Hidayatullah.com—Psikolog Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Wiwin Hendriani SPsi MSi memberi tanggapan terkait kasus anak kelas IV SD Banyuwangi, Jawa Timur yang ditemukan tewas gantung diri di rumahnya akibat korban perundungan.
Ia mengatakan, sekalipun peristiwa tersebut tidak lumrah terjadi di masyarakat. Namun, kasus tersebut merepresentasikan bagaimana tekanan kondisi psikologis anak bisa mengarah pada keputusan perilaku yang berisiko tinggi dan fatal.
“Ini menjadi refleksi pula bagi pihak orang tua, guru, dan para pendamping tumbuh kembang anak yang lain untuk melakukan langkah-langkah preventif agar kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari,” tegas Wiwin sebagaimana dikutip laman resmi unair.ac.id, Selasa (7/3/2023).
Menurut Wiwin, kasus tersebut bukan semata-mata soal perundungan (bulliying), tetapi juga bagaimana orang tua dan guru mampu memberikan pengasuhan dan pendidikan. Di mana kedua hal itu dapat menguatkan berbagai keterampilan psikologis anak ketika menghadapi situasi yang tidak diharapkan.
Psikolog perkembangan itu mengatakan perundungan dapat berdampak buruk terhadap kondisi psikologis anak. Semakin sering frekuensi perundungan yang anak alami, maka makin tinggi pula intensitas dan variasi tipe perundungannya, dampak yang ditimbulkan juga akan makin besar.
Ada beberapa dampak yang mungkin terjadi pada anak. Pertama, stres dan cemas. Anak yang mengalami perundungan akan merasa tertekan dan cemas setiap hari.
Hal itu karena mereka merasa tidak aman dan tidak tahu kapan atau di mana serangan berikutnya akan terjadi. Kedua, stres terus-menerus dan tidak tertangani yang mengarah pada depresi.
Anak yang mengalami perundungan akan merasakan kesedihan yang sangat dalam, kehilangan minat pada hal-hal yang biasanya mereka sukai, merasa putus asa, dan kehilangan harapan akan masa depan.
Ketiga, anak yang mengalami perundungan cenderung merasa rendah diri dan tidak berharga. Terlebih jika mereka merasa tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah situasi.
“Tidak sedikit dari korban perundungan yang kemudian mengalami isolasi sosial. Mereka merasa terisolasi dari teman-teman, sulit untuk bergaul dan merasa tidak ada yang bisa mereka percayai atau ajak berbicara. Ini dapat terjadi jika teman-teman yang lain di luar pelaku perundungan juga tidak ada yang berusaha membantu atau memberikan dukungan yang menguatkan secara mental,” jelas ketua Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) itu.
Keempat, riset menunjukkan bahwa sebagian korban perundungan memunculkan perilaku kekerasan dan agresi karena emosi yang begitu kuat, kesal, marah, dan frustasi yang sangat. Desakan emosi negatif tersebut dapat mendorong mereka merespons tekanan dengan kekerasan dan agresi, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
“Terakhir, berbagai gangguan perilaku yang lain, seperti gangguan pola makan dan tidur yang diakibatkan oleh kondisi pikiran dan emosi yang dipenuhi oleh kecemasan dan ketidaknyamanan yang lain juga bisa terjadi,” pungkasnya.
Sebagaimana telah banyak diberitakan di media massa, seorang siswa berinisial MR (11) asal Kecamatan Pesanggrahan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dilaporkan melakukan aksi bunuh diri. Sebelumnya, menurut kesaksian keluarga, ia kerap menceritakan perundungan secara verbal yang dialaminya di sekolah.
MR sangat terganggu karena banyak teman-temannya mengejek statusnya sebagai anak yatim. Atas perlakuan para temannya, MR diketahui kerap menangis saat pulang dari sekolah.*