Sambungan dari artikel pertama
Oleh: Imam Nawawi*
AKIBATNYA, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadits, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an: “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).
Ciri yang ketiga ialah, mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Dalam kasus LGBT misalnya, pihak yang pro selalu berdalih bahwa LGBT adalah bawaan, tidak bisa diubah, mesti diakui sebagai kewajaran yang juga merupakan kecenderungan alamiah. Bahkan, Franz Magnis Suseno menulis, “Karena itu, mau ‘menyembuhkan’ atau ‘membina’ ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami adalah tidak masuk akal” (Kompas, 23/2).
Dengan kata lain, mereka ingin LGBT diterima sebagai kewajaran. Apalagi, WHO sejak 26 tahun silam telah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental.
Fakta Menarik
Fakta di atas menarik untuk dicermati. Di antaranya, anggapan bahwa LGBT itu normal jadi tidak perlu direhabilitasi dan andai pun mereka yang merasa normal tetap melihat LGBT sebagai ketidaknormalan bersikukuh maka upaya tersebut dinilai tidak masuk akal. Pemikiran seperti itu selain tidak ilmiah, cenderung mendahulukan stigmatisasi dan memaksakan kehendak. Pada saat yang sama, hal tersebut menolak fakta bahwa bahaya dari LGBT benar-benar nyata dan sangat mengerikan. Seperti, kasus-kasus pembunuhan pasangan sejenis yang dilanda cemburu.
Kemudian apa yang dilakukan oleh WHO sebagai badan dunia di bidang kesehatan, yang telah mencoret LGBT dari daftar penyakit mental, sama sekali tidak bisa dijadikan rujukan mutlak bahwa LGBT abnormal. Kalau pihak yang pro LGBT bisa berpikir kritis, mestinya mereka tidak begitu saja menerima keputusan WHO. Setidaknya ada beberapa aspek yang perlu kita ajukan sebagai nalar kritis terhadap keputusan WHO.
Pertama, bisa jadi keputusan WHO tidak benar-benar diambil atas dasar ilmiah alias ada tekanan-tekanan politik tertentu. Kedua, secara empiris LGBT cenderung menimbulkan masalah keluarga dan sosial. Ketiga, secara nalar awam, LGBT bisa menjadi sebab utama punahnya suatu bangsa. Keempat, LGBT tidak sesuai dengan adat ketimuran. Kelima, LGBT di dalam sejarah Islam adalah perilaku yang mengundang adzab langsung dari Allah Ta’ala. Apakah WHO sudah memperhatikan kelima aspek tersebut?
Dengan demikian, sebenarnya argumentasi pembela kebathilan sangat lemah, cenderung tidak berdasar dan menolak fakta kebenaran. Oleh karena itu, sebagai Muslim kita tidak boleh takut, minder atau ragu mengambil keputusan bahwa LGBT itu abnormal. Seorang Mahatma Gandhi saja berkata, “Jika kamu benar, walaupun seluruh dunia memusuhimu, kamu tetap benar.”
Kebenaran memang tidak bisa semata-mata disandarkan pada kenyataan, lebih-lebih kenyataan yang didasarkan sekadar pada fakta yang boleh jadi direkayasa. Sungguh manusia akan semakin terjerumus pada ketidakbenaran. Oleh karena itu, sebagai Muslim fakta hendaknya tidak dipandang lebih unggul dari wahyu, apalagi dengan mempertentangkannya. Sebab, fakta hanyalah wilayah kerja indera. Sedang kebenaran adalah wilayah hati nurani dan akal sehat.
Dari sini kita bisa memahami dengan jelas bahwa kebenaran tidak mungkin kita capai dengan tidak mengindahkan kebenaran yang Tuhan ajarkan. Oleh karena itu, dalam Islam kita diperintahkan secara mutlak untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang beriman“ (QS. Al Anfal [8] : 1).
Secara spesifik, konteks ayat tersebut memang berbicara soal pengaturan segala hal dalam soal ghanimah (rampasan) perang. Tetapi secara global ayat ini juga menghendaki bahwa segala macam ketentuan yang telah Allah berikan mesti diikuti dengan penuh pengabdian, termasuk soal bagaimana menata keluarga, bangsa bahkan negara.
Kemudian, kita juga patut merenungkan apa yang Rasulullah pesankan kepada kita agar jangan sampai berpikir dan bertindak keluar dari apa yang Allah dan Rasul-Nya gariskan.
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“”Aku telah tinggalkan untukmu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya. (Yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya“ (HR. Hakim dan Baihaqi).*
Penulis adalah aktivis Gerakan Indonesia Beradab