ini diakhiri oleh ayat dari surat al-A’raf tadi dengan perkataan musrifun (melampaui batas). Itu mengisyaratkan bahwa orientasi hubungan sesama jenis telah melampaui batas ‘fitrah kemanusiaan dan syariat’. Ini artinya, dalam kondisi, situasi dan sedarurat apapun, perilaku ini adalah tidak dibenarkan sama sekali. Hal tersebut amatlah berbeda dengan membunuh, karena dalam situasi darurat seperti dalam keadaan berperang, ia dibolehkan dan dibenarkan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sebagai penutup, sudah seyogyanya umat Islam tidak terlalu latah atau silau ketika berhadapan dengan peradaban Barat, apalagi menelan mentah-mentah semua produk yang diimpor dari hasil kebudayaan mereka. Dan yang perlu digaris bawahi pula bahwa tidak semua produk impor dari Barat itu adalah buruk, namun ada juga aspek-aspek positif dan bermanfaat yang boleh kita ambil dan ditiru seperti ilmu sains dan teknologinya, etos kerja mereka yang tinggi, disiplin, ketelitian dan keseriusan meraka dalam mengkaji suatu masalah dan penghargaan mereka terhadap waktu.
Di samping itu, ada pula faham-faham dan cara pandang yang tidak patut untuk ditiru dari kebudayaan mereka seperti pemahaman mereka akan hakikat Tuhan dan Agama, cara pandang mereka terhadap kitab suci yang menggunakan pendekatan hermeneutika, cara mereka menilai kehidupan Dunia, memahami hakikat manusia dan alam semesta, faham humanisme termasuklah isu kesetaraan gender, kepemimpinan lelaki, LGBT dan lain sebagainya. Penyesatan dan pengeliruan terhadap cara pandang atau pemikiran termasuk juga aliran-aliran dan ajaran-ajaran sesat yang kian meresahkan dewasa ini, itu dapat dibentengi apabila seseorang tidak ignorant terhadap Agamanya dan tidak buta akan tradisi intelektualnya. Wallahu‘alam bishshawab.*
Penulis adalah dosen di UIN Raden Fatah dan Universitas Muhammadiyah Palembang