Konferensi Besar Syuriah NU yang diselenggarakan PBNU 19 Maret 1957 menetapkan tidak sahnya pernikahan pasangan dua agama berbeda (nikah beda agama)
Oleh: Dr. Kholili Hasib
Hidayatullah.com | PADA 20 Juni 2022 lalu, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan permohohan pernikahan dua pasangan beda agama. Alasan mendasar PN Surabaya mengesahkan nikah beda agama ini adalah lebih kepada pemenuhan keinginan, bukan hak.
“Kedua mempelai mempunyai hak untuk mempertahankan agamanya sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan”, ujar hakim PN Surabaya.
Pengesahan PN Surabaya jelas kontroversial. Nikah beda agama di Indonesia tidak sesuai dengan konstitusi agama maupun konstitusi negara.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat pernah mengeluarkan fatwa bernomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Penetapan fatwa yang disahkan oleh Komisi C Bidang Fatwa tersebut, menghasilkan dua poin utama.
Pertama, perkawinan atau pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Fatwa yang dikeluarkan MUI di atas, berlandaskan pada nash agama baik itu Al-Quran, hadits, hingga qaidah fiqh. Seluruh kesepakatan, merujuk serta mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan beda agama.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Konferensi Besar Syuriah NU tanggal 19 Maret 1957 menetapkan tidak sahnya pernikahan pasangan dua agama berbeda. Keputusan ini kemudian kemudian diperkuat lagi pada Muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Thariqah Muktabarah tahun 1968. Keputusan muktamar ini berdasarkan fatwa dalam kitab-kitab Syafi’iyyah; as-Syarqawi jilid 2 halaman 237, al – Muhadzab jilid 2 halaman 44, kitab al-Umm jilid 5 halama 7, al-Majmu’ Syarah Muhadzab jilid 2 halaman 44, dan Tanwirul Qulub halaman 342.
Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan ritual biasa. Tetapi cukup sakral dan semua tahapannya selalu berpandukan petunjuk dari Allah Swt. Aspek-aspek yuridis dan teologis sangat dominan daripada aspek budaya dan adatnya. Maka budaya dan adat dalam nikah bagi masyarakat Muslim biasanya dibalut dengan nilai teologis.
Menjelang dilangsungkan aqad nikah, dianjurkan orang yang hadir menyaksikan — termasuk calon pengantin – untuk mengucapkan dua kalimah syahadah dan membaca istighfar. Aqad nikah merupakan ritus yang sangat sarat dengan amaliyah-amaliyah sakral.
Singkatnya, pernikahan merupakan salah satu amal ibadah dalam Islam. Tidak heran, bayak sekali tata aturan, hukum, anjuran-anjuran dan perintah-perintah untuk dilaksanakan sebelum dan pada saat aqad pernikahan. Sebagaimana zakat merupakan amal ibadah dalam Islam, yang ada aturan dan hukum-hukumnya.
Sebagaimana amal ibadah lainnya, maka ibadah nikah tidak mungkin dicampur dengan agama-agama lain. Semua jenis peribatan agama-agama memang bersifat sangat eksklusif. Ritus agama memang merupakan khas, eksklusif, distingtif yang sangat berbeda satu dengan lain dan tidak ada model ibadah bersama-sama.
UU Perkawinan Indonesia juga melarang perkawinan atau pernikahan beda agama. Ketentuan pelarangan kawin/nikah beda agama ini terdapat dalam UU no 1 tahun 1971 pasal 2 ayat 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa soal keharaman nikah beda agama pada tanggal 1 Juni 1980.
Sekjen MUI Pusat, Amirsyah Tambunan menjelaskan ketidakabsahan nikah beda agama itu. “Dengan pernikahan beda agama maka terjadi pertentangan logika hukum, karena selain beda agama juga berbeda kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang dalam kasus ini harus ditolak atau dibatalkan,” ujarnya.
Dengan demikian, kasus nikah bedah agama merupakan kasus yang jelas melepaskan perisitwa sakral perkawinan dengan institusi agama. Pernikahan bukan sekedar memadu cinta dua pasangan. Bukan pula hanya penyaluran syahwat belaka yang minus ibadah.
Adanya proyek sekularisasi dan faham sekularisme — yaitu memisahkan semua aspek kehidupan manusia dengan agama — turut memicu terjadinya pernikahan beda agama. Sekularisme jelas saja tidak compatible dengan Pancasila. Khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sekularisasi pernikahan adalah gerakan memisahkan peristiwa pernikahan dengan ritual agama. Sekularisasi institusi nikah menyebabkan dua problema; menyamakan nikah dengan media penyalur syahwat belaka dan sekaligus merendahkan status wanita sebagai istri.
Agama mengatur pernikahan itu justru untuk mengangkat martabat wanita. Bahwa ia bukan sekedar tempat penyalur syahwat lelaki. Dengan adanya tata aturan pernikahan, maka wanita lebih terhormat posisinya. Diberi mahar, mendapatkan “gaji” yang disebut nafaqah, diperlakukan dengan lembut (wa ‘asyiruhunna bil ma’ruf), jika memiliki anak ia menjadi “pemegang” kunci surga bagi anaknya, serta ia tidak boleh sembarang wajah dan auratnya dilihat lelaki lain.
Jika pernikahan dinilah hubungan sosial semata, maka aturan negara dan manusia yang ada saat ini belum cukup mengatur posisi mulya wanita sebagai istri. Sampai saat ini pun belum ada aturan baik negara atau agama-agama lain yang sedetil aturan dalam fiqih Islam.
Fiqih Islam begitu detil mengatur hubungan lelaki dan wanita itu karena ada kecenderungan manusia untuk lebih mengedepankan nafsu pribadinya. Maka fiqih Islam membuat ‘pagar-pagar’ agar wanita dan pria tetap dengan kehormatan masing-masing. Tidak mudah dinista dan menista yang lain. Ada hak ada kewajiban. Semua cukup detil dan terang dalam fatwa-fatwa fuqaha’ (ahli fiqih).
Maka, jika salah satu pasangan itu beda agama, maka sulit bahkan tidak bisa menerapkan tata tertib sedetil hukum fiqih itu. Bukannya belum ada fatwa aturan yang mengatur hubungan nikah beda agama, sebab logika hukum tidak bisa diterapkan untuk pasangan beda agama.
Selain itu, perkawinan merupakan ibadah untuk membentuk institusi bernama keluarga. Sebuah institusi yang setiap Muslim dianjurkan untuk menegakkannya. Agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Visi kebahagiaan dunia dan akhirat tentu saja setiap Muslim memiliki perspektif, yang bisa berbeda secara fundamental dengan agama lain. Bagaimana bisa menyatukan visi kebahagiaan dua pasangan beda agama jika konsep kebahagiaan dua agama berbeda secara fundamental. Secara fisik mungkin pasangan bisa senang. Puas. Tapi belum tentu bahagia. Jika berbahagia, dipastikan kebahagiaan itu dipermukaan tidak sampai ke dalam hati, yang di dalamnya tersimpan iman yang berbeda.
Jadi ketidak absahan nikah beda agama bukan sekedar masalah toleransi, namun soal kebahagiaan hakiki pasangan nikah. Konsep mendasar untuk bahagia adalah kesamaan dalam visi agama. *
Penulis adalah pengajar di INI-DALWA, Pasuruan, Jawa Timur